Kisah Mus dan Hen; Cemburu Karena Ketidakadilan

Kisah ini adalah kisah tentang dua sosok yang sama-sama dimiliki oleh orang yang sama, sebut saja namanya Mas Joko (bukan nama saya), yang memberikan perhatian berbeda pada keduanya, yang dirasa tak adil oleh salah satu pihak, namun pihak satunya berkeras bahwa itu bukan masalah. Dialog ini hanyalah fiktif belaka, namun didasarkan pada kisah nyata yang sering terjadi di sekitar kita. Mari kita simak kisahnya:
  • Mus : Hen, aku nggak nyaman dengan keadaan ini. Mas Joko mulai nggak adil
  • Hen : Nggak adil gimana sih Mus?
  • Mus : Ya itu, dia selalu perhatian sama kamu, kamu diajak kemana-mana, tiap hari dari bangun pagi sampai mau tidur lagi
  • Hen :tapi kamu kan juga masih diperhatiin Mus
  • Mus : Iya, tapi masa selama habis maghrib aja sih. Sementara kamu, setiap saat Hen
  • Hen : udahlah Mus, emang jamannya udah gini, kamu ikhlas ya
  • Mus : nggak bisa gitu Hen, aku kenal dia duluan, tapi kenapa akhir-akhir ini kamu lebih diperhatiin daripada aku
  • Hen : udahlah Mus, nyatanya aku memang lebih menarik kok . . .
  • Mus : tapi aku lebih bermanfaat Hen, aku selalu ngingetin dia, nasihatin dia, sementara kamu, ah . . kamu emang paling pinter kalau bikin di alalai Hen
  • Hen : Aku juga ngingetin dia kok Mus . . 
  • Mus : tapi kamu lebih sering ajak dia ke urusin dunia melulu. Ajakan reuni lah, urusan bisnis lah, nggak adil Hen
  • Hen : Udahlah Mus, memang kita dasarnya berbeda . . .
  • Mus : Enggak Hen, aku cume menuntut keadilan aja, ini demi dia juga
  • dan seterusnya dialog ini nggak akan ketemu titik akhirnya kalo diterusin
Sampai titik ini, mungkin pembaca berpikir ini adalah cuplikan dialog sinetron bertema poligami. Namun bukan. Mungkin pembaca ada yang menduga nama lengkap kedua tokoh yang berdialog di atas adalah Muzdalifah dan Henny, atau semacamnya. Sayang sekali, tebakan pembaca lagi-lagi salah.
"Nama lengkap" kedua tokoh dalam dialog di atas adalah MUShaf dan HENpon.

Ya, dialog fiktif di atas adalah gambaran bagaimana kecemburuan yang dialami mushaf Al-Qur'an terhadan Henpon alias ponsel, yang kita miliki kedua-duanya, namun kita perlakukan berbeda. Ketika henpon kita perlakukan bak belahan jiwa (kalo ketinggalan henpon aja bingungnya minta ampun, batere tinggal dikit aja paniknya kebangetan), sementara mushaf kita sering teronggok saja di sudut kamar tanpa kita ingat kapan terakhir kali memegangnya, apalagi membacanya.
Ketika kita lebih sering sibuk dengan henpon kita daripada mushaf kita, sadarkah kita, bahwa ada yang salah dengan diri kita?

Ketika mushaf Al-Qur'am kita yang penuh hikmah dan kebenaran jarang kita baca, sementara henpon yang penuh hiburan dan tipu daya yang melenakan kita dari akhirat begitu kita sayangi bagai belahan hati. Memang, banyak di antara kita yang 'memushafkan' ponselnya (memasukkan aplikasi Al-Qur'an ke dalam ponsel pintar agar bisa mengaji di mana saja dan kapan saja dengan lebih praktis, alhamdulillah banyak yang begitu), namun berapa banyak yang menjadikan ponselnya tak lebih dari gadget yang memfasilitasi ghibah secara online, memperdengarkan musik-musik mistik gubahan antek zionis, film-film propoganda, dan permainan-permainan melenakan? Berapa jam sehari kita habiskan bersama si Hen alias henpon kita, dan berapa lama yang kita habiskan untuk bermesraan dengan Mus alias mushaf kita yang penuh hikmah?

Penulis rasa, pertanyaan-pertanyaan itu biarlah dijawab dalam hati masing-masing. Biarlah kita berkaca, adilkah kita? Semoga dapat memberikan sentilan di hati kita, yang nampaknya lebih sering lalai dari ajaran kebenaran yang tercakup dalam mushaf kita dan terbuai oleh fitur-fitur fantastis dalam ponsel pintar kita . . .

 
*dari kajian ba'da subuh di Pusdiklat Gadog Ciawi, dalam rangkaian acara konsolidasi Pengurus Bintal/DKM di Lingkungan Kemenkeu, 12-13 Desember 2014

Komentar