Wujudkan Cita-Cita Sisdiknas Demi Keunggulan SDM dan Produktivitas Nasional

Indonesia dengan penduduk sebanyak 271 juta jiwa, diperkirakan akan mengalami puncak bonus demografi pada periode 2020-2030. Bonus demografi merupakan kondisi di mana jumlah penduduk berusia produktif (15-65 tahun) lebih banyak daripada penduduk berusia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Secara teoretis hal ini dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Namun jika tidak dipersiapkan dengan baik, hal ini justru berpotensi menimbulkan kelebihan tenaga kerja dibanding lapangan kerja yang ada. Hal ini pada gilirannya  dapat menyebabkan pengangguran yang berakibat pada meningkatnya kemiskinan.

Fenomena ini menuntut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) berusia produktif yang andal agar dapat berkontribusi positif kepada pertumbuhan ekonomi alih-alih menjadi beban negara. Persiapan menghadapi bonus demografi telah disinggung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019. RPJMN 2015-2019 memaparkan 6 bidang pembangunan dan 23 kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah demi mengoptimalkan peluang ini. Berikut kebijakan-kebijakan tersebut sebagaimana disadur dari RPJMN 2015-2019:

Kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan bonus demografi, sebagaimana dikutip dari table 3.1 RPJMN 2015-2019

Bonus Demografi sebagai isu strategis kembali dipertegas dalam RPJMN 2019-2014. Beberapa hal yang diberikan penekanan lebih adalah sebaran spasial bonus demografi, di mana setiap provinsi memiliki periode yang tidak sama, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Selain itu, kesesuaian kualitas SDM yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokasi tertentu, akan menjadi faktor penghambat pemanfaatan bonus demografi.



Presiden terlantik pun juga mengungkapkan bahwa pembangunan SDM merupakan prioritas pertama program kerja Presiden periode ini, sebagaimana diungkapkan dalam pidato resmi saat pelantikan beliau. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin negeri ini memiliki pandangan yang selaras terkait dengan hal ini. Di mana ungkapan "the man behind the gun" dirasa masih relevan dengan fenomena ini. Untuk mewujudkan pemanfaatan bonus demografi yang optimal, penulis mengusulkan strategi yang berdasarkan pada tujuan Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana amanat Undang-Undang. Pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan dari Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Berdasarkan tujuan Sisdiknas sebagaimana dijelasakan di atas, penulis mengelompokkan kriteria SDM unggul menjadi tiga dimensi yaitu sebagai berikut:
  • dimensi spiritual: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
  • dimensi kapabilitas: sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
  • dimensi kebangsaan: menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Penulis memiliki ide bahwa kita perlu memodifikasi sistem pendidikan yang ada saat ini agar relevan dengan tujuan dari Sisdiknas tersebut. Harapannya, ketika cita-cita Sisdiknas terpenuhi, SDM kita menjadi lebih produktif dan perekonomian negara menjadi tangguh. Mari kita bahas satu persatu ketiga dimensi di atas berikut analisis dampaknya.

1. Dimensi Spiritual

Krieria pertama, adalah Sisdiknas harus dapat membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki akhlak mulia. Hal ini sejalan dengan Sila Pertama Pancasila, yang mengharuskan setiap Warga Negara Indonesia untuk berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak hanya diwujudkan dalam ibadah ritual, namun juga ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. 

Kebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan SDM unggul dalam dimensi spiritual adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas Pendidikan agama bagi setiap Warga Negara Indonesia, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Penulis beranggapan bahwa banyak permasalahan di negara ini adalah buah dari rendahnya pemahaman dan penerapan ajaran agama oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita ambil contoh, salah satu perbuatan yang paling merusak di negeri ini: korupsi. Kita yakini bahwa tidak ada satu agama pun yang diakui di Indonesia yang menyatakan bahwa korupsi, apapun istilahnya, adalah perbuatan yang baik. Korupsi adalah perbuatan yang dianggap buruk oleh setiap agama yang diakui di Indonesia, namun mengapa setiap waktu kita menyaksikan pejabat negara yang terjerat kasus korupsi? Dan ironisnya, kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka semua terisi; artinya mereka adalah orang yang beragama. Namun sayangnya, banyak di antara mereka merasa bahwa beragama cukuplah diwujudkan dalam berkas administrasi kependudukan, ibadah-ibadah ritual yang dilakukan, serta simbol-simbol yang dikenakan. Tanpa perlu penerapan dalam keseharian, dalam hubungan sesama manusia, lebih-lebih dalam kehidupan bernegara. 

Pendapat penulis, mata pelajaran Agama di Indonesia perlu mendapat perhatian lebih, dalam bentuk tambahan jam pelajaran di sekolah dasar, menengah, maupun kuliah, dengan tambahan fokus pada teladan, akhlak, serta penerapannya pada hubungan sesama manusia. Tidak perlu dilakukan pemisahan antara kehidupan beragama dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena seharusnya orang yang baik ibadahnya, seharusnya baik pula akhlaknya pada sesame manusia, serta berintegritas ketika menjalankan peran bernegara. Peningkatan pemahaman beragama, yang mencakup pemahaman bahwa agama tak hanya berupa ibadah ritual dan simbol-simbol yang dikenakan namun juga nilai-nilai kebaikan universal, jika diterapkan dengan baik bahkan dapat menghapuskan permasalahan radikalisme dan toleransi. Ketika setiap pemeluk agama dapat menjalankan ibadah dengan tenang, serta menerapkan nilai-nilai kebaikan universal, maka seharusnya tercipta kedamaian dan toleransi di masyarakat, serta dalam kehidupan bernegara. Tema-tema yang dapat dimasukkan dalam dimensi spiritual antara lain:

  • pendidikan agama dasar yang memuat perihal keyakinan dan ibadah masing-masing agama;
  • Pendidikan agama terapan, yang memuat nilai-nilai kebaikan universal yang diajarkan oleh masing-masing agama, yang dihubungkan dengan kondisi dan permasalahan di masyarakat saat ini. Semisal, permasalahan korupsi yang dikaitkan dengan nilai-nilai kejujuran dan menjaga amanah, permasalahan kejahatan seksual yang dikaitkan dengan ajaran menjaga pandangan dan menutup aurat pada ajaran Islam, permasalahan ekonomi kapitalis yang dikaitkan dengan konsep muamalah dan adab berjual beli, dan sebagainya; serta
  • pengetahuan umum agama, yang mencakup sejarah, tokoh-tokoh, dan peninggalan sosio-kultural agama tersebut


2. Dimensi Kapabilitas

Dimensi kedua, Sisdiknas harus dapat membentuk SDM yang sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri. Penulis membagi dimensi ini menjadi tiga unsur, yaitu sehat, berilmu dan cakap, serta kreatif dan mandiri.

Mewujudkan SDM yang sehat perlu didukung dengan kurikulum Pendidikan Jasmani dan Kesehatan yang memfokuskan pada Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), bukan memaksa para peserta didik untuk cakap dalam berbagai bidang olahraga. Bayangkan, di mata pelajaran Penjaskes para peserta didik dituntut untuk mampu bermain bola sepak, bola voli, bola basket, atletik, dan sebagainya. Bukan mengesampingkan olahraga permainan berbasis kompetisi dan prestasi. Olahraga permainan memang mengajarkan kerjasama tim dan sportivitas. Hanya saja, hal ini membuat tak jarang peserta didik ogah berolah raga karena ketidakmampuan mereka. Cukuplah olahraga permainan tadi menjadi kegiatan ekstra kurikuler pilihan, bagi mereka yang memang memiliki kelebihan dalam kecerdasan kinestesiknya. Sementara kurikulum standarnya, haruslah berbicara ke kesehatan diri dan lingkungan. Tema-tema yang dapat dimasukkan dalam unsur sehat dalam dimensi kapabilitas antara lain:
  • pertumbuhan dan perkembangan fisik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, agar para peserta didik dapat menyadari kondisi tubuhnya, terutama bagi para remaja yang mengalami perkembangan fisik yang drastis;
  • pertolongan pertama pada kecelakaan, diperlukan sebagai pemahaman dasar keselamatan diri dan bagaimana menolong orang lain dalam situasi kecelakaan;
  • pendidikan seksual, agar menyadarkan para peserta didik akan bahaya kejahatan seksual. kita sadari bahwa banyak terjadi kejahatan seksual di mana korban (terutama balita dan anak-anak) yang tidak mengetahui bahwa dirinya menjadi korban; 
  • risiko lingkungan, yang membahas dampak negatif lingkungan yang tercemar terhadap kesehatan untuk menanamkan kesadaran menjaga lingkungan;
  • pengenalan risiko penyakit tidak menular, yang mengenalkan peserta didik pada berbagai penyakit tidak menular beserta penyebab dan dampaknya;
  • gaya hidup sehat, membahas pola hidup bersih, jauh dari rokok/minuman beralkohol/narkoba/seks bebas, pentingnya kegiatan fisik rutin, pengelolaan strees, serta aspan gizi dan durasi istirahat yang cukup;
  • aktifitas fisik rutin minimal dua kali sepekan, dalam bentuk kegiatan luar ruangan yang bertujuan untuk membiasakan peserta didik untuk hidup aktif; serta
  • olahraga permainan yang bersifat kompetitif, tetap diadakan namun bersifat sebagai kegiatan tambahan/ekstra kurikuler. Prestasi dalam kegiatan tersebut haruslah diakui untuk menambah nilai peserta didik, meskipun bukan sebagai penilaian yang diwajibkan bagi seluruh peserta didik.
Mewujudkan SDM yang cakap dan berilmu, seharusnya memperhatikan kondisi dan kekhasan masing-masing daerah. Semisal, suatu daerah dengan potensi keunggulan sumber daya laut, perlu memiliki kurikulum lokal yang fokus pada keunggulan daerah tersebut. Daerah lain dengan potensi keunggulan di bidang pertanian, perlu memiliki kurikulum lokal dengan muatan pertanian. Diharapkan, kekhasan kurikulum ini membuat masyarakat lokal dapat mengoptimalkan potensi daerah masing-masing. Ketika masyarakat di suatu wilayah mampu mengelola potensi keunggulan wilayah mereka, diharapkan sense of belonging masyarakat setempat dapat berperan dalam menambah daya saing wilayah tersebut. Mengingat setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan dan potensi keunggulan yang berbeda-beda, maka diperlukan pendekatan bottom-up dari setiap wilayah dalam penyusunan kurikulum Pendidikan nasional. Di sini, instansi pemerintah yang berwenang, pengusaha swasta yang bisnisnya memanfaatkan keunggulan daerah tersebut, ataupun perwakilan Kadin Indonesia di wilayah tersebut, dapat ikut berperan dalam memberikan usulan. Tujuannya agar pihak-pihak yang mengetahui potensi dan keunggulan daerah tersebut dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga memberikan dampak yang positif bagi perekonomian maupun masyarakat sekitar. 

Namun demikian, agar ilmu yang didapatkan oleh para peserta didik relevan dengan kondisi saat ini, tetap harus diperhatikan kebutuhan global sebagai syarat minimal kemampuan peserta didik. Oleh karena itu, tetap dibutuhkan kurikulum dasar yang bersifat nasional sebagai bekal ilmu dan kecapakan yang bersifat umum, dengan dilengkapi oleh ilmu dan kecapakan yang sesuai kondisi khas setiap daerah. Tema-tema yang dapat dimasukkan dalam unsur berilmu dan cakap dalam dimensi kapabilitas antara lain:

  • pengetahuan matematika dasar, sebagai dasar kemampuan berpikir analitis dan logis peserta didik;
  • pengetahuan dan keterampilan bahasa dan komunikasi, yang menekankan pada kemampuan linguistik dan literasi para peserta didik, yang difokuskan pada menumbuhkan budaya literasi, melatih kemampuan praktis dalam menerima dan menyampaikan informasi dalam berbagai media, baik lisan maupun tertulis, baik dengan Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya;
  • pengetahuan teknologi dasar yang dibutuhkan mengingat betapa teknologi amat berperan dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan, terutama teknologi komputer dan teknologi teknologi informatika yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Perlu dikenalkan bahaya dan risiko atas penggunaan berlebihan akan gawai berteknologi, terlebih di era kebebasan informasi seperti saat ini;
  • pengetahuan umum dasar, yang membahas berbagai pengetahuan populer yang bakal diperlukan oleh para peserta didik di era global. Semisal, pengetahuan tentang berbagai negara dan budaya asing, sejarah tokoh-tokoh inspiratif, pengetahuan alam dan pengaruhnya pada kehidupan manusia, berbagai sistem ekonomi dan ideologi politik, serta peristiwa-peristiwa penting berskala global, serta kondisi dunia internasional. Hal ini diperlukan karena di konektivitas global ini, seluruh masyarakat di setiap negara bisa ikut merasakan dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi di belahan dunia lain;
  • kurikulum kekhasan daerah, yang membahas kondisi wilayah peserta didik, potensi, tantangan, sejarah, budaya dan bahasa, pemerintahan, dan lain sebagainya. Hal ini untuk menumbuhkan sense of belonging peserta didik akan daerah mereka, sehingga diharapkan mereka dapat tergugah untuk memajukan wilayah masing-masing; serta
  • keterampilan komunikasi publik dan psikologi dasar, sebagai pengantar bagi para peserta didik untuk menumbuhkan dan memahami empati/simpati, pengendalian emosi, kemampuan menyampaikan pendapat di muka umum, menerima perbedaan pendapat, serta pemahaman akan manusia sebagai individu yang unik.
Tema-tema di atas menjadi tema wajib yang diajarkan, sementara materi tambahan dapat dipilih oleh peserta didik yang menginginkan pendalaman di area tertentu, yang dapat mencakup namun tidak terbatas pada:
  • ilmu biologi, fisika, kimia, ekonomi, sosiologi, bahasa asing tambahan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai minat;
  • keterampilan seni rupa, seni musik, seni tari, seni drama, menjadi alternatif kegiatan peserta didik (ekstra kurikuler) di mana peserta didik dibebaskan untuk memilih ekspresi seni yang paling cocok untuk dirinya;
  • Keterampilan teknik informatika, teknik elektro, tata boga, tata busana, pertanian dan budidaya, teknik permesinan ringan/berat, keperawatan, farmasi, serta berbagai keterampilan teknik lain yang lebih spesifik dapat menjadi tambahan pengetahuan secara terbatas bagi peserta didik pada sekolah menengah non-teknik. Tentu, peran Sekolah Menengah Kejuruan dalam memberikan pengetahuan teknik dan keterampilan tidak dapat digantikan oleh Sekolah Menengah Umum, di mana keduanya ditujukan untuk tujuan yang berbeda namun saling melengkapi. Untuk wilayah dengan spesialisasi tertentu, pemerintah dapat mendukung dengan menyiapkan sekolah teknik yang terspesialisasi, misal jurusan perikanan, perkebunan, kehutanan dan lingkungan, dan lain sebagainya.
Mewujudkan SDM yang kreatif dan mandiri dilakukan melalui kegiatan pembekalan suatu unsur kecerdasarn yang masih jarang dibahas, yaitu adversity quotient. AQ mengukur kemampuan individu dalam menghadapi masalah dan tekanan dalam kehidupan nyata. Kecerdasan ini dapat dilatih melalui organisasi, atau ketika menghadapi kesulitan nyata. Selama ini ada kecenderungan bahwa para peserta didik yang mengikuti kegiatan berorganisasi akan memiliki AQ yang lebih baik daripada mereka yang tidak terlibat organisasi samasekali. Namun, tidak semua peserta didik dapat menjadi anggota organisasi, atau mereka mengikuti organisasi namun tidak menjalankan peran vital/sekedar mencantumkan nama sebagai anggota organisasi. Demi pemerataan ilmu, penulis menyarankan agar peserta didik diajarkan materi ini pada materi keterampilan komunikasi publik dan psikologi dasar, atau dengan mengoptimalkan peran guru Bimbingan Konseling yang lebih sering memiliki citra 'khusus untuk menangani anak bermasalah'. Sekolah dapat memfasilitasi dengan mengadakan tes Adversity Response Profile di awal tahun ajaran dan akhir periode tertentu. Berbagai organisasi kesiswaan seperti OSIS, MPK, Pramuka, Pecinta Alam dan sebagainya, dapat menjadi ajang pelatihan bagi para peserta didik dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Peserta didik dengan AQ rendah, meskipun memiliki ilmu dan kecakapan, akan minim inovasi, kreasi dan adaptasi dalam menghadapi perubahan kondisi dan tantangan sekitar. Peningkatan AQ peserta didik diharapkan akan mampu menhasilkan peserta didik yang mandiri, kreatif, inovatif, solutif dan adaptif terhadap perubahan dan lebih mampu bersaing di dunia kerja maupun bisnis.

3. Dimensi Kebangsaan

Untuk dapat mewujudkan SDM yang demokratis yang bertanggungjawab, peserta didik haruslah mendapatkan pemahaman mengenai ideologi dan dasar negara, pola pemerintahan dan wawasan kebangsaan. Tema-tema yang dapat dimasukkan dalam dimensi kebangsaan antara lain:
  • Butir-butir Pancasila dan penerapannya, sebagai pengingat bagi para peserta didik akan nilai-nilai luhur yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa;
  • sejarah perjuangan bangsa, sebagai pengingat bagi para peserta didik akan beratnya perjuangan para pendahulu dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan;
  • sejarah kerajaan nusantara, sebagai pengetahuan tambahan akan kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan di nusantara sebelum era persatuan; dan
  • pengenalan hukum dan pola pemerintahan untuk mengenalkan bagaimana negara ini dikelola mulai dari level pemerintahan dengan lingkup terkecil (RT) dan instansi apa saja yang ada di dalamnya, serta berbagai peraturan yang berlaku di masyarakat dan akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Agar menarik, materi ini haruslah membahas hal-hal yang terkait dengan keseharian peserta didik disertai praktek langsung atau kunjungan lapangan agar peserta didik memahami proses bisnis instansi pemerintah. Misal, sosialisasi peraturan bagi pengguna jalan raya, peraturan pemerintah terkait bersosial media, mengurus perizinan ke instansi pemerintah, peran instansi tertentu yang dikemas dalam "hari profesi" yang dapat difasilitasi oleh para alumni yang bekerja di instansi tertentu, dan sebagainya.
Dengan strategi pendidikan sebagaimana penulis paparkan di atas, diharapkan dapat menghasilkan SDM unggul yang memiliki kesesuaian terhadap kekhasan setiap wilayah dan mampu mengembangkan potensi dan daya saing perekonomian daerahnya. Entah melalui inovasi produk lokal yang dikenal secara global, ataupun menjadi pelaku usaha yang membantu pengentasan kemiskinan di wilayahnya. Hal ini pada gilirannya, diharapkan dapat mendorong peningkatan produktivitas nasional.

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini Indonesia mengalami defisit perdagangan yang salah satu penyebabnya adalah rendahnya nilai ekspor produk nasional. Jangankan Berjaya di ekspor, banyak produk nasional yang bahkan kalah saing di dalam negeri. Belum lagi membicarakan pendapatan per kapita kita yang belum beranjak dari middle income trap. Kualitas SDM unggul, sekali lagi, diharapkan dapat menghasilkan solusi-solusi kreatif yang mampu mengerek produktivitas nasional, dan membantu pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya.

Saat ini, Indonesia menjadi pasar yang dibanjiri oleh produk-produk dari berbagai belahan dunia. Mungkinkah di masa depan, kontainer berisi produk-produk dari Indonesia lah yang akan membanjiri pasaran dunia?

Komentar

Posting Komentar

Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)

Nuwus . . .