Lomba Kisah Inspiratif Ramadhan



Alhamdulillah, kali ini penulis berhasil meraih juara dua pada lomba kisah inspiratif yang diadakan oleh Panitia Ramadhan 1439H Dewan Kemakmuran Masjid Baitut Taqwa Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sebenarnya yang ditulis adalah kisah lama bersemi kembali, cuma gaya bahasanya diubah sedikit. Berikut kisahnya:

Kawan, seringkali kita mendengar “Rencana Allah itu lebih indah dari rencana kita”. Kawan,
tak jarang pula kita berkata “Allah lebih tahu yang kita butuhkan”. Kawan, sungguh, berkali-
kali kita membaca bahwa tak selamanya yang kita inginkan senantiasa harus terkabulkan.
Namun kawan, sedalam apa kita meresapi kalimat-kalimat tersebut? Kawan, sungguh di sini
aku tak bermaksud menggurui, pun mengajari, karena aku yakin kawan-kawan semua lebih
faham daripadaku, mengenai hal ini. Aku hanya ingin berbagi kisah, yang mungkin
menginspirasi, atau setidaknya dapat menjadi pengingat diri.

Kawan, ingatkah di saat kita kecil, kita berlari-lari dengan kaki kecil kita. Lalu tanpa kita
sadari, sesuatu merintangi jalan, kaki kita tak sempat menghindar, dan terjatuhlah badan
kita menghempas lantai. Kita jatuh, dan menangis, lalu setelah ditenangkan ayah atau
bunda, maka kita bangkit lagi, berlari lagi, seolah lupa akan rasa sakit saat jatuh tadi.
Kadang, aku merasa anak kecil jauh lebih cepat pulih dari ‘kejatuhan’nya, dibanding orang
dewasa. Aku berkata seperti ini, karena aku pernah merasa ‘terjatuh’ sejatuh-jatuhnya. Dan
untuk pulih dan kembali ‘berlari’, aku membutuhkan waktu cukup lama. Kawan, tentu aku
tidak bicara tentang ‘jatuh’ secara harfiah; kemampuan motorikku cukup untuk diriku tanpa
terjatuh dari tangga. Tidak kawan, bukan jatuh dari tangga yang ingin kuceritakan.
Melainkan jatuh saat mengejar cita-cita.

Kawan, tentu kita semua faham akan makna tanda
di pundak seragam kita, garis-garis berwarna yang menunjukkan pangkat dan golongan kita.
Ketika tiba waktunya, garis itu akan bertambah jumlahnya, lalu berubah warna, dari putih ke
kuning. Jika Allah berkenan, akan berubah bentuk menjadi simbol melati atau bintang
dengan warna logam mulia. Tak selamanya kita sabar menunggunya, namun ada suatu
jalan pintas untuk mempercepat prosesnya. Di instansi kita, tugas belajar adalah salah
satunya.

Aku pernah mengikuti seleksinya. Dari diploma tiga, menuju diploma empat untuk
mempercepat tanda di pundak untuk berubah warna. Tapi apa daya, jalan tak selamanya
mulus, kadang menanjak, kadang menurun, dan kadang, suatu jalan itu membawa kita
kembali ke titik semula. Kawan, banyak di antaramu yang lulusan STAN, bukan? Tak asing
tentunya dengan sepasang huruf yang menjadi momok para mahasiswanya. DO. Alias Drop
out. Suatu mekanisme seleksi alam, untuk menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang
dipulangkan. Dan dua huruf penuh makna itu, nyata adanya, termasuk bagi parea
mahasiswa tugas belajar, yang menurut mitos, aman dari DO, katanya. Pepatah bilang,
banyak jalan menuju Roma. Kampus STAN bilang, banyak jalan menuju DO. Dan aku
pernah mengalaminya. 19 Maret 2016, suatu pagi yang cerah di sebuah rumah petakan di
Jakarta Selatan. Seorang pria menangis sesenggukan. Melihat pengumuman yang
mencantumkan namanya dalam daftar mahasiswa tugas belajar yang dipulangkan. Ya, pria
itu adalah aku Kawan. Sungguh pemandangan yang memalukan, hingga sang istri bertanyapenuh rasa penasaran, apa gerangan membuat suaminya menangis sesenggukan. 

Kawan, tak usah kau bayangkan betapa terkejut, sakit dan malunya. Baru enam bulan mengenyam
pendidikan, setelah kepada seluruh rekan sekantor aku berpamitan, esok Senin-nya aku
harus kembali ke kantor karena dipulangkan. Remuk rasanya hati, kelu pula lidah ini, saat
melapor pada alasan tentang alasanku dipulangkan. Secara teknis, karena nilai yang terlalu
rendah pada salah satu mata pelajaran. Namun di hati yang paling dalam, aku tahu bahwa
itu bukan penyebab utamanya, Kawan.

Alim ulama berkata, segala sesuatu itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan kurasa, kesalahan
niat dalam menempuh tugas belajar, adalah penyebab utamanya. Mungkin ada sepercik
kesombongan di dalam dada, kala namaku diumumkan dalam daftar mahasiswa yang
diterima. Mungkin terselip kurangnya syukur, saat membaca notifikasi pendapatan yang
kuterima, yang memotivasiku mengejar cara agar tanda di pundak segera berubah warna.
Mungkin karena Allah melihat tujuanku tak mulia, bukan menuntut ilmu namun hanya
mengejar dunia, sehingga dipilihkannya jalan yang baru agar lebih dekat pada ridho-Nya.
Dan jalan itulah yang harus kutempuh, meski perih rasanya setelah ‘terjatuh’ dan sempat
hati ini mengeluh. “Rencana Allah itu lebih indah dari rencana kita”. Itu yang kucoba
kutanamkan, sembari membersihkan niat yang sempat terkontaminasi kesombongan. Maka
di jalan yang menurun inilah, aku mencoba berjalan lagi. Yang pada akhirnya menemui
suatu tanjakan lagi, berupa kesempatan kedua menempuh pendidikan, lagi. 

Maka Kawan, sekali lagi, sungguh di sini aku tak bermaksud menggurui, namun mari kita sama-sama
mengerti dan mengingat lagi. Bahwa apapun yang terjadi, jalan mana yang akan kau lalui,
ingatlah bahwa niat itulah yang dinilai pada akhirnya nanti. Ketika tiba kesempatan
menempuh pendidikan, jangan jadikan alasan kepangkatan sebagai motivasi utama. Jangan
pula mengharap kenaikan gaji saat lulus nanti. Bukan pula masa liburan kuliah yang lebih
banyak daripada jatah cuti. Namun, niatkanlah sungguh untuk menuntut ilmu, agar saat kita
kembali ke kantor nanti, bukan karena dipulangkan sepertiku tadi, namun karena kita
sungguh berniat memberi kontribusi bagi negeri, berbekal ilmu yang didapat dari pendidikan
serta penerapannya dalam instansi.

Dan ketika dalam perjalananmu bertemu dengan ‘jalan’ yang tidak diduga, maka
bersabarlah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lebih dari diri kita sendiri, akan apa
yang kita butuhkan, bukan semata yang kita inginkan dalam hati.

Komentar