Matarmaja; The Luck Factor
(Lanjutan dari postingan sebelumnya)
Suatu siang di stasiun Jatinegara , Si Cepak sedang mengantri tiket Matarmaja. Saat itu adalah h-2 idul Adha, dan memang banyak sekali orang mengantri ingin pulang kampung. Antrian begitu panjang, dan kalau tidak karena ingin bertemu keluarga di kampung halaman, tak mungkin ia rela berdiri sekian lama hanya untuk selembar tiket bertuliskan nama tempat kelahirannya. Tau-tau ada SMS masuk, dari Si Gundul, temannya, katanya mau nitip tiket pulkam, dan dia sedang dalam perjalanan ke stasiun. Beres, balasnya singkat.
Antrian semakin berkurang jumlahnya, setapak demi setapak ia melangkah maju. Dari 10 orang di depan, berkurang menjadi 9, dan terus berkurang. 5 orang lagi, dan tiket di tangan. 4 lagi. 3 lagi. Dan . . . heyy... apa-apaan ini? Loket ditutup? Kereta penuh? Dialihkan ke kereta jurusan lain? Oh God, this is very very good news . . . Sisi baiknya, saya bakalan punya pengalaman naik kereta berjudul lain.
Dan Si Cepak pun pindah antrian. Kereta Brantas, Jurusan Kediri. Itu artinya, dari Kediri, masih harus oper kereta lain lagi. Bagus.
Akhirnya tiket didapat, dua lembar tiket pulang kampung. Tak apalah, meski harus oper dari Kediri nantinya. Hanya saja, yang sedikit menyesakkan, pada kolom yang seharusnya tercantum nomor kursi, tidak ada angka tertera. Alih-alih nomor kursi yang bakal menjadi singgahsana dalam kereta, hanya ada tulisan "BDR_TANPA_TMPT_DUDUK". BDR, tga huruf yang jika dirangkai bersamaan bisa mempunyai makna yang tidak menyenangkan.
Dan itu artinya, dia dan rekannya harus rela berdiri di antara kursi kereta, di bordes gerbong, atau di kamar mandi kalau perlu. Tidak ada kursi, kecuali jika ada orang yang turun lebih awal dari dirinya dan meninggalkan kursi kosong untuknya. Ralat, bukan untuknya, melainkan untuk siapa saja yang cukup cepat untuk merebut singgahsana itu.
Entah berapa jam akan terlewati dengan berdiri, atau setidaknya duduk di antara kursi penumpang beralaskan bagian belakang celana sendiri. Entah berapa kota akan terlewati sebelum ia mendapatkan 'warisan' kursi dari penumpang yang turun lebih dulu.
Temannya, si Gundul akhirnya datang, mau tak mau menerima kenyataan ini. Saling menguatkan, mereka berdua mencoba menghibur diri dengan mengatakan bahwa ini sebagai pengalaman. Matarmaja tiba terlebih dahulu, dan mereka hanya bisa melihat, kali ini, mereka tidak menaiki ular besi yang ini. Melainkan yang satunya lagi, yang akan berangkat sekitar 2 jam lagi. Melihat begitu banyaknya penumpang yang naik, mereka sedikit bersyukur juga karena tidak menaiki kereta yang satu ini. Saking banyaknya, sepertinya tidak bakalan ada tempat untuk sekedar duduk ngesot di antara kursi penumpang. Dan paling tidak, kalau mayoritas penumpang sudah terangkut Matarmaja, maka Brantas akan lebih sepi nantinya.
Dan merekapun menunggu, sembari menghibur diri. Berlama-lama mereka duduk di peron, mengistirahatkan kaki terlebih dahulu, bersiap saja kalau-kalau memang harus berdiri entah sejauh apa. Sesekali berdiri melakukan peregangan otot kaki.
Dan Brantas pun tiba. Melihat banyak penumpang yang antusias menyambutnya, perasaan kedua bocah ini mulai was-was. Akankah sepenuh Matarmaja juga?, begitu terlintas di pikiran mereka. Yang jelas, sebelum memikirkan itu, lebih penting berjuang memasuki kereta. Seperti biasa, memasuki kereta ekonomi selalu membutuhkan kejelian untuk melihat celah, timing yang bagus untuk menentukan kapan saatnya mengalah dan kapan harus maju, sedikit sikutan untuk memberi ruang bagi diri sendiri, sedikit dorongan lebih untuk melewati manusia-manusia yang sudah berjejalan lebih dulu dalam kereta, dan kewaspadaan dari para pencopet yang rajin merogoh saku penumpang yang baru masuk. Benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Melewati bordes, mereka masuk lebih dalam ke dalam gerbong. Tentu tidak berharap ada kursi kosong. Mereka hanya masuk lebih dalam, mencari ruang lebih untuk sekedar duduk ngesot atau sekedar jongkok. Orang-orang di belakang masih terus mendorong, memaksa mereka terus maju. . .maju. . .dan maju. Dan mentok, karena di depan sudah ada kerumunan orang-orang senasib, para pemilik tiket BDR. Melihat betapa penuhnya gerbong ini, dan tidak memungkinkan untuk pindah gerbong saking penuhnya, mereka hanya bertukar pandang. Kita kurang beruntung, kurang lebih begitulah maknanya.
(bersambung . . . )
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .