Jakarta oh Jakarta

Panasnya Jakarta membangunkan si gundul dari tidur siangnya. Gerah, badannya berkeringat semua. Si gundul terdiam sejenak sembari mengumpulkan sukma yang masih berceceran di alam mimpi. Setelah benar-benar sadar, dirinya bangun, menatap sekeliling. Kepalanya menoleh ke empat penjuru mata angin. Oh, masih di kosan rupanya, pikirnya setelah melihat empat sisi dinding kamar kosannya. Rupanya, dia tadi bermimpi sedang berada di kampung halamannya, berkumpul bersama sahabat-sahabatnya di tempat favorit mereka. Di sebuah sekolah menengah atas, di kaki gunung Arjuna. Di mana dari sekolah itu, memandang ke segala arah, mereka bisa menyaksikan bukit dan gunung. Di mana angin sepi-sepoi selalu menemani mereka bercengkrama sambil tertawa-tawa tanpa henti mengingat kekonyolan mereka saat masih SMA dulu.

Si gundul beranjak bangkit dari kasurnya. Melangkah keluar kamar menuju teras depan kosannya. Memanjat pagar biru dan nangkring di sana, melihat langit dan merasakan angin seperti biasanya. Biru cerah. Kembali ia teringat akan kampung halamannya. Melihat langit sedikit mengobati kerinduannya akan kampung halaman, karena hanya langitlah yang tampak selalu sama dimanapun berada. Meski di kota ini, langit juga seringkali tampak berbeda.

Jakarta. Sudah sekian tahun ia tinggal di ibukota Indonesia Raya ini, tanpa pernah membayangkan akan pergi ke Jakarta sebelumnya. Baginya, Jakarta adalah tempat para artis, para pejabat, dan para-para lainnya selain paralayang tentunya. Jakarta hanya diketahuinya dari televisi, dari berita di koran atau internet, dan dari cerita katanya entah kata siapa yang pernah pergi ke Jakarta. Yang diketahuinya tetntang Jakarta hanyalah bahwa Jakarta itu macet, panas, padat penduduknya dan tentu saja sumpek, berbeda dengan daerah asli tempatnya tinggal. Mimpi ke Jakarta? Tidak kawan, sekali lagi tidak. Dia samasekali tidak tertarik ke Jakarta.

Tapi yang namanya takdir, manusia merencanakan apapun tapi tetap takdir akan berjalan sesuai apa yang telah tertulis dalam Lauh Mahfudz, tanpa manusia bisa mengelak. Si Gundul akhirnyapun benar-benar menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Memang sebelum ini, dia sudah pernah beberapa kali melewati Jakarta, namun ketika dalam perjalanan yang bertujuan ke lain tempat, bukan ke Jakarta.

Jalan menuju Jakarta mulai terlihat di pertengahan masa putih abu-abu, ketika sang ayah mulai mengarahkan dirinya, akan kemana setelah melepas seragam putih abu-abunya. Bahwa sebagai laki-laki, ia nantinya akan menjadi seorang kepala rumah tangga, seorang suami dan menjadi seorang ayah pada akhirnya. Beitulah yang dikatakan sang ayah padanya. Tanggung jawab yang besar, bukan hanya secara moril, namun tentu saja secara materiil. Pekerjaan yang layak haruslah didapatkannya, bukan sekedar meneruskan sekolah menjadi sarjana yang setelah diwisuda masih bingung melamar pekerjaan ke mana-mana.

Ayahnya adalah seorang guru yang budiman dan berdedikasi selama lebih dari 20 tahun dalam dunia pendidikan (namun sayang pada jaman itu, pemerintah belum terlalu perhatian dengan nasib para tenaga pendidikan di Indonesia) dan ibunya adalah wanita luar biasa yang memiliki dedikasi tinggi untuk menjadi pendidik bagi adik-adiknya di rumah. Ia memiliki 2 adik laki-laki, yang masing-masing lebih muda 8 tahun dan 16 tahun. Masa depan mereka masih panjang, demikian pula pembiayaannya. Sedang kakak perempuannya, yang 3 tahun lebih tua, bersekolah di sebuah sekolah tinggi kedinasan.

Dengan demikian, opsi paling masuk akal baginya adalah dengan mengikuti jejak kakaknya, bersekolah di sekolah kedinasan yang bebas biaya pendidikan. Demi pendidikan, akhirnya ia mulai menapakkan kakinya pada jalan takdir yang telah ditetapkan baginya.

Dan disinilah ia sekarang, jakarta. Ibukota Indonesia Raya, yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Yang katanya merupakan salah satu kota dengan tingkat polusi terparah di dunia. Salah satu kota dengan ketimpangan sosial yang begitu mencolok. Jakarta, dengan beribu kisahnya, sudah 3 tahun menjadi latar belakang kisah kesehariannya yang terasa monoton baginya, meski dilihatnya kisah kehidupan orang-orang lain yang berjuang hidup di Jakarta terus berputar cepat seperti roda bajaj.

Orang-orang yang berusaha tetap bernafas diantara asap polusi yang merongrong paru-paru. Orang-orang yang terus berusaha untuk tidak tenggelam bersama sampah kali Ciliwung. Orang-orang yang berusaha tetap berdiri di antara megahnya gedung pencakar langit. Orang-orang yang terus berpacu dengan deru kereta api di persimpangan rel. Orang-orang yang terus berjuang untuk hidup, dimana banyak yang telah berguguran dan terus ada yang menggantikan.

Jakarta, dengan ribuan kisahmu, entah berapa lama lagi akan menjadi latar hari-hariku.

Si gundul kembali menatap langit dan merasakan angin, meski di kota ini, langit seringkali tampak berbeda.

* saya sedang homesick dan mengalami kondisi yang berkebalikan dengan falling in love. itu saja

Komentar