Belajar dari Pengalaman (Orang Lain)
Tak perlu tenggelam untuk mengetahui bahwa laut itu dalam |
Akhir pekan lalu, kami dua keluarga (saya, istri dan anak-anak, serta adiknya istri, suami dan anaknya) berkunjung ke sebuah lokasi wisata akuarium di dalam sebuah pusat perbelanjaan di Bintaro. Di sana kami menyaksikan berbagai satwa perairan dari balik tangki kaca. Seperti Sea World di Ancol dan Jakarta Aquarium, kurang lebih. Namun postingan kali ini bukan membahas lokasi wisata dengan tiket masuk seharga 175 ribu per orang tersebut.
Pada satu momen di sana, istri menyaksikan akuarium besar di sana. Tingginya sekitar 4 meter, sehingga saat difoto dari samping, seolah-olah istri yang sedang berada di dalam laut (bukan lautnya yang naik ke darat). Padahal doi takut banget sama kedalaman laut. Ini baru akuarium, gak kebayang kalau laut beneran. Dari momen itu, saya teringat akan tulisan Om Squ (pembuat komik dakwah berseri "Pengen Jadi Baik") tentang riba. Om Squ punya komunitas yang membantu orang-orang korban riba. Mereka diibaratkan "orang laut", yang tenggelam dalam jerat ribawi. Sementara para penolong diibaratkan sebagai "orang darat" yang membantu mereka mentas dari jeratan riba.
Di lingkungan kami, sedihnya, banyak sekali kerabat yang terjerat riba. Mulai daei cicilan rumah, mobil, bahkan gawai. Miris melihatnya. Mungkin karena di masyarakat kita sudah amat terbentuk pola pikir "kalau ngga nyicil, kapan lagi punya rumah/kendaraan/gawai baru". Padahal Allah sudah memberi peringatan yang sangat gamblang di dalam Al-Qur'an. Salah satunya adalah ayat berikut:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
"Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah ayat 275).
Jelas, haram kan? Kalau larangan Allah masih tak membuat kita menghindar, mungkin perlu gambaran yang lebih nyata seperti dalam hadits berikut:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri]
Gak kurang serem ta?
Masih banyak lagi sebenarnya, dalil-dalil tentang larangan riba, tapi warganet biasanya lebih suka dengan contoh nyata, kan?
Oke, here we go, top 5 kisah riba yang kami rangkum dari perjalanan hidup orang-orang di sekitar kami.
Bunganya sadis, Bro
Seorang senior seruangan mengambil KPR untuk membeli rumah di timur Ibukota. Setiap hari, ia dan istrinya berangkat kerja di Jakarta Timur (istri beda instansi). Jauh dan capek, tapi rumah milik sendiri. Saat itu saya masih lajang, dan belum kepikiran ambil KPR. Tapi senior tersebut justru melarang saya ambil KPR di bank plat merah yang menjadi penyalur gaji kami. "Bunganya sadis, Bro. Mending jangan sampe kayak Mas yang udah terlanjur." Oke, noted Mas.
Dobel gardan serasa single salary
Seorang kawan, sepasang suami istri satu seragam namun beda kantor. Ambil KPR di lokasi yang lebih dekat dengan kantor istri, di barat ibukota. Cicilan dua, rumah dan mobil. Mereka kerja berdua, tapi gaji salah satu dari mereka sudah habis untuk bayar cicilan. Belum kebutuhan bayi, harus sewa jasa untuk menjaga bayi. Hmmm...
Mending ojo, aku ae pingin ndang ngelunasi
Seorang sahabat dan istrinya (yang saat ini jadi sohib istri saya), ambil KPR di timur ibukota. Dulu mengajak kami ambil KPR di sana juga. Selang berapa tahun kami berjumpa, sudah berbeda nasihat mereka. "Mending ojo, Win. Aku ae pingin ndang ngelunasi. Cicilanku mundak sejuta setengah taun iki." Oke, nasihat senior seruangan tadi masih relevan rupanya.
Lagi dan lagi
Kerabat lain, suami istri, doyan bergaya tinggi. Ambil cicilan rumah (tentu saja, di luar ibukota juga lokasinya) dan sekalian mobil juga. Pada satu momen, terpaksa gelapkan anggaran kantor untuk menambal biaya. Tentu saja, berimbas pada diputusnya hubungan kerja. Beruntung, sanak famili mereka masih bersedia memberi bantuan kerana iba. Tak disangka tak dinyanya, tahun berganti namun gaya hidup tak berubah. Kembali terperosok di lubang yang sama. Jengah, sanak famili pun sampai tak sudi bertegur sapa.
Habis semua
Persona lain, bekerja di perusahaan ternama. Gaya hidupnya cukup mentereng, sudah sejak lama. Rumah dan mobil 'dimiliki', tentu KPR dan di luar ibukota. Berbagai even keluarganya, dirayakan dengan gempita. Naas baginya, selain KPR terjebak pula ia pada pinjaman daring. Konon pada puluhan aplikasi ia ajukan pinjaman, padahal bunganya seram nian. Hingga akhirnya, penyakit menerpa, ia tak bisa lagi bekerja. Segala yang dimiliki, sirna tak bersisa, hingga berdampak pada keutuhan keluarga.
____________________________________________
Bertahan dari godaan ribawi di jaman saat ini, alhamdulillah masih bisa kami jalani. Pelajaran dari orang-orang di atas, menjadi dukungan moral bagi kami untuk tetap teguh "emoh nyicil".
Kami bertahan mengontrak rumah di dekat kantor, meminimalisir risiko perjalanan. Istri di rumah mendukung dengan hidup qona'ah, ditambah aktif berdagang produk-produk yang insyaAllah berkah. Pergi kemanapun, kami pakai jasa taksi daring. Tak perlu gengsi meski tak ada kendaraan pribadi selain motor tangan kedua yang saya beli nyaris satu dekade sebelumnya.
Ketika orang-orang bertanya "kok gak nyicil ini itu?", tak pernah kami gubris sampai terbawa hati. Kalau mereka ngga nawarin bantuan bayar cicilan sih, buat apa dituruti? Toh kami kontrak rumah/pakai taksi daring juga tidak mengganggu hidup mereka.
Memang sih, kata pepatah kan, pengalaman adalah guru terbaik. Namun dalam hal riba, saya rasa, belajar dari pengalaman orang lain sudah cukup lah ya. Belum lagi kisah-kisah lain di medsos, seperti rumah diambil paksa, pengembang yang kabur, atau denda saat hendak melunasi lebih awal.
Sebagaimana tak perlu tenggelam untuk mengerti dalamnya lautan, tak perlu pula digigit buaya untuk faham betapa giginya amat tajam, memang tak perlu untuk terjebak dalam jerat riba untuk bisa mengambil pelajaran.
Semoga kita senantiasa dilindungi Allah dari ngerinya riba, dan yang sudah terlanjur segera dimampukan untuk lepas darinya. Aamiin
Referensi:
https://almanhaj.or.id/4231-riba-dosa-besar-yang-menghancurkan.html
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .