Pengawasan dengan Drone: Inovasi, Urgensi atau Sekedar Latah Teknologi? (2)

Penuh Pertimbangan

Sebagaimana instansi pemerintah lainnya yang menggunakan dana APBN yang dihimpun dari rakyat, DJBC tentu harus mempertimbangkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam setiap aktivitasnya. Bidang pengawasan pun tak dikecualikan dari hal ini. Terlebih terkait dengan pengadaan PUNA yang merupakan hal yang relatif baru dalam dunia pengawasan pada berbagai instansi di Indonesia.

Setidaknya, ada empat aspek yang perlu di pertimbangkan dalam pengadaan PUNA untuk mendukung pengawasan DJBC. Pertama adalah terkait biaya-biaya yang mungkin timbul. Kedua, persiapan apa saja yang diperlukan untuk mendukung operasional PUNA. Ketiga, bagaimana kemampuan operasional PUNA itu sendiri. Keempat, apa saja risiko yang mungkin menjadi hambatan dalam pengoperasiannya.

Bicara soal biaya, tentu tidak hanya membahas satu kali biaya pengadaan PUNA tersebut, namun juga biaya pengoperasian sepanjang usia pakainya. Yang tak boleh dilupakan, tentu biaya perawatan. Jangan sampai aset yang dimiliki, tidak dapat dioperasikan karena minim perawatan dan mengalami kerusakan.Terlebih pada era pandemi, pengetatan anggaran jamak terjadi, sehingga sebisa mungkin, penambahan aset baru jangan sampai membebani baik dari segi perawatan maupun biaya operasi.
 
Mengenai persiapan sistem pendukung, terdapat setidaknya 3 hal yang perlu dilakukan. Pertama adalah persiapan terkait aspek legal, yaitu mengenai dasar hukum, pemenuhan terhadap perizinan yang berlaku hingga ke prosedur standar pengoperasian dan perawatan. Yang kedua, persiapan terkait sarana dan prasarana pendukung fisik, seperti kebutuhan hanggar, bengkel perawatan, dan sistem pendukung lain. Yang ketiga, persiapan terkait kru yang mengoperasikan PUNA tersebut. Setidaknya terdapat 3 kelompok kru untuk operasional PUNA, yaitu teknisi yang memiliki tugas terkait perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; operator yang bertugas menerbangkan; serta observer yang bertugas mengamati dan menganalisa hasil pantauan PUNA.

Ketiga, kemampuan operasional PUNA, yang terdiri dari beberapa parameter. Yang pertama dan terutama adalah jangkauan terbang dan durasi terbang PUNA tersebut, dapatkah memenuhi kebutuhan pengawasan DJBC sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya artikel ini. Kemudian kemampuan melakukan streaming video, yang amat penting dalam pengawasan secara live. Selain itu, bagaimana PUNA tersebut lepas landas dan pendaratan (take off/landing), yang menjadi nilai lebih apabila memiliki kemampuan untuk TO/L dari kapal patroli. Faktor lain, batas maksimum muatan (payload), mempengaruhi berapa banyak bahan bakar dan sensor yang dapat dibawa. Yang terakhir, kemampuan sensor yang dibawa, terutama kemampuan penginderaan malam hari (night vision) dan penguncian terhadap target (target lock).

Terakhir, berbagai risiko yang berpotensi menghambat pengoperasian PUNA. Terdapat risiko kehilangan atau kerusakan aset akibat cuaca buruk. PUNA yang dipakai harus memiliki standar ketahanan terhadap cuaca, sehingga memperkecil kemungkinan kegagalan misi karena faktor cuaca. Meskipun pada akhirnya ada batasan yang tidak dapat dipaksakan mengenai cuaca, semakin robust desain dan konstruksi PUNA tersebut, akan semakin luas rentang operasionalnya dalam berbagai kondisi di lapangan. Keamanan data menjadi hal lain yang patut dipertimbangkan, mengingat data yang dikumpulkan oleh PUNA bisa jadi merupakan data sensitif yang tidak boleh jatuh ke tangan yang salah. Harus dipastikan PUNA yang hendak diakuisisi oleh DJBC memiliki metode pengamanan data agar tidak mudah diambil alih/dicuri datanya oleh pihak yang tidak berhak. 

Pesaing PUNA

Jika DJBC hanya sekedar ingin menghidupkan kembali pengawasan dari udara, sebenarnya terdapat alternatif selain PUNA. Mulai dari mengadakan kembali pesawat udara (baik fixed wing ataupun rotary wing), sewa, atau sekedar joint operation dengan instansi lain yang memiliki pesawat udara. Namun kembali pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan di atas, bisakah alternatif-alternatif tersebut memenuhi kebutuhan DJBC, dengan tetap mempertimbangkan berbagai hal tersebut di atas?

Tentu tak ada opsi yang sempurna, setiap alternatif memiliki keunggulan dan kelemahan dalam aspek-aspek tersebut. Jika disandingkan dengan opsi lain, PUNA memiliki keunggulan dalam beberapa aspek, meski juga patut diakui, kalah telak dalam aspek lain. 
 
Dari segi biaya, pengadaan untuk PUNA tentu lebih murah dibandingkan dengan membeli pesawat berawak; demikian pula dengan kemudahan untuk mempersiapkan segala aspek pendukungnya, dari legalitas sampai kru pengoperasi. Dari segi operasional, pengoperasian PUNA pun lebih murah dibandingkan memiliki pesawat sendiri ataupun sewa pesawat pada maskapai swasta yang bisa mencapai $1.500/jam. Apalagi dari segi responsivitas operasional; gelar operasi PUNA tidak membutuhkan akses ke bandara, sehingga bisa lebih cepat merespon misi seketika dibutuhkan.

Memang, dari segi jangkauan dan durasi operasional, kebanyakan PUNA (kecuali yang masuk pada klasifikasi Group 4 dan 5) bisa dibilang kalah telak dibanding pesawat berawak. Pesawat kelas Cessna 172 bisa terbang hingga 1.000km dengan bahan bakar penuh (sekitar 200 liter). Namun demikian, biaya pengoperasian PUNA pun jauh di bawah pesawat berawak, sehingga dari segi cost efficiency (perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan output yang didapat), masih bisa diadu.
Selain itu, pengawasan dengan menggunakan berbagai sensor terpasang pada PUNA akan menghadirkan dimensi lain pada hasil pengawasan, sehingga lebih kaya data dibandingkan jika hanya menggunakan citra visual oleh kru pada pesawat.

Kesimpulan

Kemampuan teknologi PUNA memang menawarkan potensi yang menggiurkan bagi pengawasan DJBC. Namun perlu diperhatikan mengenai utilisasinya; apakah memang sesuai dengan fungsi pengawasan DJBC? Selain itu, adanya alternatif lain juga mengharuskan DJBC mengakji dengan sungguh-sungguh di antara alternatif yang ada, dengan mempertimbangkan kriteria dari berbagai aspek yang ada. Jangan sampai pengadaan PUNA hanya menjadi ajang adu gengsi dan latah teknologi, namun utilitasnya masih bikin banyak pihak sangsi. Sebagai instansi publik, tentu aspek efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas harus tetap dibahas, agar APBN yang dikumpulkan dengan susah payah dari rakyat, tidak sia-sia dan sungguh memberikan manfaat.

Komentar