Charlie Hebdo: Waspadai Aftermath-nya

*tulisan ini tidak berarti saya mendukung kekerasan. Saya sekedar mengajak untuk berpikir logis dalam mencermati kejadian-kejadian yang lagi "heboh" di dunia ini

Charlie Hebdo. Jujur saja, saya belum pernah mengetahui nama ini sebelum kejadian penembakan yang terjadi baru-baru ini. Saya tidak akan menceritakan bagaimana kejadiannya, Anda bisa membaca di berbagai situs berita "terpercaya". Saya juga bukan mengomentari keanehan video penembakannya (seperti blog Indocropcircles). Saya hanya ingin mencoba menganalisa, dengan segala keterbatasan pengetahuan saya, tentang apa yang terjadi di sana. Dan mengapa.
Bayangkan, Anda bertemu seorang pengendara motor yang ugal-ugalan di jalan, Menyalip sana sini tak tahu aturan, main klakson dan blayer-blayer knalpot bodong yang menurut sebagian orang keren tapi mayoritas mengatakan itu bikin kuping risih. Lalu tiba-tiba ada preman jalanan yang muak dengan orang itu. dan menghampirinya di lampu merah. Tanpa banyak bicara, si pengendara angkuh dihajar habis sampai babak belur. Saya rasa kalau kita melihat hal itu, kebanyakan dari kita akan enggan untuk menolong si pengendara dan dengan senang hati mengatakan "rasain lu, makanya jadi orang jangan sok".

Bukan karena kita senang dengan kekerasan. Ya, tindakan si preman yang main hakim sendiri pasti juga salah. Namun ketika itu terjadi, kita akan memakluminya. Bukan karena memaklumi kekerasan, namun karena wajar jika ada orang yang suka "cari gara-gara" mendapatkan akibat dari perbuatannya. Dan sebagian dari kita akan mengatakan itu pantas. Itu yang saya rasakan saat pertama membaca berita terkait insiden Charlie Hebdo.

Seperti yang sudah kita ketahui, majalah satir tersebut seringkali menyakiti perasaan umat Islam dengan melakukan perbuatan tak sepantasnya (menggambar berbagai karikatur yang tak pantas) atas dasar "Freedom of Expression", alias kebebasan berekspresi. Sayangnya, kebanyakan orang menganut paham ini tanpa menyadari bahwa kita tak pernah benar-benar bebas, sebebas-bebasnya. Ada sebuah paradox universal yang mengatakan bahwa kita mungkin bebas melakukan apa saja namun tak bisa bebas dari konsekuensi perbuatan tersebut. Paham kan?

Misalnya, seorang siswa bebas, mau belajar atau tidak sebelum ujian, namun dia tak bisa lepas dari konsekuensi bahwa dia tidak mampu menjawab soal ujian yang diberikan dan gagal pada ujian tersebut. Atau seperti si pengendara tadi, bebas aja berkendara semau-maunya, dengan konsekuensi besar potensi untuk menabrak/ditabrak, atau dihajar orang lain yang tidak senang dengan perbuatannya.

Itulah sunatullah, hukum sebab-akibat. Apa yang kita lakukan, akan ada balasannya. Tuhan menjanjikan balasan yang adil untuk setiap perbuatan. Kalaupun ada suatu perbuatan yang tidak terbalas dengan adil di dunia, pasti di akhirat. Sebagian orang mungkin akan bertanya, "sok tau, kayak pernah ke akhirat aja". Saya belum pernah ke akhirat memang, tapi saya diajari tentang hal itu oleh para ustadz, alim, dan orang-orang yang memahami agama. Saya percaya. Itu namanya iman.

Kembali ke topik semula. Kebebasan berekspresi tentu tidak berarti kita bisa bicara (atau menyampaikan pendapat/ ide dalam bentuk tulisan/ ketikan atau apapun) semau-mau kita tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Kita hidup bersama manusia, masing-masing punya hak untuk hidup aman dan tentram, tanpa gangguan dari pihak lain dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Dan pelecehan terhadap kepercayaan orang lain, itu jelas melanggar hak individu tersebut. Bahkan jika orang tersebut kepercayaannya salah, bukan berarti kita langsung menghabisi pendapatnya. Menyampaikan kebenaran, ilmu, berdakwah, tetap harus dengan cara yang baik. Nabi Muhammad SAW -semoga sholawat senantiasa terucap untuk Beliau-, manusia paling sempurna akhlaknya, mengajarkan bahwa dakwah itu harus dengan cara yang baik, sebisa mungkin. Islam itu rahmatan lil 'alamin, mengajarkan kebaikan. Menyampaikannya pun diutamakan dengan cara yang baik. Bukankah setiap dakwah Beliau diawali dengan ajakan yang baik, dialog, surat resmi ke kerajaan-kerajaan tetangga, dan bukan ujug-ujug ngajak perang, kan? Memberikan sesuatu yang baik, tetap harus dengan cara yang baik. Jika memberikan sesuatu yang baik dengan cara yang tidak baik, maka si penerima pun tak akan menerimanya dengan baik. Ibaratnya, kita mau memberikan sebatang emas 24 karat dengan beras 100 gram kepada seorang pengemis, tapi dengan cara dilempar ke jidatnya. Tentu reaksinya nggak akan baik, kan? Padahal yang diberikan adalah hal yang baik (emas 100 gram lho, siapa yang nggak mau?)

Nah, memberikan sesuatu yang baik saja kalau caranya tidak baik, bisa menimbulkan reaksi yang nggak baik, apalagi hal yang diberikan nggak baik? Misalnya, melemparkan satu kilo kotoran sapi kepada seseorang. Apa mungkin yang dilempari memberikan reaksi yang baik? Jelas nggak. Pasti reaksi yang timbul nggak akan baik, kan? Saya rasa, Charlie Hebdo melakukan itu. Melemparkan hal yang nggak baik kepada umat Islam (dan umat beragama lainnya) dengan cara tidak baik. Dan itulah yangmereka dapatkan. Hal yang tidak baik, bukan? Kata peribahasa, jangan membangunkan macan yang sedang tidur (kalau nggak paham arti peribahasa ini, gampangnya, jangan cari gara-gara!).



(bersambung)

Komentar