Nge-pit malem-malem di Jakarta pake sepeda pinjeman = . . . ???


Anda suka bersepada? Sehat dan menyenangkan bukan? Tapi saya nggak suka tuh.

Lho bukannya bersepeda itu sehat dan ramah lingkungan?

Iya memang, bukannya saya nggak mendukung gerakan go green dan bike to work, tapi karena saya nggak bisa sepedaan . . .

What? Umur 20 nggak bisa sepedaan?

Kaget? Biasa aja kali, gak usah lebay gitu . . .

Emang saya nggak bisa kok. Oke, saya akui, saya takut jatuh. Puas? Saya nggak bakalan kebanyakan alesan untuk hal yang satu ini, meski sebenarnya ada alasannya juga saya nggak bisa sepedaan.

Waktu kecil, usia-usia SD, ayah saya memang pernah membelikan sebuah sepeda untuk saya dan mbak saya, tapi karena latihannya nggak konsisten, akhirnya saya sampe gede gini nggak bisa sepedaan. Tepatnya sampai beberapa bulan yang lalu, saat kakak saya yang sudah kerja membelikan adek saya yang masih SMP sebuah sepeda. Akhirnya saya baru (sedikit) bisa bersepeda dengan memakai sepeda adek saya tadi. Sebenarnya saya belum benar-benar bisa bersepeda, soalnya latihannya cuma di halaman aja, belum nyoba di jalan gede yang rame kendaraan bermotor dan manusia lalu-lalang.

Selain itu juga, dulu waktu kecil, pas sepedanya rusak, sempet lama nggak diperbaiki dan akhirnya sepeda itu dihibahkan ke saudara saya yang lain. Alhasil selama beberapa tahun periode emas masa kanak-kanak saya, saya sempat vakum dari dunia persepedaan.

Tapi, satu alasan paling fatal ketidakbisaan saya bersepeda adalah karena faktor trauma. Saya pernah (mungkin) nyaris mati gara-gara belajar bersepeda. Semua juga pernah jatuh kali . . . Tapi ini beda, bener-bener hampir mati (mungkin), bukan hanya sekedar jatuh dari sepeda, tapi jatuh dari . . . halaman rumah. Halaman rumah? Hm , , , secara bahasa, iya, saya hampir jatuh dari halaman rumah. Biar nggak bingung, saya beri gambaran sekilas tentang rumah saya.

Rumah saya terletak di daerah perbukitan yang kontur lansekapnya nggak rata sama sekali. Dan saya beruntung memiliki rumah yang nangkring di kaki bukit. Kurang lebih seperti ini side view dari rumah saya.

Anda mulai mengerti kan, mengapa tadi saya tulis 'jatuh dari halaman'.

Dan waktu saya masih umur sekitar 5-6 tahun, saya pernah nyaris jatuh dari halaman rumah saya, ke jalan kampung di bawah. Dan tepian curam di depan rumah saya itu, tingginya sekitar 5 meter lebih. Bayangan saja kalau jatuh dari depan rumah saya, nyungsep di 'jurang' setinggi 5 meter-an, jatuh ke jalan aspal di bawahnya, dan kalau apes banget, disambut mobil atau sepeda motor lewat atau mental dan terus jatuh ke jurang dibawahnya lagi terus ke kali. Entah jadi apa kalau saat itu saya nggak menabrakkan sepeda saya ke pohon cemara yang ditanam di tepian sana. Untung Allah SWT masih nyelametin saya. Alhamdulillah.

Oke, kembali ke masa kini. Singkat cerita, barusaaan aja, saya mendapat kesempatan langka untuk bisa bersepeda di jalanan Jakarta yang penuh sesak ini. Pas itu tetangga kamar saya (sekosan tapi beda kamar), Mas Rasyid, mau pinjem uang ke saya 500 ribu buat bayar cicilan ngontrak rumah karena dia udah nggak bisa ambil uang lagi hari ini (udah kena limit tarik tunai 5,5 juta per hari). Alhasil, saya pun bersedia ambil uang ke ATM, dengan difasilitasi sebuah sepeda oleh Mas Rasyid (disebut pit, kosakata Jawa Tengah-an). Akhirnya, bermodal nekat, saya naiki pit tersebut. Dari pertama naik tuh sebenarnya udah merasa nggak enak, soalnya sadelnya ketinggian (maklum, belajar bersepeda pake sepeda ukuran anak SMP). Pegang stang goyang kanan-goyang kiri nyungsep sana-nyungsep sini. Dengan susah payah, saya mengarahkan sepeda ke tempat tujuan. Sebenarnya bukan mengayuhnya yang susah, tapi menyeimbangkannya itu lho, , , sampai berkali-kali restart (turun dari sepeda, mulai mengayuh adri nol) karena jalan yang begitu ramai, dan bahkan sempat menabrak seorang adek kelas yang saya nggak tau namanya ('sori bro, kau nggak pa pa?' tanyaku dengan peluh bercucuran dan nada khawatir, 'nggak pa pa bang', jawabnya, dengan nada yang lebih khawatir). Singkat cerita, saya berhasil sampai ke ATM (sempet nuntun juga sih, nggak 100% ngayuh, soalnya jalannya serem, rame banget).

Dan perjalanan kembali ke kosan pun nggak kalah menegangkan. Nyerempet sepeda motor orang, jatuh di belokan, nuntun sepeda pas nyebrang jalan, papasan dengan senior (sok-sokan berhenti dan turun dari sepeda soalnya ada SMS masuk), dan akhirnya saya sampai di kosan dengan selamat (dan sedikit lecet). Nggak sakit kok, cuma maluu banget. Untung malem, wajah saya tersamarkan oleh kegelapan :D

Well, paling tidak, ada hikmah yang bisa diambil dari peristiwa barusan.

Pelajaran pertama adalah "practice makes perfect". Sebuah slogan yang saya dapat dari ECC (English Conversation Club, ekskul bahasa Inggris di SMA saya dulu). Lha latihan aja nggak pernah, gimana mau bisa melakukan sesuatu dengan lancar. Slogan ini ternyata benar-benar berlaku dalam segala bidang. Modal nekat aja nggak cukup. Oke memang, nothing's perfect, but at least, the more you practice, the nearer you to the perfection. The less you practice, the further you from the perfection. Yah, saya akui, saya perlu lebih banyak membiasakan diri untuk bersepeda.

Pelajaran kedua, adalah semboyan "size doesn't matter" nggak berlaku di dunia nyata!! Saya pernah lihat kata-kata "size doesn't matter" pada sebuah gambar tokoh/hero pada sebuahgame. Hero tersebut memiliki ras human, ukuran badan kecil, tapi cukup tangguh dan nggak bisa disepelekan karena memiliki skill magic mumpuni. Dalam dunia nyata, size really matter, guys. Buktinya tadi, saya make sepeda yang ukurannya nggak sesuai sama saya, memakainya jadi nggak nyaman (dan nggak aman). membuat ketidakmampuan saya untuk bersepeda menjadi semakin kentara saja. Ckckck . . .

ketiga, pepatah "experience is (not only) the best teacher" memang ada benarnyaq. hanya saja perlu ditambahi, "(but also) the most cruel teacher". Bagaimana tidak, guru yang satu ini memberi ujian lebih dulu, baru kemudian kita mendapatkan pelajaran darinya. Sungguh terlalu. . .

Dan pelajaran lainnya , , , adalah ambil hikmah dari setiap kejadian. Suatu hal bisa menjadi kesialan, kejadian memalukan, atau kecelakaan, jika kita hanya meratapi dan mengumpatinya. Kejadian yang sama, asal bisa diambil hikmahnya, maka bisa menjadi guru yang baik bagi kita. maka, teruslah berbuat kesalahan dan ambil hikmah dari kesalahan tersebut, asal jangan mengulangi kesalahan yang sama. Oke?

Kriing . . kriing . . gowes . . gowes . . Go green, let's bike to work/school/ campus :D

Komentar