Republik Tawur
Ibukota republik, malam akhir pekan. Sekelompok pemuda gagah-gagahan di jalan raya. Blokir sana blokir sini, menyulap jalan umum jadi sirkuit balap. Bandar berkoar, ayo siapa juaranya, kumpulkan duit panas dari para penonton. Warga sudah tak bisa terima, akses jalan raya diblokir seenaknya. Warga panggil polisi, tentara, dan segala kekuatan yang ada. Balap liar digerebek, pembalap liar lari kocar-kacir. Cari pertolongan ke para preman sewaan bandar. Bentrok masa tak terhindarkan, darah berceceran tak terelakkan.
Bergeser ke luar pulau. Mahasiswa tuntut dekan mundur. Kebijakannya bikin kehidupan kampus makin tak teratur. Dekan sembunyi di kolong meja, menelepon satpol PP juga tim Gegana. Minta dievakuasi dengan mobil lapis baja. Mahasiswa sudah tak sabar, provokator bicara emosi makin terbakar. Ban bekas jadi sasaran, lalu meja kursi dari kantin, lalu gedung kelas dibakar. Biar sekalian tak ada kuliah sampai semester depan.
Terminal kota besar. Banyak pendatang mengadu nasib di kota besar. Pendatang terdahulu, lebih dulu kalah di undian nasib. Sudah bosan gagal cari kerjaan halal. Dibisiki setan, cari duit cara instan. Bermodal kelincahan tangan, kantong pendatang jadi sasaran. Menawarkan bantuan dengan wajah ramah, disaat tak terlihat tangan bergerak menjarah. Sekali lagi, pendatang lama kalah undian nasib. Kepergok saksi mata, langsung dikeroyok. Warga masih tersulut amarah, lalu ambil minyak tanah. Pendatang lama menyambi copet dibakar habis. Biar saja, sampah masyarakat, kata mereka.
Salah satu stadion termegah di republik. Pertandingan klasik dua tim raksasa. Tim tamu cetak gol lebih dulu. Supporter tuan rumah tak terima. Tim kami kuat dan bersejarah, tak mungkin bisa kalah, pikir mereka. Supporter menggila, menjarah dagangan warga. Lalu menggila keliling kota. Sweeping kendaraan dengan plat nomor kota tim lawan, lalu dilempari dengan makian dan bebatuan. Tim tamu lalu dievakuasi dengan mobil polisi.
Beranjak ke stadion lain. Dua kesebelasan bertanding. 11 lawan 14, pertandingan berlangsung tak adil. Penonton kecewa. Lempar botol ke lapangan. Pengadil lapangan jadi sasaran. Lemparan berubah jadi pukulan, lalu terjadi kejar-kejaran, membesar jadi keributan. Lapangan membara, keributan meluas ke luar juga. Warga terusik, keributan bikin suasana kota tak asik. Warga ikut mengejar, supporter semburat berpencar. Terlihat seperti perang kota, kata yang menonton di warta berita.
Pulau kecil di republik, dimana warga biasa bertenggang rasa antar umat beragama. Namun entah dari mulut siapa, tiba-tiba fitnah merajalela. Kedua umat merasa saling dihina. Dihasut setan, semua seperti lupa menyebut nama Tuhan. Tempat ibadah diratakan dengan tanah. Tenggang rasa seolah sudah tiada, yang ada warga yang ketakutan bingung mau mengungsi kemana.
Rumah sakit sebuah kota, dimana keluarga dan kerabat jenazah berkabung bersedih. Tiba-tiba, datang tamu tak diundang. Bawa pedang juga parang. Kelihatan, mereka orang suruhan pesaing bisnis. Pelayat semburat, penyerang merangsek. Pelayat ditebas, ada yang tewas di tempat. Satu jenazah bertambah jadi tiga. Kelompok penyerang menghilang entah kemana, seperti ninja.
Depan sekolah. Anak-anak remaja, dengan seragam putih abu-abu, berdiri berjajar. Bukan di depan sekolah sendiri, tapi sekolah orang lain. Orang lain yang katanya menghina rekan satu sekolah mereka. Harga diri almamater diinjak-injak, kata mereka. Masih ingusan sudah berkata harga diri. Rantai, gear, pentungan bahkan parang dan pedang jadi senjata. Sekolah jujugan tak tinggal diam, mereka juga tahu, 'utusan' sekolah lawan akan datang, cepat atau lambat. Dan sepulang jam sekolah, mereka beraksi. Bukan ekskul atau pelajaran tambahan, mereka cuma tawuran.
Kota wisata, tempatnya orang belanja kebutuhan buat bergaya. Tiba-tiba terdengar raung belasan motor, nampaknya geng motor masih ada yang eksis. Cuma melintas sekilas, tapi sudah bikin warga waswas. Polisi atur strategi, daripada nanti jatuh korban lagi. Hari yang ditentukan, polisi lancarkan serangan. Geng motor digerebek, geng motor melawan. Di kedua belah pihak berjatuhan korban. Segelintir anggota lolos, bersembunyi. Menanti waktu yang tepat untuk beraksi lagi.
Ujung lain republik. Dimana warga masih berburu dengan panah dan sumpit beracun. Warga dua desa terlibat pertikaian. Entah ada yang salah atau memang kesalahpahaman. 1 nyawa dibayar dengan 1 nyawa, begitu aturannya. Maka panah pun terlepas dari busurnya, tombak pun terlepas dari genggaman pelontarnya. Dan perang tak akan berhenti sampai korban mati seimbang di kedua sisi.
Pulau lain, masih di republik. Massa berdemo menuntut janji bupati. Katanya mau berdialog, nyatanya massa cuma bermonolog. Katanya bikin kebijakan, kok malah rakyat yang dikesampingkan. Janji dialog tinggal janji, bupati entah lari atau pergi. Massa emosi, merobohkan pagar besi. Aparat lakukan tembakan peringatan, tapi kelas kalah jumlah personil di lapangan. Warga merangsek lagi, mulai membakari semua yang bisa terbakar. Pemadam kebakaran tertahan, hanya bisa menonton api unggun dengan bahan bakar kantor bupati.
Itulah secuil kisah tentang Republik Tawur, yang diperjuangkan oleh para pejuangnya dulu dengan perang dan diplomasi. Ketika diplomasi dengan kata-kata sudah tak mampu menghasilkan solusi, maka perjuangan fisiklah yang dilakukan, yang dianggap lebih mampu membuahkan hasil. Ya, ada perang dan genangan darah dalam sejarah republik ini. Mungkin warga masa kini hanya ingin meneladani, apa yang terjadi di sana ketika jaman penjajahan dulu.
Ya, rakyat Republik ini masiih terjajah. Oleh kebijakan yang tak merakyat, oleh kemiskinan yang melekat, oleh kebodohan yang mengendap, oleh emosi yang meracuni nurani, oleh bujuk rayu setan berkepala hitam yang hembuskan fitnah dimana-mana. Ya, rakyat Republik ini sedang berusaha meraih. Kemerdekaan di bidang ekonomi, pendidikan, rasa aman, jaminan kesehatan dan lainnya, masih banyak yang harus mereka raih. Ya, rakyat Republik ini masih harus terus berjuang, entah dengan diplomasi atau perang, melawan para penjajah yang tak kelihatan.
Bergeser ke luar pulau. Mahasiswa tuntut dekan mundur. Kebijakannya bikin kehidupan kampus makin tak teratur. Dekan sembunyi di kolong meja, menelepon satpol PP juga tim Gegana. Minta dievakuasi dengan mobil lapis baja. Mahasiswa sudah tak sabar, provokator bicara emosi makin terbakar. Ban bekas jadi sasaran, lalu meja kursi dari kantin, lalu gedung kelas dibakar. Biar sekalian tak ada kuliah sampai semester depan.
Terminal kota besar. Banyak pendatang mengadu nasib di kota besar. Pendatang terdahulu, lebih dulu kalah di undian nasib. Sudah bosan gagal cari kerjaan halal. Dibisiki setan, cari duit cara instan. Bermodal kelincahan tangan, kantong pendatang jadi sasaran. Menawarkan bantuan dengan wajah ramah, disaat tak terlihat tangan bergerak menjarah. Sekali lagi, pendatang lama kalah undian nasib. Kepergok saksi mata, langsung dikeroyok. Warga masih tersulut amarah, lalu ambil minyak tanah. Pendatang lama menyambi copet dibakar habis. Biar saja, sampah masyarakat, kata mereka.
Salah satu stadion termegah di republik. Pertandingan klasik dua tim raksasa. Tim tamu cetak gol lebih dulu. Supporter tuan rumah tak terima. Tim kami kuat dan bersejarah, tak mungkin bisa kalah, pikir mereka. Supporter menggila, menjarah dagangan warga. Lalu menggila keliling kota. Sweeping kendaraan dengan plat nomor kota tim lawan, lalu dilempari dengan makian dan bebatuan. Tim tamu lalu dievakuasi dengan mobil polisi.
Beranjak ke stadion lain. Dua kesebelasan bertanding. 11 lawan 14, pertandingan berlangsung tak adil. Penonton kecewa. Lempar botol ke lapangan. Pengadil lapangan jadi sasaran. Lemparan berubah jadi pukulan, lalu terjadi kejar-kejaran, membesar jadi keributan. Lapangan membara, keributan meluas ke luar juga. Warga terusik, keributan bikin suasana kota tak asik. Warga ikut mengejar, supporter semburat berpencar. Terlihat seperti perang kota, kata yang menonton di warta berita.
Pulau kecil di republik, dimana warga biasa bertenggang rasa antar umat beragama. Namun entah dari mulut siapa, tiba-tiba fitnah merajalela. Kedua umat merasa saling dihina. Dihasut setan, semua seperti lupa menyebut nama Tuhan. Tempat ibadah diratakan dengan tanah. Tenggang rasa seolah sudah tiada, yang ada warga yang ketakutan bingung mau mengungsi kemana.
Rumah sakit sebuah kota, dimana keluarga dan kerabat jenazah berkabung bersedih. Tiba-tiba, datang tamu tak diundang. Bawa pedang juga parang. Kelihatan, mereka orang suruhan pesaing bisnis. Pelayat semburat, penyerang merangsek. Pelayat ditebas, ada yang tewas di tempat. Satu jenazah bertambah jadi tiga. Kelompok penyerang menghilang entah kemana, seperti ninja.
Depan sekolah. Anak-anak remaja, dengan seragam putih abu-abu, berdiri berjajar. Bukan di depan sekolah sendiri, tapi sekolah orang lain. Orang lain yang katanya menghina rekan satu sekolah mereka. Harga diri almamater diinjak-injak, kata mereka. Masih ingusan sudah berkata harga diri. Rantai, gear, pentungan bahkan parang dan pedang jadi senjata. Sekolah jujugan tak tinggal diam, mereka juga tahu, 'utusan' sekolah lawan akan datang, cepat atau lambat. Dan sepulang jam sekolah, mereka beraksi. Bukan ekskul atau pelajaran tambahan, mereka cuma tawuran.
Kota wisata, tempatnya orang belanja kebutuhan buat bergaya. Tiba-tiba terdengar raung belasan motor, nampaknya geng motor masih ada yang eksis. Cuma melintas sekilas, tapi sudah bikin warga waswas. Polisi atur strategi, daripada nanti jatuh korban lagi. Hari yang ditentukan, polisi lancarkan serangan. Geng motor digerebek, geng motor melawan. Di kedua belah pihak berjatuhan korban. Segelintir anggota lolos, bersembunyi. Menanti waktu yang tepat untuk beraksi lagi.
Ujung lain republik. Dimana warga masih berburu dengan panah dan sumpit beracun. Warga dua desa terlibat pertikaian. Entah ada yang salah atau memang kesalahpahaman. 1 nyawa dibayar dengan 1 nyawa, begitu aturannya. Maka panah pun terlepas dari busurnya, tombak pun terlepas dari genggaman pelontarnya. Dan perang tak akan berhenti sampai korban mati seimbang di kedua sisi.
Pulau lain, masih di republik. Massa berdemo menuntut janji bupati. Katanya mau berdialog, nyatanya massa cuma bermonolog. Katanya bikin kebijakan, kok malah rakyat yang dikesampingkan. Janji dialog tinggal janji, bupati entah lari atau pergi. Massa emosi, merobohkan pagar besi. Aparat lakukan tembakan peringatan, tapi kelas kalah jumlah personil di lapangan. Warga merangsek lagi, mulai membakari semua yang bisa terbakar. Pemadam kebakaran tertahan, hanya bisa menonton api unggun dengan bahan bakar kantor bupati.
Itulah secuil kisah tentang Republik Tawur, yang diperjuangkan oleh para pejuangnya dulu dengan perang dan diplomasi. Ketika diplomasi dengan kata-kata sudah tak mampu menghasilkan solusi, maka perjuangan fisiklah yang dilakukan, yang dianggap lebih mampu membuahkan hasil. Ya, ada perang dan genangan darah dalam sejarah republik ini. Mungkin warga masa kini hanya ingin meneladani, apa yang terjadi di sana ketika jaman penjajahan dulu.
Ya, rakyat Republik ini masiih terjajah. Oleh kebijakan yang tak merakyat, oleh kemiskinan yang melekat, oleh kebodohan yang mengendap, oleh emosi yang meracuni nurani, oleh bujuk rayu setan berkepala hitam yang hembuskan fitnah dimana-mana. Ya, rakyat Republik ini sedang berusaha meraih. Kemerdekaan di bidang ekonomi, pendidikan, rasa aman, jaminan kesehatan dan lainnya, masih banyak yang harus mereka raih. Ya, rakyat Republik ini masih harus terus berjuang, entah dengan diplomasi atau perang, melawan para penjajah yang tak kelihatan.
*tulisan ini tidak menganjurkan ataupun menyetujui segala bentuk kekerasan dalam mencapai tujuan, selama masih ada cara lain yang lebih efektif. Mungkin kekerasan akan bisa menyelesaikan hampir semua masalah, hanya saja dia selalu membawa masalah lain yang tidak kalah rumit.
**tulisan ini terinspirasi dari berbagai bentuk tindakan anarkisme di negeri ini.
***sekali lagi, penulis samasekali tidak menganjurkan pembaca untuk ikut terlibat dalam segala bentuk kekerasan dalam menyelesaikan segala bentuk masalah, kecuali darurat (dalam keadaan perang, misalnya).
republik tawur...
BalasHapushahah,,,