Kontroversi Qunut
Suatu fajar di sebuah kegiatan ekskul yang menginap di sekolah, Ardi dan beberapa rekannya beranjak ke mushola sekolah untuk menunaikan kewajiban sholat subuh. Saat itu kebetulan tidak ada guru yang menginap, pun imam tetap di mushola. Maklum, hanya sebuah mushola SMP. Aksi dorong-dorongan brebut untuk emoh jadi imam pun terjadi, dan Ardi gagal memperebutkan posisi makmum (maklum, anak SMP kan biasa rebutan jadi makmum). Setelah iqomat, akhirnya si Ardi kecil mengimami sholat subuh pagi itu. Raka'at pertama no problemo, raka'at kedua, aman, namun saat si Ardi memasuki posisi sujud, temannya mengucap "subhanallah". Ardi lanjut, duduk di antara dua sujud, terdengar "subhanallah lagi", demikian terjadi setiap prgantian gerakan, sampai salam. Ardi menoleh, heran melihat temannya masih berdiri, sementara dia telah selesai sholat. Pakhirnya temannya melanjutkan sholat sendiri cukup lama setelah Ardi. Setelah salam, terjadilah dialog menjurus debat kusir di antara keduanya. "kamu tadi kok nggak pake qunut?", tanya temannya. Si Ardi merasa tidak bersalah, wong memang biasanya tidak pakai Qunut. What's the matter dude?
Pembaca cukup akrab dengan kejadian di atas? Tenang, kali ini penulis mempunyai jawabnannya. Tadi siang, materi kasasi (kajian Selasa Siang di MBT KP DJBC- inget kan singkatan ini?) yang disampaikan oleh Ustadz Ibnu Rahman Al Bughury, adalah tentang qunut. Berikut materi yang beliau sampaikan yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca, silahkan diunduh di sini. Di sini dijelaskan berbagai pandangan ulama tentang keberadaan qunut, berikut hadits-hadits yang mendukung. Ada yang menganggap sunnah, ada pula yang mengganggap wajib (meski minoritas).
Satu pesan dari penceramah, "khilafiyah itu sunnah, tapi ukhuwah itu wajib". Artinya, jangan sampai perkara-perkara dalam ilmu fiqih yang tidak fundamental (selama bukan pilar inti agama yang sudah dijelaskan dengan pasti dan tanpa perdebatan), wajar saja kalau terjadi perbedaan pendapat dalam ummat (wong ulama yang berilmu saja bisa tidak sependapat, apalagi ummat yang awam), namun jangan sampai itu menjadi perpecahan dengan menganggap pendapatnya sendiri yang paling benar dan menyalahkan atau bahkan mengkafirkan kaum yang memiiliki pendapat lain. Terlebih jika posisi kita sebagai makmum, misalnya biasa di masjid kita pake qunut, terus suatu ketika ada imam "undangan" nggak pake qunut, jangan sampe makmum ngambek terus nggak ikut imam. Pun sebaliknya, kalau biasa nggak pake qunut, trus shoolat di tempat yang imamnya pake qunut, ya tinggal mengamini, kan beres. Toh juga biasanya imamnya menanyakan kepada umat, kebiasaan di situ bagaimana. Jadi nggak perlu lah kita memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak esensial dan malah memecah belah kita sendiri, sembari lupa kalau kita adalah saudara seiman. Lebih baik kita merapatkan barisan ummat, demi menghadapi tantangan zaman yang nggak semakin ringan dan berlomba-lomba ber-fastabiqul khairat serta ber-amar ma'ruf nahi munkar. Oke?
Betul. Makmum harusnya mengikuti imam.
BalasHapus