Talkshow bersama Dr Aisyah Dahlan

Memperingati Hari Ibu tahun ini, DJBC mengundang Dr Aisyah Dahlan, salah satu tokoh yang peduli dengan isu-isu kesehatan keluarga, terutama mengenai narkoba dan LGBT. Tema kali ini adalah "Mengenali Permasalahan dan Pendidikan untuk Anak Milenial".


Sebagaimana kita alami Bersama, generasi milenial adalah generasi yang lekat dengan teknologi, utamanya gawai dan internet. Perlu dipahami bahwa sebnarnya, setiap era pun membawa perubahan teknologi yang tak bisa dihindari. Maka, ambil positifnya saja, dan sebisa mungkin hindari negatifnya. Penggunaan gawai memang sisi positifnya dapat membuat yang jauh terasa dekat, namun ada sisi negatifnya yang cukup ironis, yaitu dapat membuat yang dekat terasa jauh karena masing-masing sibuk dengan gawai masing-masing. Maka rumah harus dibuat agar terasa aman & nyaman untuk meminimalisir dampak negatif teknologi. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak senyum. Senyumnya tentu bukan senyum sinis ya, cukup senyum yang tulus. Tandanya gimana? Senyum yang tulus tuh ciri-cirinya adalah sudut bibir naiknya seimbang, minimal dilakukan selama 7 detik, dan ada kerutan pada sudut mata.

Salah Paham Karena Memang Beda

Terkadang, ada hal yang membuat rumah kurang nyaman karena ada kesalahpahaman antara suami dan istri yang disebabkan oleh hal sepele, misal ketika istri meminta suami mencari suatu barang, suaminya nggak nemuin barang tersebut. Eh pas istri yang nyari, langsung ketemu. Padahal hal itu disebabkan oleh perbedaan biologis, di mana mata pria itu memiliki fokus yang sempit, namun bisa melihat jauh, sementara mata wanita fokusnya luas, tapi jarak pendek. Makanya ketika ayah atau anak laki-laki disuruh mencari barang, seringnya nggak ketemu, padahal barang itu tepat di dalam laci, maka ibu akan langsung menemukan barang tersebut sembari melirik para pria yang gagal menemukan barang dalam laci dengan tatapan yang bermakna "masak gini aja gak ketemu". Hal ini diungkapkan pada sebuah studi pada tahun 2006. Ibu ini memiliki background kedokteran juga padahal, tapi sejak 1992 udah sering bertengkar sama suami gegara hal demikian. Jadi para pembaca wanita, kalua kelak suami atau anak laki-laki kalian gagal menemukanbarang dalam laci, plis, jangan dimarahi ya 🤣

Perbedaan sudut pandang pria dan wanita (secara literal ya, maksudnya bagaimana mata pria dan wanita memandang dunia sekitar), juga menimbulkan permasalahan baru. Kalo dinner sama suami, sitri duduklah di depannya, biar suami fokus ke istri bukan main gawai. Sebenarnya, laki-laki tidak suka komunikasi tatap mata, sementara wanita butuh kontak mata. Makanya kalo komunikasi sama anak laki-laki, jangan paksa tatap matanya ("tatap mata Ojan bunda").

Perbedaan lain adalah mengenai teori bahwa pria mengeluarkan +- 7000kata/hari, sementara wanita +- 20.000. Maka, pantang bicara sama pria panjang lebar di malam hari. Soalnya jatah kata-kata pria sudah habis di tempat kerja, sementara jatah istri masih banyak. Bagus sih kalau suami menyematkan ngobrol sebelum tidur, tapi seringnya sih ketiduran. Untuk mengkompensasinya, makanya di akhir pekan usahain aktivitas bareng biar jatah ngomongnya dipake buat istri aja.

Perbedaan lain ada pada folder khusus pada otak pria dan wanita. Anak laki-laki, bahkan kadang sampe dewasa pun, di pikirannya ada bagian yang gak ada pada wanita, yaitu "games & sport". Sebaliknya, wanita pun memiliki bagian dalam pikiran yang nggak ada di laki-laki, yaitu "belanja" 🤣🤣🤣
Keduanya merupakan pusat kebahagiaan masing-masing, maka pasangan harus saling memahami kebutuhan pasangannya. Suami harus memahami (dan juga memodali) istrinya untuk belanja sebagai salah satu bentuk refreshing. Dan istri juga harus memahami jika suaminya masih suka main game atau berolahraga/menyaksikan pertandingan olahraga (asal tak berlebihan ya Bapak-Bapak).

Komunikasi

Dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua dituntuk untuk selalu menyikapi dengan bijak, meski kadang anak tak berperilaku sesuai keinginan. Jangan sampai orangtua mengucapkan hal-hal negative, karena hal-hal yang kita ucapkan, akan berpengaruh kepada apa yang dilakukan oleh anak. Maka orangtua perlu menggunakan pola komunikasi yang memfokuskan pada hal-hal baik yang diinginkan dari anak. Seringkali ketika orangtua mengucapkan hal yang buruk yang dibenci/tidak diharapkan dari anak, malah hal itulah yang dilakukan oleh anak.Misalnya:
"Kamu kalo main game lama banget", maka jadinya si anak beneran doyan nge-game.
"Disuruh sholat susah banget", akhirnya malah susah sholat (naudzubillah).
"Jangan ngegym nnti jadi homo", malah anaknya jadi homo (naudzubillah).
"Jangan ngrokok/tawuran/narkoba" malah suka merokok/tawuran/kena narkoba (naudzubillah).

Alih-alih menyebutkan hal negatif pada anak, gunakan Bahasa lain seperti "kalo main hati2 ya, kalo ad yg gay/rokok/narkoba/tawuran, hindari/jauhi".


Orangtua harus membuat komunikasi nyaman dengan anak, supaya kalo ada apa-apa, mereka lapor ke orangtua, bukan ke orang lain.

Selaras

Dalam membesarkan anak, suami istri kudu selaras. Idealnya, semakin lama durasi pernikahan, suami istri makin selaras. Makannya sama, tinggal bersama, melakukan hubungan badan, makin sering, makin selaras.

Sementara dalam hal ibu dan anak, di mana seringkali perasaan dan pikirannya deket banget sama anaknya, (bisa jadi) disebabkan oleh dominannya sifat sang ibu yang menurun pada anak. Tak hanya menurunkan 50% kromosom pada anak, ibu juga menurunkan DNA mitokondria (organel yg bertugas mencerna glukosa menjadi energi) pada anak. Hal ini selaras dengan ajaran Islam, di mana ibu lebih diutamakn dari bapak, karena tak hanya mengandung, melahirkan dan menyusui anak serta dominan dalam membesarkan anak (meski peran ayah dalam mengasuh anak juga tak boleh dikesampingkan, juga peran sebagai pencari nafkah yang utama), rupanya DNA mitokondria anak juga diturunkan dari ibu.

Nah, bisa jadi karena hal itu pula lah, omongan ibu tuh lebih berpengaruh ke anak. Apa yang ibu pikir/rasa tentang anak, itu pulalah yang dilakukan. Kalau di Jawa, ada istilah ibu itu malati (membuat kualat, kalau anaknya tak nurut). Maka doakan anak dengan nama lengkapnya sekaligus nasabnya biar lebih afdol, serta bayangkan wajahnya.

Di satu sisi, ini membuat ibu harus mengatakan yang baik tentang anaknya. Di sisi lain, suami kan DNA mitokondria-nya menurun dari ibunya, maka maka para istri harus deket sama ibu mertua juga, supaya doa ibu mertua baik pada anaknya (yang notabene adalah suami dari para istri).

LGBT

Nah, karena topik ini lebih serius, insyaAllah akan dibahas dalam postingan lain yang lebih fokus. Stay tuned ya . . .

Komentar