Cuap-cuap Tentang Pendidikan; Kurikulum Mekso

Sabtu kemarin, penulis bertemu dengan mentor dalam acara mentoring (seharusnya) rutin. Kebetulan, penulis sempet denger gosip bahwa mas mentor akan resign dari pekerjaannya, dan mencoba fokus pada 'sesuatu'. Bisnis kah? Tanya penulis. Rupanya tidak sepenuhnya benar, karena kata sang mentor, urusan bisnis hanya sebagian kecil dari kesibukannya saat ini. Dan yang menjadi concern beliau saat ini adalah unschooling. Jadi intinya beliau ingin mengembangkan unschooling di Indonesia, berawal pada keprihatinan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Penulis jadi ingat tentang pandangan pribadi terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Kebetulan, ayah penulis adalah seorang guru yang memiliki 'bisnis' sampingan sebagai pengurus sebuah sekolah swasta (bisnisnya tetep jadi guru juga sih), jadi sedikit banyak, ikutan nggelibet dengan dunia pendidikan, dan sedikit banyak menaruh concern juga.
Dari apa yang pernah penulis rasakan, sistem pendidikan di Indonesia memang terkesan memaksakan. Bayangkan (atau ingat-ingat aja deh, kan Pembaca juga pernah sekolah toh?), kita sekolah masuk pukul sekian, menempuh sekian jam pelajaran, istirahat sekian menit, lalu sekian jam lagi mencerna pelajaran berikutnya. Kita dibuat untuk mencerna hal-hal yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, nggak butuh-butuh amat (ini penulis rasakan terutama pas SMA).
Maaf, bukan maksud penulis meremehkan profesi guru dan ilmu yang diajarkan, namun penulis merasa aja, beberapa pelajaran yang diberikan itu terkesan useless. Ambil contoh, matematika, kita diajarin integral, diferensial, bilangan imajiner, dan lain sebagainya yang nggak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Atau fisika, kita ngehitung energi dari benda yang jatuh dari ketinggian sekian meter, beratnya sekian gram, toh kalo ada buah kelapa jatuh kita nggak bakalan mikirin berapa joule energinya tadi, kita otomatis mikir apa itu kelapa masih bisa dimakan atau nggak :p. Atau kesenian, semua murid dipaksa mampu dan lihai dalam membuat berbagai kerajinan tangan mulai dari menggambar, mematung, melukis, serta menampilkan berbagai kesenian macam drama dan tari. Kalau penulis rasakan sih, kurikulum kita terkesan mekso, memaksakan kepada murid untuk menguasai (setidaknya lulus minimal sesuai standar 'mampu') semua mata pelajaran yang disuguhkan. Kalau tidak menguasai? Ya nilainya jelek, bisa-bisa kena drop out, nggak naik kelas, nggak lulus. Kalo nggak lulus, nggak dapat ijazah, nggak punya masa depan, itulah anggapan yang umum.
Tentu, tidak bisa kalau kita salahkan guru, atau penerbit buku. Sebenarnya yang salah adalah sistem yang ada, kurikulum yang diterapkan. Seolah-olah, demi mencetak murid yang kelak sukses hidupnya, adalah dengan menjejalkan sebanyak mungkin 'ilmu' ke dalam kepala murid, yang tentu saja kapasitas dan kemampuan memahaminya berbeda-beda. Lihat saja, demi memperbanyak materi yang dijejalkan kepada murid, semakin banyak sekolah yang menerapkan full day school. Masuk pukul 7 pagi, pulang pukul 4 sore. Mampus deh. Coba yang udah pada kuliah, pasti banyakan ngantuknya daripada nyambungnya.
Nggak salah memang, mengajarkan berbagai macam ilmu kepada murid. Tapi, alangkah bijaksananya kalau ilmu yang diajarkan di sekolah adalah yang realistis, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu nggak mungkin kita ngeliat mobil di jalan lalu menghitung energi kinetiknya, atau melihat angka-angka lalu menghitung diferensialnya :) . Sekolah cenderung mengajarkan ilmu formal, teoritis, alih-alih mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan soft skills pada muridnya.
Akibatnya, kebanyakan murid hanya akan mengingat sambil lalu apa-apa yang diajarkan di sekolah. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar banyak ingat (dan paham) tentang apa yang diajarkan. Di luar pelajaran di kelas, kebanyakan murid tidak menguasai apapun. Ada kecenderungan bahwa murid-murid dari institusi pendidikan kita (sebagian) unggul dalam ilmu (yang diajarkan di sekolah) namun kurang dalam soft skills. Coba ingat-ingat, ketika jaman sekolah dulu (terutama, SD-SMA), teman-teman yang ranking-rangking atas biasanya adalah tipikal pelajar yang benar-benar pelajar, namun kurang asik dalam pergaulan. Iya gak?
Nah, pada kenyataannya, institusi pendidikan yang ada saat ini memang cenderung lebih perhatian kepada hard skills dibandingkan soft skills. Murid-murid dibekali dengan materi pelajaran yang berlimpah (baca: overload) namun minim pembekalan kemampuan soft skills. Padahal, yang menentukan kesuksesan seseorang bukan hanya hard skills, melainkan juga soft skills. Gak percaya? Coba searching sendiri aja ya, saya agak ogah membahas dan membanding-bandingkan keduanya :p (insya Allah kapan-kapan saya postingin tentang ini).
Nih orang posting nanggung banget sih, begitu mungkin pikir Pembaca. Tapi yah, anggaplah saya sedang mengetes sejauh mana tanggapan dan ketertarikan Anda terhadap ocehan saya ini. Ibaratnya, tulisan saya adalah umpan untuk membuat Pembaca sekalian (ikut) memikirkan hal ini. Karena bagaimana generasi bangsa ini ke depannya, bergantung pada bagaimana kita mendidiknya sekarang. Dan ini adalah tanggung jawab kita bersama, demi memajukan bangsa dan rakyat kita yang entah kapan benar-benar maju dan berprestasi :))

*sebenarnya ini sudah waktu makan siang, jadi saya break dulu postingnya. Insya Allah akan penulis bahas lebih panjang lagi di kesempatan lain :)

Komentar

  1. iya broo..setuju..standar kurikulum yang terlalu tinggi tapi minim aplikasi emang jadi mubadzir ya..

    kalo tentang ide mu itu, pengen bahas di diskusi yang lebih lanjut deh.. :-)

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)

Nuwus . . .