Surat Cinta untuk Kartini
Kemarin penulis habis menemani istri (yang sedang dilanda kebosanan dan ingin refreshing) nonton film Surat Cinta untuk Kartini.Penulis sedang tidak membahas tentang emansipasi wanita, atau kontroversi seputar tokoh Kartini, tapi ingin membahas filmnya saja. Jadi yang mau nonton dan nggak pengen dapet spoiler, tinggalkan saja postingan ini. Kalau penasaran, monggo dilanjut, toh saya sudah mengingatkan yaaa . . . .Oh ya, di akhir film ini disebutkan bahwa film ini hanyalah fiktif belaka, jadi ini bukan sisi lain sejarah yang tak terungkap, namun memang fiksi, yang dibumbui sejarah tok oh Kartini. Spoiler alert, ada beberapa adegan yang tidak aman ditonton bagi Pembaca yang sedang berada di dalam kondisi friendzone :D
Film dibuka dengan adegan seorang bu guru cantik yang menuju ke kelas murid-muridnya, bertabrakan dengan pak guru ganteng (dan adegan dramatis lain termasuk buku jatuh dan bertatap mata), sebelum ibu guru itu menuju ke kelasnya. Bu guru tadi lalu menjanjikan akan menceritakan sesuatu bagi para muridnya, dan dengan gaya khasnya, seorang murid memprotes "ah, pasti mau cerita tentang Ibu Kartini lagi, bosen ah Bu". Suasana kelas gaduh, dan luckily, pak guru ganteng datang di saat yang tepat untuk "menyelamatkan" kondisi gaduh itu. Dengan sebuah gambar sepeda onthel (yang digambar pada buku sketsa secara luarbiasa detil dan cepat), pak guru ganteng membawakan cerita tentang Pak Pos.
Film dibuka dengan adegan seorang bu guru cantik yang menuju ke kelas murid-muridnya, bertabrakan dengan pak guru ganteng (dan adegan dramatis lain termasuk buku jatuh dan bertatap mata), sebelum ibu guru itu menuju ke kelasnya. Bu guru tadi lalu menjanjikan akan menceritakan sesuatu bagi para muridnya, dan dengan gaya khasnya, seorang murid memprotes "ah, pasti mau cerita tentang Ibu Kartini lagi, bosen ah Bu". Suasana kelas gaduh, dan luckily, pak guru ganteng datang di saat yang tepat untuk "menyelamatkan" kondisi gaduh itu. Dengan sebuah gambar sepeda onthel (yang digambar pada buku sketsa secara luarbiasa detil dan cepat), pak guru ganteng membawakan cerita tentang Pak Pos.
Sarwadi (Ngakunya) Putra Raja Langit |
Kisah beralih ke tahun 1901, saat Sarwadi, seorang duda beranak satu, memulai hari pertamanya bekerja sebagai tukang pos. Berbekal sepeda onthelnya, ia berkeliling Rembang mengirimkan surat-surat kepada alamat tujuan, dan dengan penuh empati, sang tukang pos ikut berbahagia seiring ekspresi para penerima suratnya. Tibalah ia di rumah kediaman Bupati Rembang kala itu yang sedang akan melakukan sesi pemotretan dengan keluarga besarnya. Dan pada saat itulah sang tukang pos melihat putri dari sang Bupati, R.A Kartini muda yang mempesona. Seketika itu pula ia jatuh hati padanya.
Singkat cerita, tanpa mempedulikan perbedaan kasta (ia rakyat biasa, dan Kartini putri ningrat), ia pun berusaha PDKT, sedikit banyak dengan bantuan Bude Dewi, ibu dari Mujur, pengrajin ukiran sahabat baiknya, yang bekerja sebagai salah satu abdi di rumah Sang Bupati. Meski Bude Dewi berkeras untuk tak membiarkan Suwadi menyampaikan surat secara langsung, bermodal nekat dan curi-curi, sampai juga ia bertemu Kartini. Mendengar cerita bahwa Kartini berniat membangun sekolah untuk wanita Jawa, sang tukang pos pun memanfaatkan Ningsih, putrinya, untuk bisa dekat dengan Kartini. Dikatakannya bahwa ia ingin agar Ningsih sekolah, biar pandai seperti Ndoro Kartini.
Gayung bersambut, karena Kartini muda pun sedang semangat-semangatnya mencari murid di kalangan pribumi (yang masa itu berkeras melarang anak wanitanya bersekolah dan berharap anak wanitanya cepat kawin, sebagaimana Sarwadi pula awalnya). Maka Ningsih pun menjadi murid satu-satunya murid bagi tiga bersaudara Kartini, Dina adn Mini. Sebagai side story, Mujur sahabatnya, meminta ditemani untuk bertemu seorang wanita, yang ditemuinya saat Sarwadi meminta Mujur menggantikannya sebagai tukang pos saat ia curi-curi waktu dinas untuk menemui Kartnini.
Pepatah Jawa mengatakan witing tresna jalaran saka kulina, alias cinta datang karena terbiasa, diimplementasikan dalam film ini. Bagaimanakah kisah selengkapnya?
Saran penulis sih, tonton saja sendiri Gaes. Biar kentang yang baca postingan ini #evilsmile
Sebenarnya capek aja kalau ngetikin seluruh kisahnya, jadi penulis lompat ke penilaian saja deh.
Jujur saja, saat istri mengajak nonton film ini, penulis awalnya ogah-ogahan (entah kenapa penulis agak risih kalau mendengar film yang judulnya mengumbar kata cinta dan sejenisnya). Tapi setelah nonton, hmmm, boleh lah.
Kalau menurut penulis sih, pengambilan gambar dan seting lokasi film ini bagus banget. Ada pantai, pinggiran kali, jalan kampung di pinggir pantai, pokoknya jos. Di beberapa adegan, sudut pengambilan gambar dikombinasikan dengan efek pancahayaan terasa sangat artistik dan memanjakan mata.
Penokohan karakter terasa cukup dalam, dan di beberapa adegan, pesan yang disampaikan terasa begitu membekas bahkan tanpa ada sepatah katapun yang bicara.
Dialog terasa sederhana namun mengena, meski terasa kurang mantap di beberapa bagian. Mungkin karena bahasa dialognya nanggung, mau dibikin medok (logat Jawa kental) tapi nggak total (artisnya juga ada yang terasa kurang medok sih), tapi mau dibikin Indonesia semua juga nggak menggambarkan suasana Jawa jaman dulu. Beberapa dialog terasa begitu dalam dan menohok, ada juga dialog yang bakal membangkitkan memori buruk bagi yang pernah menjadi korban friendzone.
Kepolosan Ningsih serta tingkah konyol dua sahabat Sarwadi-Mujur memberikan sedikit unsur humor dengan dosis yang pas pada film ini-jangan berharap menemukan banyolan slapstick atau kekonyolan comic pada film ini, memang bukan genre-nya. Permainan emosi dalam film ini lebih banyak lewat kata-kata, tanpa banyak mengumbar ekspresi lebay dari para pemerannya. Sosok Kartini ditampilkan kokoh dalam kerapuhannya, tetap mampu tegar meski berurai air mata. Kartini dalam film ini bukanlah sosok gadis ningrat yang merakyat, dan tetap anggun dalam kesederhanaannya, idealis namun mampu nrimo dengan keadaannya.
Overall, menurut penulis yang bukan kritikus film profesional, bukan pula penikmat film yang addicted, serta tidak memiliki kapabilitas dalam penilaian sebuah karya fiksi (singkatnya, penilaian orang awam), "Surat Cinta untuk Kartini" bernilai "nggak nyesel nonton". Memang bukan film yang membuat penulis ter-woooow oleh efek animasi (sejauh ini, yang paling keren adalah Pacific Rim menurut penulis), adegan berkelahi (juaranya masih The Raid: Berandal) atau mengocok perut ala stand-up comedy, namun sudah melebihi ekspektasi awal penulis.
- memiliki banyak kata-kata mutiara
- seting lokasi bagus
- tidak terlalu suka drama romansa
- mengandung biografi tokoh/sejarah
- memiliki karakter wanita yang tidak manja
- penuh action, perkelahian dan darah
- penuh visual effect (utamanya monster, ledakan, robot dan teknologi tinggi)
- penuh drama
- penuh tawa
- mencari kontroversi Kartini
Pesan penulis, ini film bukan tentang kontroversi Gaes, ini cerita tentang guru yang
menceritakan Kartini (versi sejarah pada umumnya) kepada murid-muridnya yang masih
berusia kisaran 7 tahunan dengan cara yang tidak mainstream. Lagian, pesan dalam film ini bagus kok,
bahwa wanita juga berhak mendapat pendidikan setinggi-tingginya karena kelak merekalah yang akan mengasuh anak-anaknya pertama kali, bukan bawa-bawa kesetaraan jender atau emansipasi ala kaum feminis masa kini.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .