Pandemi Sak Karepmu, Kapan Kelar Sak Karepe Gusti Allah

Sebenarnya, penulis sudah mulai ogah bahas pandemi. Maklum, warga +62 memang tambeng. Coba lihat saja di sekeliling kita, berapa banyak yang patuh prokes 5M.

Perlu diingatkan lagi kali ya? 

Memakai masker

Menjaga jarak

Mencuci tangan

Menjauhi kerumunan

Mengurangi mobilitas

Coba, banyak mana, yang beneran maskernya nutup mulut dan hidung atau yang maskernya cuma buat nutup dagu. Masih banyak pula yang gak maskeran keluyura, foto-foto pula.

Coba, banyak mana, yang beneran jaga jarak atau yang bebas lepas tanpa batas, mepet-mepetan meski kondisi lowong lengang.

Coba, banyak mana, yang beneran cuci tangan/pakai desinfektan lain atau malah sama sekali ngga ada peralatan pertahanan semacam itu?

Coba, banyak mana, yang beneran menjauhi kerumunan atau yang dengan sadar malah menjadi bagian dari kerumunan?

Coba, banyak mana, yang beneran mengurangi mobilitas atau malah mikirin gimana cara ngakalin pembatasan sosial dan bahkan mikirin mudik meski gak ada urgency.

Seriously, pandemi ini bikin capek Gaes. Penulis pun pengen ke mana-mana gak perlu ribet masker, semprotan tangan, jauh-jauhan sama orang, anteng di rumah aja. Penulis juga pengen semua kembali normal. Penulis juga capek cuci segala barang setiap habis belanja/nerima paket. Banyak protokol kesehatan yang harus dilakukan. Namanya juga ikhtiar kan?

Tapi sekali lagi, warga +62 memang tambeng.

Dari rakyat jelata macam kita-kita sampai penghuni istana, sama saja bagi penulis. Kalaulah rakyat jelata, yang memang harus terpaksa bekerja di luar karena kalau diam dapur gak ngepul, semoga Allah lindungi mereka dan lancarkan rezekinya, agar tetap bisa menafkahi keluarganya di tengah kesulitan ekonomi karena pandemi. 

Namun bagi kita-kita yang lebih beruntung memiliki pekerjaan tetap yang secara ekonomi tidak terdampak pandemi, terlebih memiliki akses informasi dan dilengkapi latar belakang pendidikan yang cukup untuk memilah mana fakta mana penggiringan opini masa, kok rasa-rasanya, kebangetan ya kalau abai dengan protokol kesehatan.

"Roda ekonomi ngga berputar kalau semua kegiatan dibatasi"

Pret.

Bolehkah penulis menuduh, bahwa (ralat: sebagian dari) kalian sebenarnya hanya ingin berperilaku layaknya old normal alias malas mematuhi protokol? Bukan kalian peduli ekonomi, kalian hanya ingin liburan dan keluyuran. 

Tapi tak terbesitkah keinginan kalian, untuk menjaga kesehatan keluarga atau orang terdekat kalian?

Benar memang ekonomi terdampak. Tapi ekonomi siapa? Lalu "aktivitas" kalian yang kalian jadikan dalih untuk ikut menggerakkan ekonomi, sebenarnya menggerakkan ekonomi siapa? Apakah benar ekonomi orang-orang kecil yang paling rentan, yang terbantu dengan aktivitas kalian?

"Lu enak, udah sama keluarga, ekonomi aman. Ngomong mah gampang"

Ya, bisa jadi penulis bias saat mengatakan ini. Kondisi relatif aman meski pandemi. Tentu penulis pun tak sepenuhnya benar, bisa jadi sangat salah, malah. Bisa jadi kalian memang mendukung ekonomi rakyat kecil. Bisa jadi penulis tak melihat fakta seutuhnya. Bisa jadi kegiatan kalian memang amat mendukung ekonomi rakyat kecil.

Tapi bolehkah penulis ingatkan, setidaknya, bisa kah kalian patuhi protokol kesehatan?

Kalian tak akan mati kalau tak posting foto  liburan, kan? Kalaupun berfoto, tak akan mati kalau mengenakan masker, menjaga jarak, kan? Tak akan mati kalau menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas, kan?

Tunggu, jadi sebenarnya siapa yang mati dengan pembatasan sosial ini?

Entahlah. Mungkin memang kita, rakyat jelata yang suka seenaknya baik di dunia nyata maupun dunia maya ini, sungguh layak mendapatkan pemimpin yang suka seenaknya juga. Seenaknya mengganggap pandemi di negeri asing sebagai guyonan.

Corona tak akan masuk Indonesia, karena birokrasi sulit, karena imun kita kuat, karena doa ulama, atau karena apapun, begitu kata mereka. Lawakan kelas warung kopi yang dipertontonkan para pejabat negara yang dibayar dari uang rakyat yang dikumpulkan melalui berbagai pungutan negara.

Penanganan pandemi yang seharusnya penuh rasa hati-hati, malah disepelekan setengah hati. Pembatasan setengah-setengah, wajar saja rakyat pun menganggap "corona apalah". 

Nyatanya? Sudah berapa puluh ribu meninggal, yang tercatat. Sudah berapa juta terpapar, yang tercatat. Apakah datanya akurat? Entah siapa yang bisa jawab dengan tepat. Tapi yakin, jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi, akibat penanganan pandemi yang maha hebat.

Baru-baru saja malah kita disuguhi lawakan tingkat tinggi. Beberapa pimpinan tinggi negara, menghadiri pernikahan tokoh tenar dunia maya. Bagi penulis, sungguh ini adalah preseden buruk dalam babak penganganan corona. Bagaimana tidak, pemimpin tertinggi saja, santai-santai menghadiri kerumunan. Bukan tak ikut gembira dengan menikahnya dua insan. Tapi momentumnya, sungguh tak mengena.

Memang sih, vaksinasi sudah dimulai. Tapi masih lama sekali untuk mencapai herd immunity yang diagung-agungkan. Itupun vaksin tak menjamin 100% kebal corona, maka tentulah protokol kesehatan jangan dilupa. Itupun belum ada vaksin untuk anak-anak, maka tentulah prioritaskan masa depan mereka dibandingkan kesenangan berlibur (yang biasanya juga mengabaikan protokol) yang cuma sejenak.

Sudahlah.

Sak karepmu.

Kita semua berdoa pandemi cepat selesai.

Tapi kelakuan kita secara kolektif (tentu ada segelintir manusia yang masih patuh dengan protokol kesehatan), malah kontra produktif.

Mungkin kita lupa, bahwa jika doa tak diiringi usaha, maka tak bisa berharap banyak akan hasilnya.

Maka jangan heran, kalau kapan corona usai, yo sak karep e Gusti Allah Brai.  

Tak setuju? Sampaikan di kolom komentar dulu.

Meski sejujurnya penulis tak ingin berdebat, karena selain tak bermanfaat, juga sedang puasa jadi sebaiknya energi dihemat. Penulis hanya bisa berusaha menjaga protokol dengan erat, serta berdoa lamat-lamat.

Semoga Allah kuatkan para pekerja kesehatan dan segenap sistem pendukungnya, yang telah berjuang mati-matian (dan banyak yang mati beneran) di tengah pandemi nyata yang dianggap khayalan saja oleh sebagian manusia yang mungkin sudah mati nuraninya. 

Semoga Allah sabarkan kaum ekonomi lemah yang benar-benar terdampak pandemi, agar senantiasa Allah mampukan untuk menafkahi keluarganya.

Semoga Allah lembutkan hati kita, yang masih bisa relatif survive di tengah ketidakpastian ini, agar senantiasa membantu sesama yang membutuhkan, agar senantiasa berikhtiar yang sejalan dengan keilmuan para ahli, agar lekas kelar dampak pandemi ini.

Semoga Allah bukakan hati para pemegang urusan rakyat, agar mereka ingat, bahwa setiap amanat kelak akan dihisab dengan amat cermat. Agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia, karena kebijakan penanganan pandemi yang menggalau laksana remaja putus cinta. Agar mereka mampu merumuskan kebijakan yang tepat, hingga keadaan bisa kembali normal dengan cepat.

Dan semoga Allah beri hidayah untuk kita semua,
bahwa hidup ini tak hanya untuk memuaskan keinginan kita,
bahwa ada hak-hak orang lain di sekitar kita,
bahwa ada pembalasan atas kesalahan-kesalahan yang disengaja,
bahwa sekhidmat apapun doa kita, jika tak diiringi usaha yang searah dengannya, maka akan sia-sia sahaja.

Akhir kata, terima kasih sudah membaca sampai akhir cerita.

Semoga Allah lindungi kita semua. 

Tetap jaga iman, imun dan aman,
serta selama berpuasa, wahai orang-orang beriman.

Komentar