Pulang Kampung Tapi Kok Nggak Seneng?

"Orang Islam itu, kalau mati sebenarnya ibarat pulang kampung", begitu kata ustadz dalam ceramah sebelum tarawih semalam. Ya, masuk akal memang. Mengingat, ketika mati nanti, suka nggak suka, kita akan kembali kepada-Nya, kepada Allah, Dzat Maha Sempurna yang telah menciptakan kita dari ketiadaan, lalu menghidupkan dan memelihara kita, dan akhirnya mematikan kita.
Ups, saya bilang akhirnya? Maaf, sebenarnya itu bukan akhir, karena setelah mati nanti, kita pasti mengalami 'petualangan' lain, yakni di alam akhirat.
Amalan baik kita akan ditimbang, lalu dibandingkan dengan amalan buruk kita, kemudian kita akan diberi ganjaran yang sepantasnya: surga atau neraka.

Nah, kembali ke analogi "mati=pulang kampung" tadi. Umumnya kan, orang pulkam tuh gembira, bisa ketemu keluarga, teman-teman dan kerabat lainnya di kampung. Tapiiii, ternyata ada juga orang yang nggak seneng pas tiba waktunya pulang kampung.
Kata ustadz, itu adalah orang yang nggak cukup bekalnya untuk pulang kampung. Bayangin, pulang kampung pas lebaran gini, tiket untuk berbagai moda transportasi biasanya pada naik (kecuali kereta ekonomi), belum lagi persaingan mendapatkan tiket yang juga pasti sengit. Belum lagi kalau pulang kampung etisnya membawa oleh-oleh, syukur-syukur ada rezeki lebih untuk ngasih sangu ke ponakan/saudara yang masih kecil-kecil. Pokoknya, pulang kampung bisa dibilang harus punya bekal yang cukup lah. Pak ustadz mencontohkan, anaknya yang mau pulang kampung ke Madura, setidaknya harus menyiapkan 5 juta rupiah. Kalau baru punya 2 juta, ya gigit jari, ditunda aja dan baru pulang kampung pas udah terkumpul 5 juta. Kalau adipaksain pulang hanya dengan 2 juta, bisa-bisa baru sampai Semarang udah nggak bisa nerusin ke Madura, susah juga pulang ke Jakarta.

Nah, kembali ke analogi "pulang kampung=mati" tadi. Kesamaannya adalah, baik mati maupun pulang kampung, sama-sama butuh bekal. Tentu, dalam menghadapi pulang kampung ke akhirat, bukan bekal uang dan oleh-oleh khas yang dibawa, melainkan amal pahala. Bedanya, kalau pulang kampung pas masih di dunia, pas bekal masih sedikit, pulkamnya bisa lah ditunda sampai bekalnya udah cukup (atau setidaknya nggak pas lebaran saat semua serba mahal). Kalau kematian? Nggak ada negosiasi waktu, tau-tau udah dijemput gitu aja sama malaikat maut, entah sudah punya bekal atau enggak. Itu dia yang bikin sebagian besar dari kita ngeri ketika mendengarkan kata 'kematian'. Sementara sebagian kecil yang lain, yakni yang sadar bahwa kita, manusia, harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya buat menyambut 'kepulangan' kita ke akhirat kelak, tentu lebih santai.

Naah, maka dari itu, sudah sebanyak apakah bekal yang kita siapkan untuk menghadapi kematian? Yuuk, memperbanyak bekal kita, mumpung masih diberi kesempatan hidup di dunia sama Allah. Karena dunia ini adalah ladang ibadah, sawah amalan, tempat kita mengumpulkan bekal untuk ke akhirat nanti. Sementara di akhirat kelak, hanya seperti tempat penukaran poin dengan hadiah. Poin yang dinilai adalah amal kebaikan kita, sementara maksiat dan dosa kita menghanguskan poin kebaikan yang sudah dikumpulkan, lalu dihitung totalnya, dan . . .
Hanya ada dua pilihan hadiah; surga atau neraka.
Semua pasti kepengen surga kan? Makanya ayok, buruan menambah amalan kita, mumpung masih hidup, terlebih sekarang masih Ramadhan, di mana pahala amalan kita dilipatgandakan sama Allah. Yuk yuk yuk . . .

Komentar