Ceramah Rabu : Penceramahnya Dirjen Loh!

Ustadz Agung Kuswandono tengah memberi ceramah . . .

. . . dan para jama'ah yang membludak,
antusias menghadiri ceramah dari Sang DJBC 1


Selama Ramadhan ini, masjid kantor mengagendakan ceramah rutin ba'da dzuhur setiap Selasa - Kamis (kalau hari biasa, cuma Selasa aja). Khusus hari Rabu, penceramah yang diundang adalah para pejabat di lingkungan kantor. Dan pada edisi kali ini, giliran Dirjen BC, Bapak Agung Kuswandono yang mendapat jatah pertamax untuk ceramah. Alkisah, beliau menceritakan pengalaman beliau semasa menempuh pendidikan S2 di Colorado, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Boulder (kalo nggak salah denger sih), yang dideskripsikan sebagai kota kecil yang indah oleh beliau.

Jadi ceritanya, di sana tuh tata kotanya rapi, dan kehidupan masyarakatnya juga rapi. Contohnya, membahas moda transportasi, bis kota yang tepat waktu (seperti kisah Mas Halim dari Korea), plus norma kesopanan yang masih dijalankan. Misalnya, ketika naik bus, sopir akan menyapa 'hi' pada penumpang, dan penumpang juga membalas sapaan itu. Ketika turun, penumpang, secara norma, harus mengucap 'thank you' pada sopirnya, dan sopir juga membalas dengan 'you are welcome'. Katanya, kalo nggak begitu, Anda akan dicap bersalah secara moral. Pokoknya sopan deh, bandingin deh sama di Indonesia.
Trus juga ketika beliau sedang mengamati peta, eh tiba-tiba aja ada bule nanyain 'Kamu tersesat?' (in english of course). Beliau lalu menjawab, akan pergi ke suatu tempat. Dan sang bule dengan sukarela menjelaskan, naik angkutan yang mana, rutenya yang mana. Ternyata orang bule baik ya . . .

Selang beberapa menit, topik pembicaraan meloncat ke Jepang, ketika negeri itu baru saja disapu tsunami beberapa waktu lalu. Konon di sana, supermarket pada mengobral barangnya setelah bencana, atau setidaknya memberi diskon besar-besaran. Pengertian banget ya, orang habis ditimpa bencana, eh penjualnya berbaik hati megobral sembako. Kalau di Indonesia? Hmm, no comment deh. Selain itu, para korban bencana yang bakal mendapat bantuan pun, kabarnya tetap mengantri dengan tertib. Kalau di Indonesia, kayaknya antri apa aja mesti ribut deh, apalagi pembagian sembako, di tengah musibah. Karena selalu saja ada oknum yang dengan tampang inosen, mencoba menerobos antrian (terakhir kali menemui orang macam itu di antrian tiket kereta, mereka nyaris dimassa oleh pengantri resmi yang telah menunggu berjam-jam, beruntung masih ada PKD stasiun yang menertibkan mereka).

Setelah beberapa menit topiknya membuat penulis kurang nyambung, akhirnya Ustadz Agung membeberkan his point of speech. Intinya, sebenarnya nilai-nilai semacam itu sudah ada dalam ajaran Islam. Seperti :
  • saling mengucap salam jika bertemu dan berpisah (tentu, versi Islam bukan 'hai' atau 'halo');
  • membantu orang yang mencari arah (dengan ikhlas lo ya, bukan dengan meminta bayaran setelah menunjukkan arah);
  • meringankan beban orang yang tertimpa musibah (bukan malah menaikkan harga di tengah kebutuhan darurat masyarakat);
  • tertib dan nggak egois (nggak cuma dalam antrian, tapi juga dalam berlalu-lintas dll)
  • dan lain sebagainya

Yang membuat beliau merasa miris adalah, nilai-nilai mulia itu tampil di negeri yang mayoritas penduduknya bukan Islam (yang dicontohkan oleh beliau, di USA dan Jepang). Sementara kita yang negaranya mayoritas muslim, sudah deh nggak usah disebut, pasti pada tahu kan? Bukannya nilai Islami yang ditampilkan, namun malah nilai-nilai tidak Islami yang melekat (atau dilekatkan sebagai suatu stereotip negatif) pada umat Islam selaku mayoritas di negeri ini. Seolah-olah, nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam Islam itu 'dicuri' oleh orang lain yang bukan Islam. Pak Dirjen sempat mengutip hadits berikut :

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis bahwa iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi dari cabang-cabang keimanan adalah perkataan “la ilaha illallah” dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan."

Nah, bahkan hal yang tampak sepele seperti menyingkirkan duri di jalan agar tidak menggangu orang lain yang lewat, bisa dicatat sebagai pahala, apalagi hal-hal yang lebih dari itu. Dan di akhir sesi, Pak Dirjen mengajak jama'ah sekalian untuk tidak hanya bangga dengan keislamannya, namun juga mampu menunjukkan nilai-nilai mulia dalam ajaran Islam. Bagaimana, kaum muslimin? Yuk, kita buktikan Islam kita!

Komentar