Sotoy Lu
Ini sotong. Dia gak sotoy kayak elu, Tong! |
Bagi sobat muslim di Indonesia, bicara hadits malam jumat, sebagian orang membayangkan yaasiinan atau hubungan suami istri. Tapi, yang lebih jelas keshahihan haditsnya dan lebih utama adalah anjuran membaca surat Al-Kahfi.
Tak hanya mendapat cahaya di antara dua Jumat, banyak kisah dalam surat ini yang penuh dengan hikmat.
Satu kisah yang amat menarik dan relevan dengan kondisi umat saat ini, adalah kisah Nabi Musa Alayhissalam.
Nabi Musa jelas bukan orang sembarangan. Beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang memiliki banyak mu'zizat, dan di antaranya adalah beliau bisa bicara langsung dengan Allah tanpa perantara malaikat. Gak maen-maen kemampuan beliau.
Tapi ternyata eh ternyata, ada seseorang yang lebih banyak tahu daripada beliau.
Dikisahkan dalam Al Qur'an surat Al-Kahfi ayat 60 sampai 82, bahwa Nabi Musa diingatkan oleh Allah SWT akan adanya seseorang yang lebih berilmu daripada beliau. Singkat cerita, Nabi Musa pun menemui dan mengikuti beliau. Dalam perjalanannya, Nabi Musa dibuat terheran-heran akan perbuatan orang tersebut, sampai-sampai mereka harus berpisah akibat kekurangsabaran beliau menghadapi perbuatan orang tersebut. Pada akhirnya, diakuinya bahwa setiap perbuatan tersebut bukan dilakukan berdasar keinginan sendiri, namun atas adanya ilmu dari Allah yang diturunkan padanya, namun tidak pada Nabi Musa.
Bagi penulis, ini adalah kisah yang amat relevan dengan masa kini. Di era banjir informasi, sehingga membuat kita gampang bicara gono gini.
Di sinilah kita, gagap media massa, gak tau apa-apa, tapi sotoy. Jangankan dibanding Nabi Musa, dibandingkan guru kita saja, derajat keilmuan dan kesalihan kita ini, sungguh jauh.
Tapi sungguh, ketika berkomentar, terutama di dunia maya, wah, kadang perangainya macam orang paling ahli saja.
Istilah kerennya, Dunning-Kruger effect. Gak tahu, tapi merasa tahu, mampu, hebat.
Mungkin memang menuntut ilmu itu ada tiga tahapan. Pertama membuat orang merasa hebat, lalu membuat orang merasa bodoh, barulah membuat orang itu bijak |
Jauh sebelum istilah keren itu diperkenalkan, bangsa kita sudah memiliki peribahasa untuk sifat tersebut.
Tong kosong nyaring bunyinya,
Air beriak tanda tak dalam.
Otak kosong banyak bicara,
Bicara banyak meski tak paham
Maka, janganlah kita menjadi tong kosong atau air beriak.
Terhadap sesama manusia, janganlah seperti si buta yang meraba gajah*) maka tabayyunlah.
Terhadap takdir-Nya, janganlah seperti tetangga pak tua yang kehilangan kuda**) maka berbaik sangkalah pada-Nya.
Jangan hanya demi pandangan manusia, kita paksakan banyak bicara meski tak memahami seutuhnya, seluruh fakta dan kenyataan di balik tiap keadaan.
Jangan hanya demi nafsu belaka, mengumbar cemoohan pada takdir yang telah Ia tetapkan, tanpa tahu bahwa segalanya penuh hikmah dan kebaikan.
Maka pembaca nan budiman, alangkah baiknya jika kita senantiasa mampu menjaga lisan, dari perkataan yang tak disandarkan pada keilmuan.
Baik untuk perkara duniawi, maupun perkara takdir Illahi.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa mencari, memahami, mengamalkan dan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, baik untuk dunia maupun akhirat.
Aamiin. . .
*)
Alkisah, di sebuah kota ada sekelompok orang buta yang mendengar tentang gajah. Tanpa tahu makhluk apa itu, mereka pun tertarik dan hendak mengetahuinya. Dengan indera peraba mereka karena keterbatasan mata, mereka pun menyentuh bagian badan gajah dan berdebat atasnya. Pemegang gading berkata, gajah seperti tombak nan keras dan tajam; pemegang belalai menyebutnya panjang layaknya ular; pemegang kaki mengatakan gajah layaknya batang pohon; pemegang samping badan menyebutnya kokoh bagai tembok; dan pemegang ekor menyebutnya ibarat tali serabut. Kesemuanya benar dalam batasan tertentu, namun tak sepenuhnya tepat.
**)
Alkisah, di pinggiran suatu negeri, seorang tua kehilangan kudanya. Tetangga berkata betapa malangnya ia, namun ia hanya berkata, kita tak tahu apa yang terjadi nanti, bisa baik, bisa buruk.
Selang berapa lama, kudanya kembali membawa sekelompok kuda liar. Tetangganya berkata, betapa beruntungnya ia, namun ia kembali berkata, kita tak tahu apa yang terjadi nanti, bisa baik, bisa buruk.
Ketika putranya berusaha menjinakkan kuda-kuda liar itu, ia terjatuh dan patah kakinya. Tetangga berkata betapa malangnya ia, kembali ia berkata, kita tak tahu apa yang terjadi nanti, bisa baik, bisa buruk.
Tanpa diduga, negeri seberang menyerang, dan para pemuda wajib ikut menjadi tentara. Putra pak tua yang patah kakinya, terhindar dari kewajiban bela negara. Tetangga berkata, betapa beruntungnya mereka. Dan seperti yang sudah kalian duga, pak tua hanya berkata, kita tak tahu apa yang terjadi nanti, bisa baik, bisa buruk
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .