Cagar Budaya Indonesia: Arca Kembar Dwarapala, Sang Penjaga Kerajaan Singasari yang Ternama

Setengah sepuluh pagi, posisi mentari sudah cukup tinggi di kawasan Singosari, sebuah kecamatan di bagian utara Kabupaten Malang, Jawa Timur.  Hari itu cerah dan panas, suasana yang tak diharapkan oleh para peserta upacara Hari Pahlawan. Namun Fia dan suaminya sudah terlanjur berjanji pada Mila, anak mereka yang belum genap tiga tahun usianya, bahwa pagi ini mereka akan berjalan-jalan ke Arca Dwarapala.

Orangtua Fia memang tinggal di wilayah sekitaran situs purbakala tersebut, bahkan rumah tinggal mereka berbatasan dengan dinding pembatas Candi Singosari. Maka saat tengah liburan di kampung halaman, Fia dan suaminya berinisiatif mengajak anak mereka melihat-lihat kondisi situs bersejarah tersebut. 

Kecamatan Singosari, sebagaimana namanya, dulunya merupakan bagian dari sebuah kerajaan bernama sama, kita semua pasti pernah mendengar kisahnya pada mata pelajaran sejarah. Tak heran jika banyak peninggalan Kerajaan Singosari yang kini menjadi destinasi wisata purbakala di sana. Candi Singosari adalah yang paling terkenal, yang menjadi salah satu ikon wisata Kabupaten Malang. Terletak tak jauh dari sana terdapat sepasang patung raksasa berwujud Dwarapala. Ke arah utara terdapat stupa dan pemandian Sumberawan, sementara di arah timur laut yang kini terpisah oleh jalan raya provinsi, terdapat petirtaan Watugede yang rimbun dan menyegarkan. 

Mila yang selalu semangat ketika diajak berjalan-jalan, mulai mengoceh.

"Acca? Apa itu bunda?", tanya Mila polos dengan logat balitanya yang khas.

"Arca itu patung besar nak, dulu bunda sering main ke situ", jawab Fia, merujuk pada sepasang patung andesit berukuran raksasa yang menggambarkan Dwarapala, makhluk mitologi dalam budaya Hindu-Budha. Menurut para ahli, arca biasanya menjadi penanda gerbang kerajaan atau bangunan suci, bertindak seolah menjadi sang penjaga.
Sang penjaga yang kini tanpa penjaga

Pagi itu, mereka berjalan-jalan agak kesiangan menuju tempat sepasang patung raksasa itu bersemayam. Kondisi Arca Dwarapala agak berbeda dengan tiga objek lainnya. Candi Singosari, Stupa dan pemandian Sumberawan, serta Petirtaan Watugede, semua memiliki penjaga dari Dinas Pariwisata Kabupaten Malang. Sementara kedua Arca Dwarapala yang posisinya berdekatan dengan candi, seolah terisolir sendiri tanpa penjaga. Kedua arca yang terpisah sekitar 40 meter oleh jalan raya Candirenggo. Masing-masing arca dikelilingi pagar kawat, namun kini tak pernah dibuka gerbangnya.
Mila dan arca

"Yaah, pagarnya ngga bisa dibuka Nak", ujar Fia kecewa setibanya di sana. Mila hanya bisa melihat arca dari luar pagar.

"Emang dulu bisa dibuka Bun?", tanya suaminya.

"Dulu tuh dibuka, aku sering main dakon di sana sama teman-teman, sore-sore pas berangkat atau pulang ngaji", jawab Fia.

"Bawa dakon sambil ngaji? Sempet-sempetnya Bun", goda suami Fia.

"Ih bukan Ayah, tapi di sana ada batuan yang ada cekungan-cekungannya, dipakai main dakon", jawab Fia sembari menunjuk batu-batuan dimaksud.

Tentu kali ini mereka tak bisa mengajak Mila bermain dakon di sana, karena gerbang yang mengitari kedua arca entah kapan terakhir kali dibuka. Kini kedua raksasa cagar budaya tersebut hanya bisa diamati dari luar saja.

Terasa sedikit ironis memang, mengingat di jaman dahulu, diduga kedua arca inilah yang menjadi penjaga gerbang istana. Kini mereka yang dipagari, namun tanpa penjaga.

Menyaksikan ukuran kedua arca tersebut, sedikit banyak bakal membuat kita bertanya-tanya. Dengan cara apakah para pemahatnya membuat ukiran yang teramat detil tersebut?

Bayangkan saja, kedua arca tersebut tingginya sekitar dua kali lipat tinggi manusia. Tak nampak adanya sambungan, mengindikasikan bahwa mereka dibuat dari batu andesit utuh. Berbeda dengan aneka patung raksasa yang biasa kita lihat di tempat wisata yang dibangun dengan teknik rangka kawat yang dilapis semen. Patung-patung modern tersebut tidak dipahat, dan bisa saja dibangun berukuran besar dan amat detil, namun tentu tak bisa bertahan begitu lama karena bagian dalamnya kosong.

Berbeda dengan arca peninggalan kerajaan jaman dahulu, yang telah teruji dengan entah berapa abad terpapar sinar matahari yang panas, derasnya guyuran hujan, dinginnya malam (apalagi di daerah Singosari tempo dulu, pasti sejuk sekali), entah berapa kali ada gunung meletus. Namun nyaris tak ada bekas kerusakan berarti di sana.

Menyaksikan kekokohan arca tersebut, mau tak mau membuat kita teringat akan kisah masa lalu kerajaan Singosari yang di masa jayanya membentang dari pesisir timur Sumatera, pesisir timur Semenanjung Malaya, bagian selatan Pulau Kalimantan, seluruh Pulau Jawa, serta sebagian selatan Pulau Sulawesi, Maluku bagian barat, dan sebagian Nusa Tenggara Timur.

Kerajaan besar yang sejarahnya diliputi perebutan kekuasaan berdarah yang kita harapkan menjadi pembelajaran, agar tak terulang oleh anak bangsa di masa depan ketika sedang berjuang meraih posisi di pemerintahan.

Kerajaan yang menentang invasi Mongol dengan cara yang amat berani, yang kita harapkan keberaniannya mampu ditiru oleh para pemimpin negeri saat berhadapan dengan invasi luar negeri dalam bentuk hegemoni ekonomi.

Bicara soal nilai sejarah, Arca Dwarapala memang merupakan peninggalan berharga dari generasi masa lalu yang harus senantiasa kita jaga kelestariannya. Meski ada Dinas Pariwisata yang bertugas mengelola, kita pun sebenarnya dapaat ikut berpartisipasi dalam pelestarian berbagai cagar budaya di Indonesia. Salah satunya adalah dengan mempromosikan cagar budaya tersebut melalui tulisan di dunia maya, agar makin banyak wisatawan yang berkunjung ke sana dan ikut mengenangnya.

Untuk memotivasi agar banyak penulis yang mengabadikan cagar budaya Indonesia dalam tulisan di dunia maya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerjasama dengan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) menyelenggarakan sebuah sayembara menulis di blog, dengan tema “Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah”. Caranya gampang banget, ikuti saja panduan pada poster yang berada di bagian bawah artikel ini.

Yuk para penulis, kita lestarikan cagar budaya Indonesia, agar tak musnah dilekang zaman yang terus berubah. Kalau bukan kita, siapa lagi?






Komentar