Kautilya, Alumni PKN STAN dan Skeptisme

Laode Muhammad Syarif, S.H. Ll.M Ph D, nama beliau. Menjabat sebagai Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Dan siang ini beliau sejenak menyempatkan diri menyapa 300-an mahasiswa mahasiswi semester 7 Program DIV PKN STAN T.A 2016-2017 dalam kuliah umum Seminar Anti Korupsi bertajuk "Optimalisasi Peran Perguruan Tinggi Mengawal Agenda Antikorupsi".

Sang Pembicara (credit to Ray-San)
Beliau tidak mengajak para peserta untuk membahas definisi dan berbagai teori tentang korupsi, "kalian sudah pada tau", ujarnya. Namun beliau membuka sesi dengan sebuah kutipan dari Kautilya (seorang tokoh penulis, guru, filsuf, hakim dan penasehat kerjajaan India pada abad 4 sebelum masehi) yang kurang lebih bermakna "mustahil bagi seorang yang mengurus negara untuk tidak merasakan sepercik kekayaan raja".

Kutipan tersebut ditujukan bagi setiap abdi negara pada umumnya, terkhusus lagi bagi abdi negara yang mengurusi penerimaan dan keuangan negara. Bagi kami, mahasiswa PKN STAN yang berasal dari berbagai instansi di Kementerian Keuangan, tentu kutipan tersebut sarat akan makna. Sebagaimana diketahui bahwa stigma masyarakat bahwa Kementerian Keuangan adalah lahan basah sehingga memunculkan pandangan bahwa "pegawai Kemenkeu pasti punya banyak uang". Hayo, siapa mahasiswa PKN STAN yang nggak pernah merasakan hal itu?

Mahasiswa PKN STAN, sebagaimana kita ketahui bersama, nantinya akan tersebar di berbagai instansi yang terkait dengan kekayaan negara. Tidak semata-mata Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai sebagai revenue collector, namun juga ada yang bakal bekerja sebagai auditor di BPKP dan BPK. Maka dari itu, ketika ada kasus korupsi, hampir pasti akan ada alumni mahasiswa PKN STAN yang sedikit banyak bersentuhan dengan perkara tersebut. Entah sebagai penyidik KPK yang menangani kasus, atau sebagai auditor BPK/BPKP yang menemukan kejanggalan (dan entah melaporkan atau membiarkan kejanggalan tersebut), atau (sialnya), sebagai salah satu tokoh dalam perkara korupsi tersebut (sebut saja, Gayung, bukan nama sebenarnya). 

Sebegitu parahnya memang korupsi di negeri tercinta ini, hingga semua aspek kehidupan bernegara seolah tak lepas dari jerat korupsi. Mau ngurus SIM? Ada calo. Mau perijinan lancar? Wani piro. Mau diskon bayar pungutan negara? Nego dulu. Ada pula kasus jembatan yang runtuh sesaat setelah diresmikan. Ada pul akasus wisma atlet yang runtuh sebelum jadi. Dan berbagai adegan lain yang sayangnya, seolah telah kita anggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan seolah sudah menjadi budaya di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Ironis sekali mengingat proklamator kita, Bung Hatta pernah berpesan agar jangan sampai korupsi menjadi budaya di negeri ini.

Bapak Laode lalu memaparkan data ketimpangan sosial yang berasal dari studi World Bank yang menunjukkan bahwa 1% kalangan terkaya di negeri ini menguasai/memiliki akses terhadap lebih dari 50% kekayaan negeri ini. Beliau juga memaparkan bagaimana bisa sebuah perusahaan besar, memiliki lahan hingga seluas 3 juta hektar (kurang lebih seluas tiga kali Pulau Bali). Melihat kenyataan di atas, maka layak jika dikatakan bahwa korupsi di negeri ini sudah sedemikian terstruktur, bukan semata masalah kesalahan akuntansi, kesalahan pengakuan nilai jual/beli aset, bukan semata corruption by needs, karena yang tersangkut kasus korupsi pun bukan orang miskin. Malah orang miskin lah yang menjadi korban korupsi.

Beliau juga memaparkan betapa ringannya hukuman terhadap para tersangka kasus korupsi. Betapa tersangka korupsi begitu mudahnya mendapat keringanan atas hukuman yang sebenarnys sudah begitu ringan untuk ukuran kerusakan yang mereka timbulkan bagi negeri ini.

Kami mahasiswa dituntut untuk senantiasa menjaga nilai-nilai kebaikan dan keadilan dalam bekerja. "Kalau Anda tidak marah melihat fakta tadi, saya tidak tahu lagi apa yang salah pada diri Anda", ujar beliau. Memang, kuliah umum kali ini tidak banyak memberikan materi, namun lebih pada menggugah kesadaran dan mengingatkan kembali akan bahaya laten korupsi.

Maka dari itu, menanamkan budaya anti-korupsi memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, dan utamanya mahasiswa. Bapak Laode mengatakan bahwa susah untuk berharap pada generasi tua yang sudah berusia 50-an ke atas, karena mindsetyang sudah pakem dan susah diubah. Namun mengubah generasi muda, yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini, tentu akan memiliki dampak lebih optimal, meski upaya yang harus dilakukan juga tidak kalah susah.

Tanpa terasa, paparan beliau pun diakhiri. Beliau duduk kembali, lalu dilanjutkan oleh moderator yang mengiringi sesi tanya jawab singkat. Satu lagi pesan terakhir beliau setelah sesi tanya jawab berakhir adalah, jangan mudah percaya pada media yang ternama (apalagi jika pemiliknya adalah pemilik kekayaan yang jaringan bisnisnya menggurita), jangan pula mudah percaya pada seorang tokoh yang profilnya nampak megah.  "simpanlah rasa skeptis walau sedikit, jangan langsung percaya, bertanya-tanyalah". Beliau seakan mengomentari fenomena saat ini di mana perang informasi tengah membara di berbagai media. Ada satu isu, dibantah isu lain, saling berbalas tuduhan dan fitnah, hingga kadang tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Dua jam sesi kuliah umum terasa begitu singkat jika yang hadir adalah tokoh sekaliber beliau. 

Dan entah kenapa, setiap bertemu orang KPK selalu ada rasa merinding, terlebih jika yang hadir adalah jajaran pimpinan instansi tersebut. Mungkin karena sudah imej-nya orang KPK, bahwa mereka adalah sedikit dari orang terpilih di negeri ini yang berjuang melawan korupsi, dengan segala keterbatasan yang ada. Mungkin mereka memang ditadirkan memiliki aura berbeda, seperti haoshoku haki dalam dunia fiksi One Piece karya Eiichiro Oda. Atau mungkin, orang-orang macam inilah yang membawa takdir perubahan terhadap negeri ini, menjadi pembersih korupsi yang merajalela bagai sarang laba-laba di rumah tua tak berpenghuni. 
Mungkin saja.
Entah, mungkin juga tidak. 
Saya sih nggak sepenuhnya percaya.

Komentar