Kebaikan juga Butuh Strategi

Ada yang bilang, kejahatan yang terorganisir dengan baik akan dapat mengalahkan kebaikan yang dilakukan secara spontan. Biasanya, konteks pembicaraan seperti ini mengacu pada pemberantasan kejahatan (korupsi, kartel, perdagangan barang ilegal, penyelundupan), di mana kebaikan orang-orang yang dilakukan secara sendiri-sendiri (misal, memulai dari diri sendiri untuk anti korupsi, tidak membeli barang-barang black market, melaporkan jika ada barang ilegal beredar di pasaran), tidak akan mampu mengalahkan kejahatan yang telah terstruktur dengan baik. Ibarat kata, para penjahat itu selalu beberapa langkah lebih maju dari penegak hukum. Mereka punya sistem yang baik, punya strategi, dan juga anti-strategi untuk meminimalisir efektivitas dari upaya para penegak hukum.
Di Bea Cukai, misalnya saat petugas telah menemukan satu metode penyelundupan narkoba melalui metode swallowing `(pembawa narkoba memasukkan menelan narkoba dalam perut, setelah dibungkus oleh plastik demi mengakali metode body search yang hanya dapat memeriksa sisi luar tubuh), maka para kartel akan menemukan cara baru; misal, menyelundupkan narkoba melalui hewan peliharaan yang dioperasi lalu perutnya diisi bungkusan narkoba. Bukan berarti satu kebaikan kecil itu tak berguna, namun ia tak akan sanggup melawan kejahatan yang telah terstruktur dengan baik, jika kebaikan itu dilakukan sendiri-sendiri. Para pelaku kebaikan, penegak hukum dan aturan juga harus punya strategi, agar kebaikan yang dilakukan memiliki dampak lebih besar, dan mampu mengalahkan kejahatan terstruktur itu.

Demikian pula dalam hal dakwah. Bagaimana agar grup dakwah yang ada, nggak stagnan. Masak sudah ikut grup liqo/mentoringbertahun-tahun, nggak ada peningkatan keilmuan dan amalan?
Maka dalam liqo pun, perlu ada strategi yang jelas. Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, agar grup liqo mampu memberikan perubahan yang lebih positif bagi para anggotanya, yang pada gilirannya akan menjadi agen perubahan di lingkungan masing-masing. 

Unsur pertama, dalam liqo diperlukan mentornya, sebagai guru dalam kelompok tersebut. Mentor harus memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin rekan-rekan di grup masing-masing. Mentor harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup atas ilmu yang akan dibagikan. Lebih dari itu, harus dapat menjadi contoh yang baik, bukan sekedar menyampaikan ilmu tanpa menerapkannya. Jadi mentor harus unggul secara keilmuan dan amalan dibanding unsur kedua, yaitu anggota (mentee). Anggota harus memiliki kemauan untuk belajar dan meningkatkan aspek keilmuan dan aspek amalannya. Sia-sia ada anggota tapi tak ada kemauan. Dijamin, kalau tidak punya kemauan, jumlah anggota kelompok akan menyusut bahkan bisa punah. Dan itulah yang jadi masalah utama di hampir setiap kelompok liqo. Ketiga, ada kurikulum yang harus diajarkan. Harus jelas, tujuan apa yang akan dicapai? Mendapat hafalan sekian juz, kah? Rutin sholat malam, kah? Memenuhi target sholat wajib di masjid 5x sehari, kah? Ada tujuan yang jelas, dan ada strateginya. Ada alat ukurnya, dibuat mekanisme evaluasi amalan untuk mengukur seberapa jauhkan pencapaian yang telah dicapai, dengan tujuan yang diinginkan. Tanpa ada tujuan yang jelas, kelompok akan stagnan, tidak ada peningkatan, tidak ada ukuran yang menjadi patokan. Mengaji bersama saja, mungkin. Memang nggak buruk, mengaji bersama, namun alangkah lebih baik jika ada target yang harus dicapai, ada alat ukur yang pasti, ada evaluasi. Keempat, yang tak kalah penting adalah komitmen. Tanpa komitment, kelompok menghadapi ancaman bubar di tengah jalan, dengan tujuan yang hampir tak pernah tercapai.

Insya Allah, dengan pemenuhan keempat unsur itu, kelompok liqo akan dapat bertahan dan memberi nilai tambah bagi anggota, yang pada gilirannya akan ‘mewarnai’ lingkungan sekitarnya sebagai agen dakwah. Insya Allah. Semoga Allah merahmati usaha kita dalam mendekatkan diri pada-Nya. Aamiin.

Komentar