Di Sini Kami Belajar Anti-Korupsi

Beberapa tahun lalu saat Gayus Tambunan mencapai puncak popularitasnya, STAN (sekarang sudah berubah menjadi Politeknik Keuangan Negara STAN) ikut terimbas. Banyak yang beropini tanpa bukti bahwa sebaiknya sekolah ini dibubarkan saja, karena lulusannya cuma jadi tikus perongrong keuangan negara. Banyak yang melewatkan fakta, bahwa banyak alumninya yang jadi anggota KPK. Banyak yang berkata seolah paling mengerti, bahwa di sini kami diajari untuk korupsi. 
Benarkah demikian?
Penulis dapat katakan bahwa informasi macam itu sesat dan menyesatkan. Dan menurut OPINI penulis (boleh dong beropini, yang lain kan juga boleh), ada beberapa kemungkinan bagaimana mereka bisa berkata demikian,
  • generalisasi. Hanya karena satu (dari sekian banyak? who knows) oknum alumni STAN yang ketahuan korupsi, maka ada oknum masyarakat yang menggeneralisir alumni STAN sebagai koruptor. Nggak masuk akal kan? Sebenarnya penggeneralisiran seperti itu jamak terjadi di masyarakat, hanya saja kita sering nggak sadar. Coba, kalau bahas tentang polisi, biasanya yang muncul adalah citra segelintir oknum polisi yang "hobi" menilang pengguna jalan dan meminta "uang damai". Ya kan? Padahal masih banyak polisi bersih di luar sana.
    Kalau membahas PNS, biasanya muncul citra bahwa PNS tuh kerjaannya cuma nongkrong di kantor, kabur pas jam kerja dan sederet citra negatif lainnya. Ya kan? Padahal banyak sekali PNS baik di luar sana.
    Dan hal ini pun berlaku juga bagi para alumni STAN, yang menjadi korban generalisasi akibat ulah segelintir oknum
  • iri. Sebagaimana diketahui, STAN merupakan salah satu sekolah kedinasan terfavorit bagi para lulusan SMA. Gimana enggak, lulusannya berpeluang bekerja di Kementerian Keuangan, yang remunerasinya paling gede di antara PNS lain. Siapa yang nggak pengen coba (banyak sih, tapi yangpengen juga banyak). Setiap tahun, puluhan hingga ratusan ribu lulusan SMA mencoba peruntungan nasib mereka dengan mengikuti USM STAN (jaman penulis, di tahun 2008 ada lebih dari 100 ribu pendaftar). Dan yang lolos? Sekitar 2 ribuan saja (di era penulis; 3 tahun terakhir kabarnya yang diterima di STAN jumlahnya sekitar 4000-an per angkatan). Itu artinya, hanya sekitar 1% dari pendaftar yang diterima. Sisanya? Ya belum rejekinya sih . . .
    Tapi apa semua bisa menerima "belum rejeki"? Belum tentu. Sayangnya masyarakat kita seringkali punya kebiasaan nyinyir ketika gagal mencapai suatu hal. Nggak lolos seleksi pegawai di satu kantor, bisa aja ada alasan "ah yang dipilih mah harus punya koneksi orang dalam", kalah lomba bisa aja ngeles "ah panitianya alumni sekolah itu sih, pantes aja dari sekolah itu yang menang", dansebagainya.
    Nah, orang nyinyir biasanya selalu saja ada alasan untuk berkata buruk tentang hal yang dinyinyirin itu. Jadi nggak menutup kemungkinan bahwa ada orang dari luar STAN yang berkata seperti itu. Apakah semua yang nggak lolos seleksi STAN bakal berkata seperti itu? Tentu tidak, karena tidak semua orang memiliki hati sesempit itu. Yang nyinyir, bisa siapa aja sih. Tapi yang jelas, mahasiswa/alumni/civitas academica STAN yang lain nggak akan berkata bahwa anak STAN diajari korupsi
  • salah denger. Sebagaimana penulis sebut di atas, "orang STAN" entah itu mahasiswa, pegawai atau dosen STAN, nggak akan mengatakan perkataan keji tadi (penulis sensor agar nggak melukai sesama civitas academica STAN yang lain). Mengapa begitu? Karena MEMANG KAMI TIDAK DIAJARI UNTUK KORUPSI. Benar bahwa kami belajar apa itu korupsi, namun sebagaimana yang dikatakan oleh KPK, bahwa kami mempelajari untuk membasmi. Kami memang belajar tentang apa itu korupsi, kegiatan apa saja yang masuk kategori korupsi berdasarkan peraturan yang berlaku, bagaimana praktik korupsi yang terjadi di berbagai instansi, dan berbagai seluk beluk korupsi (tentu, kolusi dan nepotisme juga). Namun kami tidak diajari BAGAIMANA CARANYA KORUPSI.
    Ah ngeles aja nih, dasar anak STAN, pasti ngebela lah kalau almamaternya dihina, begitu mungkin kata nyinyir-ers. But wait, coba kita analogikan.
    Misalnya, ada seorang dokter yang ditugaskan di sebuah daerah terpencil untuk membasmi penyakit menular di suatu wilayah. Dokter tersebut nggak pernah tahu penyakit tersebut. apa yang akan dilakukannya? Tentu meneliti penyakit tersebut. Bagaimana gejalanya, apa kemungkinan penyebabnya, dan sebagainya. Tanpa mempelajari penyakit tersebut, mustahil untuk bisa menanganinya.
    Misalnya lagi, ada seorang jenderal yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk membasmi kelompok teroris yang bersembunyi di suatu wilayah. Apa yang akan dilakukan oleh jenderal tersebut? Pertama pasti ia akan mengumpulkan informasi intelejen yang berguna untuk membasmi teroris tersebut. Mulai dari berapa banyak jumlah mereka, keahliannya apa saja, persenjataannya, lokasinya, dan sebagainya. Tanpa mengenali profil musuh, mana bisa membasmi mereka, ya kan?
    Sekarang slogan "Mengetahui untuk membasmi" terdengar lebih masuk akal bukan?
    Tapi, apa hubungannya dengan "salah dengar" yang disebut di atas?, begitu mungkin pikri sebagian pembaca. Sabar.
    Jadi begini, kami di STAN (khususnya yang menempuh program D IV) mendapatkan jatah perkuliahan Seminar Anti Korupsi. Dan mungkin yang punya kenalan lulusan/mahasiswa DIV STAN pernah mendengar nama mata kuliah ini. Bisa jadi ada mahasiswa/lulusan DIV yang membahas mata kuliah ini, dan ada orang yang overheard percakapan tersebut. Mungkin didengarnya hanya sepotong-sepotong. Mungkin mendengar percakapan tersebut di kereta, diiringi deru kereta yang memekakan telinga dan memotong frasa yang terucap dari mulut si pembicara. Maka sampailah informasi yang terpotong itu ke si pendengar. "iya kemarin gua dapat nilai bagus loh . . . .jugijagijugijagijug, kereta berangkat . . . . mata kuliah . . . . gujes gujes gujes . . . . korupsi . . . .". Si pendengar pun terkejut, mendapati ada anak STAN yang mengaku mendapat mata kuliah korupsi, tanpa sadar bahwa informasi yang sampai ke telinganya telah dikorupsi oleh bisingnya suara kereta. Maka, beredarlah kisah itu ke rekan-rekannya yang lain "eh kemarin gua di kereta kebarengan anak STAN tuh, katanya mereka dapat mata kuliah korupsi loh", lalu temannya menimpali "wah gila tuh, pantesan si gayus pinter korupsi" dan sebagainya dan seterusnya. Taraaaa. . . . jadilah muncul citra bahwa si STAN diajarkan cara korupsi. As simple as that.
Jadi . . . . 
apa yang dapat kita pelajari di sini adalah berhati-hatilah dalam mencerna informasi yang kita dapatkan, klarifikasi dulu ke pihak terkait, jangan sampai karena kita menerima informasi yang tidak benar, maka tersebarlah berita yang menyesatkan dan merugikan salah satu pihak. 

Kedua, jangan korupsi dan jangan mendiamkan terjadinya korupsi. Titik.

Ketiga, setiap dari kita memiliki peran dalam melawan korupsi.
Orang bilang korupsi sudah membudaya di negeri ini, maka kita pun harus membudayakan perilaku anti korupsi untuk melawannya.
Orang bilang korupsi sudah terjadi di segala lini di bangsa ini, maka kita pun harus membudayakan perilaku anti korupsi di segala lini untuk melawannya.
Orang bilang korupsi merupakan kejahatan terstruktur yang dilakukan oleh banyak pihak, maka kita pun harus membudayakan perilaku anti korupsi di segala lini secara terstruktur dan menggandeng banyak pihak untuk melawannya.
Orang bilang, korupsi merupakan extraordinary crime, maka kita pun harus melakukan extraordinary effort untuk melawannya.

Ayo, bersama-sama, kita bisa bangkit melawan korupsi!!!!!

Komentar