Diklat Kesamaptaan Bea Cukai (III)
Latihan di Cihampea
Saat pekan-pekan pasca minggar, siswa samapta sebenarnya
menjalani tiga macam latihan, yang tujuannya adalah untuk atraksi penutupan
samapta. Umumnya ada tiga macam latihan, sesuai dengan tiga macam atraksi yang
akan ditampilkan saat penutupan, yakni kolone senjata, baris berbaris, dan bela
diri. Pada angkatan penulis, baris-berbaris digantikan dengan senam senjata.
Nah, saat pecan-pekan pasca minggar, seluruh siswa samapta mengikuti seluruh
jenis latihan. Sampai tiba saatnya latihan outdoor di luar kota, tepatnya di
daerah Cihampea, kompleks latihan TNI. Bagi siswa samapta yang hidupnya
sehari-hari di pusdiklat tanpa boleh keluar kompleks pusdiklat, latihan di
Cihampea serasa outbond yang menyegarkan (meski tetap melelahkan).
Tujuan utama latihan di Cihampea adalah latihan
menembak dengan peluru beneran, bukan sekedar membawa senapan ke sana kemari,
sekaligus latihan scenario peperangan (bagi kami seperti latihan
perang-perangan yang lebih nyata dibandingkan main perang-perangan jaman kecil
dulu). Di Cihampea, para siswa tidur di tenda panjang, di tengah lapangan. Dan
mengingat lokasi Cihampea berada sekian ratus meter di atas permukaan laut,
suhunya sangat dingin, kontras dengan saat di Jakarta. Untung saat penulis di
sana, pas nggak hujan sama sekali. Jadi relatif aman. (Beda dengan saat
minggar, di mana saat tidur di kuburan, sering hujan hingga basah jkuyup tanpa
ada tempat berteduh. Dan itu sampai pagi, sampai besoknya lagi sampai minggar
usai, baju itu dipakai terus. Jadi baju itu akan dimulai dari kering, lalu
basah, sampai kering lagi, sampai basah lagi). Kalau pas di Cihampea, bawa baju
ganti juga kok. Berdoa aja supaya nggak hujan.
Saat latihan menembak di sana, siswa
menggunakan senapan SBC buatan PT Pindad, varian dari SS1 v5 yang tidak
digunakan oleh TNI, dan akhirnya menjadi senapan organik di DJBC. Dengan bobot
lebih ringan dari senapan velmet yang sehari-hari dipegang, SBC sebenarnya
merupakan senapan yang bagus akurasinya, namun agak sering macet (entah karena
yang dipakai ini memang sudah berkali-kali digunakan saat latihan dan
perawatannya kurang sehingga kurang optimal).
Teori menembak dengan senjata laras panjang
akan diajarkan pada saat fase satu, tapi saat memegang senapan beneran di
lapangan, biasanya siswa akan lupa teori, sehingga menembaknya pun sekenanya .
. . atau lebih buruk lagi, nggak kena sasaran.
Selain latihan menembak, beberapa siswa akan menembak
bersamaan, berjajar ke samping (sekitar 8-10 siswa kalau tidak salah), dengan
sasaran yag diletakkan sekitar 50 meter (kalau tidak salah). Siswa akan diberi
tiga peluru percobaan, dan 10 peluru penilaian. Saat menembak, seringkali para
siswa hilang fokus karena mendengar letusan senapan kawan di kanan-kirinya,
lalu terbawa emosi dan langsung menembak tanpa
membidik. NaH, ini haram hukumnya. Karena bukan adu cepat, melainkan adu
akurat, maka jangan keburu menembak hanya karena kawan yang lain udah nembak
duluan. Tetap fokus, bidik, tahan nafas, lalu perlahan tekan pelatuknya.
Kalaupun nggak kena lingkaran yang di tengah (10 poin), paling tidak jangan
sampai pelurunya ngga ada satupun yang kena sasaran. Malu. Dan dihukum. Untuk
tiap kloter, siswa dengan poin terendah akan dihukum dua kali. Pertama, setelah
perhitungan poin, akan disuruh menggendong pelatih kembali ke titik semula (50
meter). Kedua, dua orang dengan poin terendah akan disuruh mengenakan daster
dan topeng (wajah monyet). Memang Cuma sebentar, setidaknya sampai ada siswa
dari kloter berikutnya yang mendapat nilai terendah (pasti ada), tapi
setidaknya jangan sampai dapat nol, alias samasekali nggak kena sasaran. Itu
aib bagi siswa samapta.
Selain latihan menembak, biasanya akan ada kegiatan
penjelajahan sekaligus tes materi membaca peta. Penulis dulu mengalami 3 kali
penjelajahan. Yang pertama, sore-sore, menjelajahi area jalan kampong. Kedua,
menjelajah area hutan dan bukit (ada materi turun bukit menggunakan tali; kalau
ini, beneran asyik banget meskipun jauh dan capek), serta ada penjelajahan yang
dibikin scenario. Jadi semacam main perang-perangan. Kita disuruh memakai
kamuflase, bergerak dari satu titik ke titik lain, lalu seolah latihan
berperang dengan segala cara. Mulai dari menggunakan senapan, lalu saat senapan
kehabisan peluru maka senapan kosong itu dijadikan senjata, lalu beladiri
tangan kosong. Seru tapi capek.
Oh ya, ada juga jelajah malam. Kalau ini sudah
jelas, dilakukan di malam hari. Rutenya melewati hutan, lebih dekat disbanding rute
penjelahahan yang lain. Tapi bedanya, kali ini jalan sendiri-sendiri (kalau
yang lain tadi berkelompok). Bagi penulis sih biasa aja, tapi pasti aka nada beberapa
siswa yang takut gelap (ditambah
hantu-hantuan bikinan pelatih), maka pasti akan ada teriakan-teriakan ketakutan
di tengah malam. Seru.
Pasca Cihampea
Sepulangnya
dari Cihampea, maka samapta akan terasa ringan. Sebenarnya bukan karena
kegiatannya lebih ringan, tapi lebih karena fisik yang sudah terbiasa. Kalau di
hari pertama sapamta, besok paginya badan akan terasa sangat kaku, pegal tak
karuan karena badan kaget dengan intensitas kegiatan fisik yang meningkat
pesat, maka setelah Cihampea, tubuh mulai terbiasa sehingga rasanya lebih
ringan. Kegiatan fisik sih sebenarnya sama saja, nggak berbeda. Cuma porsi
latihan yang berbeda. Biasanya pada fase ini, para siswa sudah dikelompokkan
sesuai dengan atraksi apa yang akan ditampilkan. Yang tampil bagus saat latihan
bela diri akan masuk skuad bela diri, yang bagus saat kolone senjata, akan
tampil saat kolone, dan seterusnya. Kalau penulis sih, ikut bela diri. Mengapa?
Karena latihannya lebih ringan, TIDAK PERLU BAWA SENAPAN. Hahahaha
Pekan-pekan
terakhir begini biasanya siswa sudah dilanda kebosanan. Jadi pandai-pandailah
menjaga mood. Kalau fisik, sudah hamper nggak ada yang dikuatirkan sih.
Penutupan
Puncak dari
rangkaian Diklat Kesamaptaan adalah penutupan. Ini yang ditunggu-tunggu oleh
para siswa (karena pasca penutupan sudah bisa kembali hidup normal). Bagi
penulis, inti dari penutupan adalah sebisa mungkin tampil sempurna sesuai peran
yang dijalankan. Jangan sampai kan, sudah latihan berminggu-minggu eh pas
penutupan, elek-elekan. Kan sia-sia. Jadi fokuslah, karena kebebasan telah
menanti di depan mata. Hehehe
Hikmah Samapta
Ada kawan
penulis yang setelah menjalani samapta, bawaannya ngomel melulu. Dia mengatakan
bahwa samapta ini nggak ada gunanya, hanya acara penyiksaan aja, sama seperti
ospek tapi lebih terorganisir dan terencana. Dia berargumen bahwa okelah untuk
yang tugasnya patrol laut, memang perlu. Tapi yang di kantor nggak perlu,
karena ilmunya nggak relevan. Benarkah demikian?
Mari kita
tilik pernyataan tersebut.
Saat
samapta, kita diajari menggunakan senapan, bela diri (tangan kosong maupun
dengan senapan), cara memarkir helicopter (kode pendaratan dll), ilmu P3K
dasar, ilmu membaca peta, baris-barbaris, peraturan penghormatan, upacara, dan peraturan
urusan dinas dalam dan sebagainya. Kita nggak diajarin caranya bikin
presentasi, cara ilmu komunikasi dengan pengguna jasa, atau ilmu teknis Kepabeanan
dan Cukai lainnya. Tapi bukan berarti nggak berguna. Tata cara penghormatan,
baris berbaris dan PUDD berguna untuk menumbuhkan sikap tegas, lugas, tepat
waktu serta menghormati senior (dalam artian siapapun yang pangkatnya lebih
tinggi, ataupun yang lebih tua usianya, atau siapapun yang berada di kantor itu
lebih awal dari kita). Ini adalah bagian dari komunikasi non-verbal di lingkungan
DJBC. Semi militer memang, agak kaku memang, tapi inilah budaya kita. Senior
kita, baik yang sudah menjadi pimpinan maupun tidak, juga mengalami ini. Ini
budaya yang baik, bukan budaya balas dendam ala ospek yang tidak ada hasilnya.
Sikap khas orang DJBC ini sudah diakui oleh saudara-saudara kita yang lain di
Kemenkeu, bahkan saudara di Direktorat Jenderal Pajak juga meniru Samapta kita
(judulnya DTU, DIklat Teknis Umum) meski tidak selama dan seintens samaptanya
orang BC. Karena mereka menyadari, ada yang kurang dari sikap para pegawai DJP,
bukan tentang kompetensi teknis, melainkan lebih ke soft competency. Dan kemampuan untuk peduli dan menghormati orang
lain, itu tidak buruk, bukan?
Selain itu,
samapta juga mengajarkan kita untuk menjaga ‘kelurusan’ rekan kita. Saat
samapta, ketika satu orang salah, maka semua akan dihukum. Demi mencegah
hukuman bersama, maka para siswa akan terbiasa untuk saling mengingatkan. Eh
jangan lupa atribut, eh jangan salah menjalankan perintah, eh jangan telat
barisnya, biar tidak dihukum semua. Sadar atau tidak, saat di dunia kerja,
ketika ada satu pegawai yang salah, maka seluruh instansi itu akan kena
dampaknya. Contoh nyata adalah kasus Gayus. Satu pegawai DJP yang salah, tapi
seluruh pegawai DJP yang lain (bahkan se-Kemenkeu, termasuk anak STAN yang
masih kuliah), akan mendapat imej negative darei masyarakat. BIsa jadi, ketika
kita tidak peduli dengan apa yang dilakukan rekan kita, hal itu akan membawa
dampak negative yang orang lain tidak akan mau tahu, mereka tahunya pegawai
kemenkeu salah. Maka citra seluruh pegawai kemenkeu yang kena. Tentu kita tidak
mengharapkan hal ini, bukan? Makanya kita harus peduli untuk saling
mengingatkan, jangan sampai ada rekan yang salah dan dibiarkan, agar tak sampai
merusak seluruh jajaran pegawai Kemenkeu (dan PNS pada umumnya juga sih). Tau
sendiri, imej PNS secara umum sudah tidak terlalu bagus, apalagi ditambah kalau
ada oknum yang salah, akan tambah parah.
Hukuman
saat samapta, menurut penulis, juga merupakan hal yang penuh hikmah sebenarnya.
Misalnya, Stealing (tidak tahu penulisannya bagaimana, yang jelas terdengar
seperti ini). Merupakan kondisi di mana siswa samapta diharuskan untuk
berkumpul di satu lokasi yang telah ditentukan, dengan atribut lengkap. Ya
seragam, senapan, tas dan sebagainya. Kegiatan ini ditujukan untuk memupuk jiwa
siap siaga saat bahaya menyerang. Misal saat siswa nantinya menjadi anggota
kapal patroli, lalu dalam sekejap muncul sasaran yang harus langsung dikejar.
Tanpa ba bi bu, harus siap mempersiapkan segalanya. Makan komando juga begitu.
Kata pelatih, saat kondisi darurat (misalnya, perang, naudzubillah. Atau saat patrol
dan tiba-tiba muncul target sasaran operasi), tidak ada waktu bersantai-santai,
bahkan saat makan pun harus cepat-cepat. Maka dalam waktu sesingkat mungkin,
kita harus sebanyak mungkin memasukkan makanan sebagai sumber energi tubuh. Intinya
harus selalu siaga.
Hukuman
lain, misalnya, saat hujan deras dan tidak ada tempat berlindung, atau saat
panas terik disuruh berguling-guling di lapangan tanpa baju, bagi penulis akan
memunculkan sifat tidak manja. Penulis sendiri, tidak akan bilang kehujanan
kalau belum basah kuyup seperti saat tidur di kuburan dan kehujanan beberapa
jam, dan harus tidur dengan kondisi basah kuyup. Kalau kondisinya nggak separah
itu, penulis Cuma akan bilang kena gerimis, bukan kehujanan. Dan kalau belum
kena aspal di siang hari tanpa pakai baju, itu nggak masalah. Jadi nggak ada
alasan tidak mengerjakan sesuatu yang darurat hanya karena cuaca hujan atau
panas, karena batasan kehujanan dan kepanasan yang paling parah pernah dialami
saat samapta. Kalau sudah pernah mengalami kondisi setidakenak itu, maka kondisi
sehari-hari di pekerjaan tentu tak akan seburuk itu, kan?
Intinya,
Samapta itu memperkuat mental kita supaya nggak cengeng aja. DIkit-dikit
ngeluh, dikit-dikit manja, macam nggak pernah samapta aja :D
saya polwan dan pendidikan di sepolwan dah mirip banget sih cuma ini emang parah. saya bacanya cuma bisa ketawa aja karena saya pas siswa ndlahom dan pahpoh apalagi urusan sama suami pertama (senjata) . pacar saya kerja di DJKN (STA 14) saya dengerin cerita dia DTU dan makan nasi komando bawaannya mau nangis dan ikutan muntah hahaha. dulu pendidikan saya ga ada nasi komando tapi 7 bulan full ompreng, alarm stealing seminggu sekali pas dasbhara. saya can relate banget bagian dirayap dan digulingnya tapi saya di aspal habis dzuhur dan habis makan malam. pasti kalo habis dirayap dan diguling lapangan jadi kolam muntahan kan ? hahahaha
BalasHapustetep semangat terus ya bang
Wah kalo sm tentara atau polisi, yg kami alami ngga ada apa2nya laah..
HapusEh DJKN ad DTU jg ya skrg?
Selamat dan semangat terus ya dlm mengayomi masyarakat, Bu Polwan