Matarmaja; Against Boredom

(lanjutan lagi dari posting sebelumnya)

Seperti yang sudah saya jelaskan dalam postingan yang sebelumnya lagi, perjalanan darat via Matarmaja, bakalan berlangsung sekitar 20 jam, atau lebih.
Untungnya, kami biasa pulang kampung dalam rombongan, jadi paling tidak, ada teman seperjalanan yang sudah sangat akrab. Meskipun kalau sendirian (dalam artian tanpa teman sekampus) juga nggak terlalu masalah, karena banyak penumpang Matarmaja adalah orang Malang juga, dan karena perasaan senasib juga sedaerah, kebanyakan juga mudah akrab dan enak diajak ngobrol.

Lelah dan bosan itu pasti. Panas? Nggak selalu, kadang juga dingin. Lapar? Tenang saja, asongan selalu ada - pecel, nasi rames, nasi goreng, nasi ayam, dan yang selalu ada, popmie (bukan promosi). Haus? Selalu ada kopi-susu-jahe (sepaket dengan popmie, sesama produk yang butuh air panas), air mineral ataupun isotonik, selalu ada.

Tapi yang paling susah diatasi adalah rasa bosan.

Bercanda? Selalu, sampai perut ini sakit rasanya dan hampir selalu dilihatin sama penumpang lain. Selalu ada yang dijadikan bahan candaan, namun akhirnya kehabisan bahan juga.

Mengobrol yang agak serius? Kadang, sebagai alternatif saat kehabisan candaan. Namun tetap saja, akhirnya kehabisan bahan obrolan, atau memang sudah bosan ngobrol, atau memang mulut sudah capek.

Membawa kartu bisa jadi memperlambat datangnya kebosanan, tapi bagaimanapun kebosanan tetap melanda.

Melihat pemandangan bisa sedikit menghibur, namun hanya bertahan sampai matahari terbenam, sebab selepas maghrib, pemandangan di luar tampak gelap saja, sambil sesekali diselingi cahaya kota yang dilewati.

Melihat lalu lalang orang-orang dalam kereta, terutama para asongan yang silih berganti di tiap zona, kadang cukup menghibur. Tapi karena sudah hafal, ya jadinya biasa saja. Misalnya, di daerah Jakarta sampai Bekasi, yang menarik (selain asongan makanan) adalah penjual peralatan elektronik semacam baterei, alat isi ulang baterei, senter tanpa baterei, DVD bajakan berbagai film (paling banyak sih, lagu dangdut koplo atau lagu pop) atau gambar hiasan berupa gambar 3D.
Yang bisa bertahan sampai Cirebon atau sekitar Brebes, adalah penjual aksesoris HP, aksesoris maunya-modis-tapi-malah-norak, kadang juga, tasbih.
Yang khas ketika memsauki zona Pekalongan, adalah pakaian batik berbagai ukuran. Zona Semarang dan sisa perjalanan di Jawa Tengah, tak ada yang menarik, karena kereta melewati daerah Jateng pada malam hari, orang tak akan tertarik mleihat barang-barang.

Lebih menarik melihat para penumpang daripada para asongan. Biasanya kalau kereta tidak terlalu penuh, beberapa dari kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan, cari angin di bordes atau sambungan gerbong, atau kalau beruntung, ada pemandangan (cewek manis di kereta ekonomi, limited banget).
Melihat ekspresi para penumpang dari berbagai jenis; jangan dikira penumpang kereta ekonomi cuma kaum ekonomi bawah, kadang juga ada kaum penumpang eksekutif/bisnis yang nyasar kesini karena kehabisan tiket. Dan mereka bisa jadi sangat lucu, panik di dalam kerete ekonomi ini.
Melihat keluarga kecil yang bepergian dengan Matar, kadang sedikit miris juga, kasihan anak-anaknya (terutama kalau pas tidur malam, posisi gak enak, panas pula), meskipun anak-anak itu juga bisa sangat menyebalkan saat melek.
Melihat para penumpang wanita yang sangat tidak nyaman dalam perjalanan, dan sedikit banyak mengkomplain pasangannya 'ngapain sih naik ini, nggak bis aja'.
Melihat kaum 'BDR' yang bergeletakan bagai mayat, tidur dimana saja bisa ditiduri, duduk dimana saja bisa diduduki, membiarkan kaki-kaki asongan melewati kepala mereka, tanpa bisa berbuat apa-apa selain menunggu 'kursi warisan'.
Melihat orang-orang pasrah yang berada di bordes atau sambungan gerbong, menatap keluar sambil mengisap dalam-dalam nikotin bungkusan linting, tampak sangat lelah, pasrah, namun tetap kuat bertahan.

Dan kamipun tersadar pada akhirnya.

Yeah, sebosan apapun, setidaknya kami tidak sendiri. Semua juga mengalami perasaan yang sama kok. Dan satu hal yang pasti, setiap menit yang telah berlalu, setiap kilometer yang ditempuh, setiap stasiun yang disinggahi, memiliki satu makna pasti. Kami semakin dekat dengan rumah :)

(bersambung lagi . . .)

Komentar