Survey Situlembang ; Negeri di Atas Awan, Danau di Atas Bukit

Apa yang Anda bayangkan dari sebuah tempat bernama Situlembang?

Kalau Anda berpikir tentang Observatorium Boscha yang terkenal itu, maaf, Anda salah (meski saya juga awalnya mengira seperti itu). Ini bukan Lembang, Guys. Lihat namanya, ada unsur 'situ'. Teringat tragedi Situgintung? Sebuah danau buatan di Tangerang yang sempat jebol pada tahun 2009 dan menewaskankan 99 jiwa? Situ berarti danau dalam bahasa Sunda. Jadi Situlembang juga pasti sebuah danau.

Okelah, silahkan search lewat google. Ketemu? Dari berbagai sumber, intinya Situlembang adalah sebuah danau kaldera dari letusan Gunung Sunda 2-3 juta tahun lalu ( gak tau gimana ngitungnya), dengan ketinggian sekitar 1.567 m di atas permukaan laut, dengan suhu udara antara 15-250 C, berlokasi di wilayah Kabupaten bandung barat, sekitar 18 Km dari Kota Cimahi.

Garing deh, informasinya kayak nyalin dari internet aja nih.

Oke pemirsa, sabar sedikit. Ini kan baru pembukaan. Daripada diprotes lebih lanjut, saya langsung aja cerita deh.

Jadi begini, hari Jumat (21 Januari 2011) kemarin saya 'diajak' (atau lebih tepatnya ditunjuk) oleh rekan-rekan IMMBC (Ikatan Mahasiswa Muslim bea Cukai) menjadi panitia survei untuk acara TA (Tafakur Alam, semacam acara outbond plus kajian Islami). Lokasinya, di Situlembang tadi.

Oke, lanjut.

Singkat cerita, saya bersama 7 rekan lainnya, tergabung dalam tim kedua (tim pertama sudah berangkat lebih dulu pada pagi harinya) berangkat dari Kampus Frans Seda tercinta sekitar pukul 2 siang dengan menunggang APV pinjaman.


Singkat cerita, sekitar pukul 5 sore, kami sudah nyaris tiba di lokasi, beristirahat sejenak untuk sholat ashar dan menunggu tim satu di sebuah masjid yang saya nggak ingat namanya (udah gitu juga nggak motret masjidnya, cuma foto-fotoan di depan masjid) . Sekedar info, tim dua berkekuatan 8 anggota(Dedi, Galih, Naufal, Faridz, Fefe, Hisyam, Hendy dan saya), dan tim satu juga berkekuatan 8 anggota (Arnol, Andhika, Elang, Yoga, Pras, Bayu Dwi, Wildan dan Yonky) mengendarai Kijang, juga pinjaman. Total ada 16 orang, lelaki semua. Nggak ada penyegar suasana :p

Udaranya bener-bener terasa sangat berbeda dengan di Jakarta. Sejuk dan segar. Mungkin suhu udara berkisar 20 C waktu itu, mengingatkan pada suasana Kota Batu, Malang.

Seusai sholat, kami rapat sebentar, membahas gono-gini yang saya nggak begitu paham (maklum,bukan panitia inti) terus melanjutkan perjalanan ke lokasi. Coba lihat foto di atas sebentar. Lihat gunung (atau bukit?) yang ada pada background, bukit yang tertutup kabut. Seorang teman yang sudah pernah ikut survei pertama berkata, bahwa lokasi Situlembang ada di bukit berkabut tersebut. Saya hanya bisa ber-'woow' meski dalam hati mikir juga, apa kata-kata teman saya ini serius atau cuma bohongan. Dan pada waktunya, fakta akan bicara.

Singkat cerita, sekitar setengah enam sore kami tiba di 'gerbang masuk' lokasi. Setelah seorang rekan melapor kepada petugas jaga, kami pun sukses masuk ke wilayah khusus tersebut. Wilayah ini memang bukan daerah wisata yang semua orang bisa masuk hanya dengan membayar tiket. Harus mengajukan surat izin terlebih dahulu, izin harus diterima, mendapat ID masuk sesuai kuota, dan birokrasi bla bla bla yang saya nggak paham. Beruntungnya saya bukan panitia inti :p

Masuk ke wilayah bukan berarti tiba di lokasi TA. Kata teman-teman yang sudah pernah ke sini, jarak antara gerbang dengan lokasi sekitar 8 km. Dan lagi-lagi saya hanya bisa ber-'ooooh'. Menebak-nebak apakah kata-kata itu benar. Sayangnya, saya terlalu sibuk untuk mengagumi suasana sekitar sambil ngobrol-ngobrol, jadi nggak sempet ngeliat speedometer dan jam HP untuk menghitung jarak tempuh, seperti yang diajarkan guru fisika sejak SMP :p

Oh iya, sekedar mengingatkan, mengingat fakta geografis tempat ini, lokasi ini terlihat seperti hutan tundra. Atau gampangnya, hutan pinus. Hutan pinus di gunung (atau bukit?). Dan satu lagi, tempat ini tidak terjangkau oleh sinyal seluler, kecuali Anda menggunakan telepon satelit. Sekitar setengah jalan ke lokasi, kurang lebih pada pos penjagaan ke dua (ada beberapa pos jaga di sepanjang jalan menuju lokasi), indikator sinyal pada HP kami sudah mulai kedip-kedip. Bahkan operator terbaik se-tanah air pun nggak sanggup menembus lebatnya hutan pinus di ketinggian ini. Mantab toh?


Pohon-pohon pinus menjulang di kiri kanan jalan. Suhu udara jauh lebih rendah daripada suhu udara Jakarta. Sayup-sayup suara burung terdengar di sela-sela deru APV. Mendung yang menutupi seluruh kuadran langit yang bisa terlihat. Suasana makin gelap. Ketiadaan sinyal seluler. Serem juga suasananya. Entah kenapa tiba-tiba membayangkan ada hewan buas yang tiba-tiba muncul dari semak-semak. Apalagi pohon-pohon di pinggir jalan banyak yang memiliki bekas sayatan sadapan getah. Apalagi sesaat setelah matahari terbenam, praktis kami hanya mengandalkan sorot lampu mobil sebagai sumber cahaya. Imajinasi makin liar, yang ngomong taman safari lah, jurassic park lah, atau apalah. Yang penting enjoy.

Dan sekitar jam enam lewat dikit, kami melihat secercah cahaya, dalam artian yang sesungguhnya. Itu artinya, barak sudah dekat. Dan akhirnya mobil pun berhenti. Sebagian panitia turun dari mobil, sementara sisanya tinggal di dalam, harap-harap cemas karena aturan awalnya hanya boleh ada 10 orang yang masuk dan menginap. Sisanya? Harus turun lagi, kalau sesuai aturan. Dan saya, dengan kesukarelaan yang tinggi memilih untuk diam di dalam mobil (sebenarnya hanya males keluar aja, adhem gila cuy!). Saat beberapa negosiator membicarakan entah apa, kami menikmati hangatnya suasana dalam mobil. Sambil ditemani murattal juz amma dan lagu-lagu tahun 2000-an, kami mengamati kabut yang mulai turun dari punggung bukit dan menyerang danau di tengah lembah. Sungguh suatu pemandangan langka melihat serangan kabut (selain di Malang tentunya).

Beberapa saat kemudian, seorang teman kami memanggil kami dan menyuruh kami ikut bergabung dengan mereka di meja negosiasi. Di sana kami diperkenalkan pada seorang tentara bernama pak Endrik, yang langsung menyambut kami dengan guyonan khas militer-nya. Setelah ngobrol sejenak, kami akhirnya dipersilahkan untuk menginap di salah satu bilik kosong. Dan selanjutnya, kami dipersilahkan untuk menjalani tradisi untuk tamu. Apa coba? Mandi, Sodara. Ya, mandi. Tidak salah dengar, kami benar-benar disuruh mandi. Dalam hati, gila aja, udah jam tujuh lewat, suhu sedingin ini, kira-kira 20­0 C, dengan kabut yang sudah menyatu dengan awan, dengan angin yang suaranya saja sudah menyakitkan telinga (atau telinga sakit karena kedinginan ya?), disuruh mandi? Nggak asal mandi Sodara-sodara, tapi mandinya disuruh berendam minimal 5 menit. WAW. Seru kan? Anda mau coba?

Dan akhirnya kamipun pasrah dengan instruksi itu. Kami sebagai mahasiswa yang katanya kuliah semi militer tentu tak mau kehilangan harga diri. Dan kamipun menuruti kata-kata beliau, mandi. Di kamar mandi yang setengah terbuka itu, yang mana angin malam bisa menyusup dengan leluasa (kamar mandi tanpa pintu dengan tembok nggak full). Mantab jaya Sodara-sodara. Melihat rekan-rekan masih pada bimbang, ada yang sudah melepas baju siap mandi, ada pla yang masih berpakaian lengkap, saya pun ambil inisiatif. Copot semua kecuali cawat doang, melangkah pasti ke dalam kamar mandi dan,,, byurr... Mandilah saya di suasana dingin Situlembang. Teman-teman pun akhirnya juga pada mandi. Ada yang berlapis boxer, ada pula yang hanya berlapis kulit a.k.a telanjang bulet karena sayang kalau CD-nya basah. Untung sesi dokumentasi dilarang aktif pada saat-saat seperti ini. Serasa air kulkas. Atau dalam bahasa warteg, es tawar. Hanya saja, normalnya air es mengguyur kerongkongan di siang hari jakarta yang terik setelah makan siang, kali ini air es-nya mengguyur seluruh badan, malam-malam, dingin-dingin. Mantab kan?

Terlihat sedikit kejam memang, tapi rupanya ada hikmahnya. Mandi dingin macam ini rupanya bertujuan untuk mengadaptasikan badan kita dengan suhu udara sekitar. Memang dingin, dan setelah mandi, kita punya lulut tidak bisa berhenti bergetar. Tapi setelahnya, dinginnya malam nggak terlalu terasa. Dan faktanya, nggak ada yang masuk angin tuh, termasuk saya (padahal saya adalah yang paling benci dingin).

Setelah ritual suci tersebut, kami diperbolehkan untuk beristirahat oleh Pak Endrik. Waktu bebas laaah. Dan kamipun sholat maghrib+isya, dilanjutkan dengan rapat sejenak, lalu makan.

Mengenai makan, pasrah sajalah. Nggak ada warteg dengan berbagai menu di puncak Situlembang sana. Hanya ada warung kopi sekedarnya. Dan beruntunglah, masih ada mie instan tersedia di warung itu, jadi kami nggak perlu menunjuk sebagian anggota untuk turun gunung ke bawah sana, membeli nasi bungkus. Yah, meski hanya mie instan, lumayanlah untuk mengganjal perut. Setelah makan, kami dipersilahkan untuk tidur di salah satu bilik kosong. Tanpa banyak bercanda, kami pun cepat-cepat tidur meski tempat yang disediakan lumayan terbatas. Sebelas orang tidur berjejer di atas dipan berkasur, seperti ikan pindang mau dijual dipasar. Lagipula berdesak-desakan kan bikin hangat, dan kehangatan adalah prioritas saat di gunung.

Eh, sebelas orang? Katanya tadi total ada 16 orang? Kemana yang lima?

Entahlah, saya juga nggak tahu pasti mereka tidur di mana. kalau nggak di mushola, ya di mobil. Lagian dipan itu sudah overload kayaknya. jadi dipaksain pun, nggak bisa nampung lima orang lagi. Suatu hal yang tidak biasa, bahwa kami bisa tidur cepat malam itu (mengingat pada acara-acara sebelumnya, banyak orang berarti susah tidur cepat). Rupanya dinginnya malam itu tak hanya menyerap kalor dari tubuh kami, melainkan juga selera humor kami. Saking dinginnya, saya sendiri sampai-sampai membawa persiapan yang sedikit berlebihan bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Selain jaket+syal Arema kesayangan+celana panjang yang saya pakai, saya juga membawa sleeping bag+kaos kaki pinjaman dari seorang rekan yang sudah pernah ikut survei pertama (dia mengingatkan saya bahwa di sini benar-benar dingin, dan menawarkan saya untuk membawa sleeping bag dan kaos kaki ekstra tebal miliknya. Yhanks to Choiril Rohman) ditambah selimut (punyaku sendiri). Karena teman-teman yang lain tidak ada yang membawa perlengkapan lengkap (hanya saya dan Hendy yang membawa sleeping bag), maka atas dasar jiwa kebersamaan, saya nggak jadi tidur di dalam sleeping bag tersebut. Alih-alih, sleeping bag tersebut dijadikan selimut untuk 3 orang. Well, yang penting hangat.

***************************

Pagi tiba, kegiatan yang biasa juga. Sebagian ada yang mandi pagi, sebagian memilih mandi nanti di kosan. Setelah sholat subuh, kamipun keluar bilik dan mulai bertingkah lagi, seolah menebus hilangnya selera humor semalam tadi. Senam pagi sedikit menghangatkan tubuh, dan foto-foto seolah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap tingkah kami. tak banyak yang bisa diceritakan pagi ini, mungkin foto-foto bisa berbicara lebih banyak. Oh iya, hanya foto-foto pemandangan yang bisa kami bawa, karena ada larangan untuk mendokumentasikan fasilitas lainnya. Dan kamipun patuh.










Sembari guyon tak karuan, kami menonton sekelompok peserta diklat (dari PN Timah kalau nggak salah) sedang 'dihajar' oleh para pelatih. Entah jam berapa, kami mendapat asupan nutrisi dari bapak pengelola warung kopi. Berupa ubi, jagung, pisang dan kacang rebus, sepertinya sisa camilan para pelatih yang tadi. Whateverlah, yang penting lumayan untuk isi perut.

Menjelang siang, ketika matahari sudah mulai tampak di langit yang masih mendung, kami mulai kembali ke agenda. Bagi-bagi tugas. Sebagian panitia mensurvei lokasi untuk acara TA nanti (tempat kami menginap tadi bukan lokasi untuk TA nantinya), sementara sebagian lainnya, turun gunung untuk menghubungi ustadz yang akan mengisi kajian, terus mencari lokasi pemesanan konsumsi, serta mencari lokasi pelayanan kesehatan untuk berjaga-jaga di hari-H nantinya. Sebenarnya, ikut dalam tim survei lokasi lebih menarik, karena nanti juga akan menyusuri jalur yang akan dipakai untuk caraka malam pada hari-H . Tapi apa daya, saya menderita biduren. Semacam alergi dingin yang muncul berupa bintik-bintik kemerahan yang terasa gatal seperti bekas gigitan nyamuk. Yasudahlah, dengan senang hati saya ikut tim turun gunung, keluar dari hutan menuju zona-ada-sinyal.

Nggak banyak hal menarik sepanjang perjalanan, hanya berupa nego-nego dengan sebuah pondok pesantren mengenai sewa jasa ustadz, dan seorang lainnya menelepon ustadz kenalan untuk berjaga-jaga. Untuk masalah kesehatan dan keselamatan, ada UGD di sebuah RSJ di kaki gunung (nggak usah dijelasin kan, kepanjangan dari kedua akronim tadi). Yang paling menarik hanya saat kami berburu sarapan sekaligus tanya-tanya harga untuk pesan konsumsi. Setidaknya, makan di warung di kaki bukit lebih dari sekedar mie instan :D

Dan tentu saja, keberadaan sinyal seluler di kaki bukit sedikit menghibur. Bisa update status, serta mengirim dan menerima SMS yang sejak kemarin sore tertunda, pending.

Urusan kelar, kamipun kembali ke atas bukit pinus, ke zona berkabut yang tanpa sinyal seluler. Dan ketika kami tiba kembali di puncak Situlembang, rekan-rekan surveyor pun sudah beres dengan urusanmereka, jadi tim tinggal saling laporan mengenai misi masing-masing. Setelah itu kami pun berkemas, dan pamit pulang pada orang-orang gunung yang setia menemani kami survei di lokasi. Tak banyak hal yang cukup menarik untuk diceritakan pada perjalanan pulang, lagipula sudah tak banyak lelucon terlontar. Kebanyakan anggota tim dua, yang menunggang APV, sudah kelelahan dan tertidur. Yang ada di pikiran kami cuma segera sampai di kosan dan istirahat sepuasnya.

Sepanjang perjalanan pulang saya masih kepikiran tentang jalur untuk caraka malam nantinya. Jadi, semoga saja semua berjalan sesuai rencana dan ada postingan baru tentang TA sebagai sambungan dari postingan tentang survei ini.

Well, thanx for reading ;)

_____________________________________________________

Postingan mengenai perjalanan ini terinspirasi oleh seorang rekan blogger, Mbah Ware yang suka berpetualang dan mengamati hal-hal terutama yang terkait arkeologi di lingkungan sekitarnya, serta memposting tulisannya di blog. Thanx for inspiring me, Mbah :D

* Sekedar intermezzo, ini adalah pemanis perjalanan pulang kami, dari Bandung ke Jakarta. Jangan mupeng ya :p



Komentar

  1. boyyy,ap g bahaya "membocorkan" "rahasia" negara???

    BalasHapus
  2. mantaffffsss......ente bakat juga nulis...!!
    keep posting bro...

    BalasHapus
  3. @naufal:sy edit ini bro,trims sarannya

    @mbah:mohon kritik dan saran mbah,beginner sprti ayas sgt btuh bimbingan senior :p
    nuwus sdh smpt2in mampir

    BalasHapus
  4. ini edwin tho yg bikin.. win, bojoQ Lg di sana skrg.. hiks, gag ada kabar tnyt dsna emg gag ada sinyal tho.. x_X (yunita_hafif)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iki yunita sg ndi yo?
      iya di sana kan tinggi banget, dan nggak ada pemancar sinyal pas di puncak
      jadi bener2 blank spot
      para tentara di sana pun kayaknya utk komunikasi pake HT deh

      Hapus
    2. aduuuuhh gag kenal sm aq lagiii.. >_< aq yunita SMANELA bojone hafif temenmu mulai SMP sampek SMA jg.. >_<

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)

Nuwus . . .