Demonstrasi: Halal/Haram?
Masih terkait postingan sebelumnya, kali ini penulis bakal berbagi materi Kajian Selasa Siang di Masjid Baitut Taqwa Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama Ustadz Ibnu Rahman Al-Bughury. Temanya adalah hukum melakukan demonstrasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Aksi Bela Islam jilid I-III tidak hanya menyatukan ribuan bahkan jutaan umat Islam (tergantung ikut perhitungan siapa, wallahu 'alam), di sisi lain hal tersebut juga membagi umat ke dalam dua golongan. Yang pertama adalah yang setuju untuk menjalankan demonstrasi bertajuk Aksi Super Damai, dan di sisi lain, ada pihak yang mengharamkan aksi turun ke jalan tersebut. Lalu bagaimana hukumnya demonstrasi secara syar'i? Berikut beberapa poin yang berhasil penulis catat:
- "demonstrasi" merupakan suatu istilah untuk suatu perbuatan, maka tidak bisa kita hukumi halal/haramnya suatu istilah tersebut. Hal ini lebih bergantung pada apa yang akan disampaikan saat demonstrasi, dibandingkan dengan istilah 'demonstrasi' itu sendiri. Ibaratnya begini, bisakah kita mengatakan 'botol kecap' itu halal, atau haram? Tentu tidak bisa begitu, kita baru bisa menilai halal/haramnya jika yang dibahas adalah isi dari botol itu sendiri. Jika iisinya adalah air yang suci dan menyegarkan, maka isinya halal. Jika isinya adalah khamr yang memabukkan, tentu isinya haram. Botolnya sendiri hanya merupakan bungkus luar yang tidak bisa dihukumi (tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa botol itu haram diminum, karena sifatnya botol adalah sebagai wadah, bukan sebagai minuman). Demikian pula demonstrasi. Apabila yang dibahas dalam perbuatan tersebut adalah menuntut pemerintah untuk berlaku adil, menjalankan amar ma'ruf nahi munkar, tentu dibolehkan, bahkan bisa jadi wajib jika hal itu merupakan satu-satunya upaya yang dapat dilakukan. Namun jika demonstrasi tersebut membahas agenda pelegalan nikah sesama jenis kelamin, misalnya, yang mana hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, maka tentu haram. Demikian pula jika demo tersebut menuntut pelegalan kegiatan prostitusi, judi, peredaran miras dan sebangsanya. Maka dari sini kita bisa mengetahui, kelompok mana yang tuntutannya saat berdemonstrasi mengarah pada kebaikan, dan mana kelompok yang tuntutannya mengarah pada hal-hal yang dilarang agama.
- berdasarkan hadits, kita diperintah untuk mengubah/mengingkari kemunkaran (tentu yang dimaksud ialah mengubah kemunkaran menjadi kebaikan, mohon jangan ada yang berpendapat mengubah kemunkaran menjadi kemunkaran lainnya). Dengan tangan/perbuatan/kekuatan/aksi nyata, itu yang utama. Jika tidak bisa, maka dapat dengan lisan/perkataan/komunikasi, misal dengan berdialog, berkirim surat, menulis surat terbuka, dan sebagainya media komunikasi. Jika masih tidak bisa, maka ubahlah dengan hati/mengingkari kemunkaran tersebut dalam hati, meski tak mampu beraksi untuk mengubah kemunkaran/memprotesnya. Dan mengubah kemunkaran dengan hati, dianggap sebagai pertanda lemahnya iman seseorang. Maka yang dilakukan oleh saudara-saudara peserta demo ialah mereka mencoba mengubah kemunkaran dengan perbuatan (mengumpulkan massa untuk melakukan aksi bersama dalam jumlah besar) dan perkataan (doa bersama, spanduk dengan berbagai tulisan, orasi terbuka, penyampaian tuntutan). Maka hendaknya jika ada yang tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kemunkaran itu, hendaknya tetap mengingkari kemunkaran itu dalam hati, dan tak usah untuk mencibir dan mencela saudara-saudara kita yang tengah berjuang untuk mengubah kemunkaran tersebut.
- dalam hal ibadah, hukum dasarnya adalah haram, kecuali ada dalil yang mengaturnya. Maka ketika suatu amalan memiliki tata cara, rukun, syarat sah, waktu, tempat dan aturan lainnya secara jelas, perkara tersebut menjadi ibadah maghdhoh. Tidak boleh dikurangi sedikitpun dari aturan yang telah ada. Misalnya sholat Jum'at. Waktunya jelas, hari Jum'at, saat dzuhur, wajib diikuti oleh lelaki, didahului oleh dua khotbah, dan sebagainya dan sebagainya. Jika ada yang mengubah syaratnya, misal menjadikannya di hari Sabtu, diimami oleh wanita, khotbahnya dilakukan selepas sholat, maka itulah yang disebut bid'ah. Bukan dapat pahala malah dapat dosa, karena mengada-adakan ibadah maghdhoh (yang terikat syarat yang jelas), yang dulunya tidak ada.
Menjalankan hal-hal selain ibadah maghdhoh, juga dapat bernilai ibadah dan berpahala, asal bukan perbuatan yang diharamkan, dan diniatkan karena Allah. Mengaji bersama-sama, ibadah. Mendoakan orang meninggal, ibadah juga. Bersih-bersih lingkungan kampung, ibadah juga. Asal tidak memberikan syarat-syarat yang kaku (karena tidak ada dalilnya juga), maka dapat disebut ibadah ghairu maghdhoh, alias ibadah sunnah yang tak terikat rukun dan syarat tertentu. Jadi tidak dapat dikatakan bid'ah kalau ada kerabat meniggal, lalu tetangga pada berkumpul dan mendoakan, mengundang ustadz lalu ada pengajian, toh hanya dijadikan sarana mengumpulkan doa bagi si mayit, bukan sebagai ibadah yang memiliki syarat misal harus minimal 40 pria, harus ini harus itu, jadi bukan ibadah ritual yang maghdhoh, dan tidak dapat disebut bid'ah. Memang tidak ada ajarannya dalam sunnah Nabi, namun kan niat awalnya para wali adalah mengubah tradisi jahiliyah menjadi tradisi penuh berkah (ngaji sama-sama, apa salahnya?).
Demikian pula berdemo, yang juga tidak ada syarat tertentu untuk keabsahannya, tidak ada dalil tertentu yang mengharamkan pula, asal isi tuntutan yang disampaikan baik, diniatkan karena Allah, maka insyaAllah juga bisa bernilai ibadah. Kan hanya menuntut pemerintah untuk berlaku adil, menegakkan kebenaran, tidak pula merusak taman dan buang sampah sembarangan, telah pula diberikan ijin dan diamankan petugas berwenang, diatur pula dalam undang-undang, apa salahnya? - Dalam Islam, kita juga wajib untuk berdakwah, serta saling mengingatkan akan kebenaran. Dengan segala cara yang dibolehkan. Bisa dengan khotbah, bisa pula dengan dialog. Bisa menulis buku, sekedar update status berisi ilmu pun tak dilarang. Maka, jika aksi demonstrasi ini dijadikan sebagai media dakwah, ya boleh-boleh saja. Toh tujuannya untuk mengingatkan pemerintah agar berlaku adil. Sebagian pihak berpendapat bahwa mengingatkan pemerintah, berdasarkan hadits, harusnya secara sembunyi-sembunyi. Namun pihak lain mengatakan bahwa hadits tersebut ada kekurangan dalam sanadnya sehingga tidak dapat dijadikan landasan yang kuat. Namun keduanya sepakat bahwa jika pemerintah melakukan kesalahan, harus diingatkan.
- dalam kaidah fiqh, jika sesuatu perbuatan menjadi syarat bagi hal lain, yang tanpa perbuatan pertama tadi, hal yang ingin dicapai tidak dapat dilaksanakan, maka hal pertama tadi hukumnya menjadi wajib. Bingung?
Begini misalnya. Kelengkapan administrasi suami istri, seperti buku nikah, pencatatan di KUA dan sebagainya, memang bukan merupakan syarat maupun rukun nikah. Namun ketiadaan hal itu (buku nikah, catatan sipil dll) dapat berakibat pada lemahnya posisi istri di peradilan, kalau-kalau terjadi perceraian atau suami kabur dan tidak menafkahi. Tanpa buku nikah dan bukti lain bahwa wanita tersebut adalah istri dari si pria, maka si wanita dan anaknya tidak dapat mengklaim waris, tidak dapat menuntut kalau tidak dinafkahi, dan anaknya tidak dapat diakui secara administrasi. Maka ketiadaan buku nikah dan pencatatan administrasi kependudukan tadi, akan menimbulkan mudhorot lebih banyak bagi pihak wanita. Maka hal tersebut bisa dihukumi wajib.
Nah demo ini juga begitu. Andaikata pemerintah, jika tidak dingatkan oleh kekuatan besar umat Islam, dikhawatirkan akan lalai dan tidak berlaku adil, maka peringatan yang dilakukan oleh umat Islam tadi menjadi wajib hukumnya, demi menjaga pemerintah supaya dapat berlaku adil.
Dengan demikian, maka demonstrasi-demonstrasi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, sejatinya masih dapat dibolehkan dan tidak sampai haram, mengingat tujuannya baik dan aksi yang dilakukan pun baik. Lalu demo macam apa yang dilarang? Yaitu demo yang:
- apabila pria dan wanita bercampur baur dan memungkinkan terjadi perbuatan-perbuatan tidak senonoh
- demo menggunakan kata-kata yang tidak baik dan tidak sejalan dengan ajaran Islam, mencacimaki, mencela dan mengkafirkan pihak yang didemo
- menyakiti diri sendiri, misal demo dengan cara mogok makan, membakar diri, dll
- melanggar kepemilikan orang lain yang tidak berdosa, membakar kendaraan, rumah, menjarah, merusak
Nah, demikian materi tentang demo yang disampaikan oleh Ustadz Ibnu Rahman Al Bughury. Kalau mau materinya, selengkapnya dapat diunduh pada tautan ini.
Memahami dalil dengan hawa nafsu. Allāhu yahdik
BalasHapus