Filosofi Mendol
Pembaca tahu mendol?
Mendol adalah sejenis lauk khas Jawa Timur, yang dibuat dari tempe yang dikukus (opsional), dihancurkan, dibumbui, lalu dikepal-kepal sebelum digoreng. Biasanya menjadi teman makan pecel, nasi jagung, urap, rawon, orem-orem, atau hidangan khas Jatim lain.
Bagi penulis, mendol itu unik, karena kalau dikepal terlalu keras, ia akan hancur lagi menjadi butiran tempe dan bumbu. Harus restart progress.
Kalau tekanan yang diberikan saat mengepal kurang, ia akan ambyar saat digoreng. Tetap enak untuk dimakan sih, tapi ngga gitu konsepnya.
Jadi, harus diberikan tekanan yang pas.
Lalu, apa hubungannya? begitu mungkin pikir pembaca.
Dalam hidup, seringkali kita menghadapi tekanan dari luar. Kita seperti mendol. Kadang kita hancur di awal karena tekanan terlalu besar di awal (sebagaimana orang yang mengalami depresi hingga tak berhasil melaju), kadang kita hancur di proses selanjutnya karena kurang tekanan di awal (layaknya anak manja yang terbiasa semua disiapkan, namun terkejut saat menghadapi ujian hidup di luar zona nyaman).
Tentu kita tak dapat mengontrol tekanan yang akan menimpa diri kita.
Tapi, ada kalanya kita ada dalam posisi 'pemberi tekanan'; mungkin sebagai orang tua, atasan, atau sebagai pengajar.
Maka, semoga kita bisa menjadi pembuat mendol yang mampu memberikan tekanan yang pas.
Tidak terlalu keras sehingga mendol (anak, bawahan atau murid) kita hancur sebelum ke wajan, tidak pula terlampau lembek hingga mendol kita hancur saat digoreng dalam wajan.
Pas.
Bukankah dalam hidup, kita suka yang pas-pas saja?
Semoga.
Anyway, kalau pembaca mau mencoba membuat mendol, bisa cek resep di sini (termasuk gambar di atas saya ambil dari sini).
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .