Kisah Patih Cadas Nyala dan Nona Pisir

Alkisah di suatu negeri bernama Agnidwipa, sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, rakyat sedang bertaruh hidup dan mati. Sebuah penyakit menular dari negeri antah berantah, mewabah dan membuat perekonomian negeri yang pengelolaannya sudah salah kaprah, menjadi makin lemah. Namun demikian, para patih dan hulubalang raja masih optimis bahwa segalanya akan kembali manis, diiringi pertunjukan dagelan yang dijamin membuat penontonnya menyeringitkan alis.
 
"Kau sudah dengar tentang Patih Cadas Nyala?", tanya Parek, seorang pemuda berbadan ceking agak bungkuk pada kawannya yang berbadan bongsor.

Patih Cadas Nyala adalah seorang pria mulia utusan raja, setidaknya begitulah publik mengenalnya. Ia dipercaya mengelola urusan sosial, termasuk di antaranya membagikan bantuan dari negara bagi rakyat yang perekonomiannya semakin sial. Namun rakyat terkejut dan kehilangan kepercayaan, ketika ia kedapatan menerima rasuah dari para juragan, yang mendapat pesanan paket bantuan bagi rakyat yang membutuhkan. 

"Ah, bedebah betul memang",  jawab Sengar si bongsor. "Padahal ia sudah kaya bukan kepalang, masih juga menerima rasuah yang totalnya senilai dua per tiga kekayaannya sendiri", lanjut Sengar sembari menenggak air langsung dari kendinya. Parek hanya mengangguk-angguk, ia paham jika Sengar sudah minum langsung dari kendi, artinya sedang benar-benar haus atau sudah marah betul. Dan sepagi ini, di saat mereka bahkan belum mengerjakan apapun, tentu Sengar belum benar-benar haus. "Dicopot dari jabatan itu terlalu ringan, harusnya dicopot pula kepala dari badannya itu" lanjut Sengar bersungut-sungut.

"Ssssh, hati-hati kalau bicara, kalau sampai prajurit kerajaan mendengar kalian berkata yang tidak-tidak, bisa-bisa habis kalian", sergah Mak Jarak dari balik meja dapur. Pemilik kedai minum di pinggiran sungai itu melongok ke luar jendela dan melihat ke jalanan yang sepi. Sengar terperanjat dan mengengok kanan kiri. Hanya gemerisik aliran sungai dan desir angin, diiringi suara burung di kejauhan. Sengar mengelus dada dengan lega mendapati bahwa tak ada seorangpun di sekitar warung minum itu. 

"Maaf Mak, dongkol betul aku", selorohnya. Kembali ia menenggak kendinya.

"Kudengar ia dihukum penjara satu setengah windu", gumam Parek. Tangan kurusnya berusaha meraih singkong rebus terakhir yang tersaji di atas piring. Namun tangan Sengar lebih sigap. Parek akhirnya harus puas dengan beberapa butir kacang rebus.

"Ringan betul itu. Tak sepadan dengan banyaknya rasuah yang diterima si bedebah itu", geram Sengar menggebrak meja, membuat Parek terlonjak dan menjatuhkan kacang rebusnya.

"Bayangkan," sungut Sengar, "saking banyaknya kekayaan Patih Cadas Nyala itu, pekerja kelas menengah seperti kita akan membutuhkan waktu sembilan abad untuk menyamainya, itupun kalau semua upah yang kita kumpulkan tidak dipakai". Matanya menyala-nyala. Parek dan Mak Jarak membelalakkan mata. "Dengan kekayaan sebanyak itu, ia masih menerima rasuah sebesar dua pertiganya lagi", gerutu Sengar melanjutkan. 
 
"Itu kalau kalian, kerja tak kerja, juragan kalian rutin mengupah setiap bulan," ledek Mak Jarak. "Kalau macam aku begini, meski sudah tua, setiap hari masih harus repot-repot memasak, mengurus warung kalau mau makan. Itu juga kalau ada pembeli". Sengar dan Parek meringis. Memang Sengar dan Parek cukup beruntung bekerja sebagai kusir cikar salah seorang saudagar besar di Rawikarta, salah satu kota terbesar di Agnidwipa. Meski tidak kaya, upah yang mereka terima cukup bagi mereka untuk hidup layak.

"Makanya kalau juragan tak ada dagangan, sedang senggang, kami ke sini Mak", seloroh Sengar mencairkan suasana kembali sembari terkekeh. "Tambah Mak, singkong dan kacang rebusnya". Ia memesan makanan lagi.

Parek menggumam, "Dan ia hanya dijatuhi penjara selama satu setengah windu". Parek mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai memahami kemarahan warga tempo hari. Saat itu, warga berkumpul di alun-alun sejak pagi, hingga meluber ke jalan utama. Membuat cikar mereka tak bisa kembali ke gudang untuk mengambil barang dagangan juragan. Imbasnya pekerjaan mereka tertunda dan juragan mengomeli mereka.

Mak Jarak menimpali perlahan, "Kudengar, harusnya ia dihukum lebih lama, tapi Dewan Peradilan memutuskan hukuman satu setengah windu." Sengar dan Parek berpandangan, mereka belum mendengar cerita ini. Mata Mak Jarak melirik sekeliling. Hanya terdengar desir angin yang menggerakkan dedaunan dan gemerisik air di kejauhan, pertanda tak seorangpun berada di dekat mereka. "Katanya, Patih Cadas Nyala sudah cukup menderita karena kecaman dan cacian rakyat", bisik Mak Jarak. "Tempo hari ada seorang pekerja Dewan Peradilan yang makan di sini, ia mencuri dengar pembicaraan para hakim saat persidangan", beber Mak Jarak lirih. "Ia bercerita sambil marah-marah, persis seperti Sengar," lanjut Mak Jarak.

Sengar menggebrak meja. Mukanya memerah menahan amarah. "Sudah kuduga, pasti para hakim nista itu disuap juga olehnya", dengus Sengar berapi-api, ludahnya menciprat ke mana-mana. 

"Ya kita tidak tahu betul apa benar demikian", Parek menggumam lirih sembari beringsut menjauh dari Sengar. "Tapi memang hukuman itu tidak sebanding dengan kesalahannya. Apalagi ia seorang patih" sambung Parek.
 
"Ya jelas tidak adil. Tapi memang ada yang tidak beres dengan Dewan Peradilan," racau Mak Jarak. "Kalian ingat kasus Nona Pisir?" lanjutnya berbisik meletakkan singkong rebus di meja. Kali ini Mak Jarak ikut duduk dan mengobrol.
 
Kasus Nona Pisir adalah suatu dagelan yang muncul ke publik beberapa waktu silam. Dengan nama yang mengingatkan pada bagian pembidik pada busur silang atau teropong, publik berharap bahwa Nona Pisir akan membidik tajam para pelanggar hukum, sesuai pekerjaannya sebagai pendakwa dalam Dewan Peradilan. Namun apa daya, sang pendakwa malah menerima rasuah dari seseorang yang seharusnya ditangkapnya. Padahal ia sudah cukup kaya. Dalam bahasa sederhana, pekerja kelas menengah macam Sengar dan Parek membutuhkan sekitar satu setengah abad untuk bisa sekaya Nona Pisir. Harta rasuah yang diterimanya? Nyaris sama dengan harta yang sudah dimilikinya. Dan ia hanya dituntut penjara 4 tahun setelah itu semua, dengan alasan ia memiliki putri berusia 4 tahun yang membutuhkan kasih sayang. 
 
Parek hanya tersenyum kecut. "Lucu betul dagelan negeri ini", sinisnya.
 
"Ha, persetan dengan kasih sayang bagi keluarga pelaku rasuah," amarah Sengar membuncah. "Makhluk tak bermoral macam mereka tak sepatutnya mendapat hak-hak dasar manusia, karena mereka telah merampas rasa keadilan dan mengkhianati amanat oleh raja, negara dan pada gilirannya, seluruh rakyat," dengus Sengar terengah-engah hingga berdiri dari kursinya, membuat Parek dan Mak Jarak ternganga. Tak disangka, Sengar yang biasanya hanya membicarakan kemolekan anak gadis juragan, atau mau makan apa sepulang dari mengantarkan barang juragan, rupanya bisa bicara soal moral dan keadilan.

"Andai saja aku raja di negeri ini, para penerima rasuah tak akan lagi memiliki hak untuk hidup. Seluruh harta yang dikumpulkan dari rasuah harus disita dan dibagikan kepada rakyat jelata, utamanya mereka yang menjadi korban rasuah itu. Ditambah denda senilai harta yang didapatnya dari rasuah, untuk kas negara. Seluruh keluarganya tak lagi mendapat hak-hak warga negara. Pelaku utamanya? Tak perlu dipenjara, karena mereka nanti akan menyuap petugas penjara dan tetap bisa menikmati perlakuan istimewa," cerocos Sengar panjang lebar. 
 
"Lalu apa hukumannya?" tanya Mak Jarak dan Parek nyaris bebarengan. Selain keheranan dengan orasi moral Sengar barusan, mereka juga bertanya-tanya hukuman apalagi yang pantas bagi penerima rasuah di negeri ini. 
 
Sengar terkekeh. "Aku punya ide cemerlang," ujarnya girang. "Tak perlu penjara, cukup jebloskan saja mereka ke taman margasatwa, di mana harimau, beruang dan buaya yang kelaparan akan dengan senang hati menyambut mereka.
 
Mak Jarak dan Parek kompak tertawa. Memang sejak penyakit aneh ini mewabah di Agnidwipa, anggaran negara banyak dipangkas untuk membiayai pengobatan rakyat. Salah satunya adalah anggaran pemeliharaan satwa pada taman margasatwa. Bahkan di beberapa kota, muncul desas desus bahwa banyak satwa yang meninggal karena kelaparan. Mungkin saja, anggaran negara untuk memelihara satwa dikorupsi oleh orang-orang bermental macam patih Cadas Nyala dan Nona Pisir? Tidak ada yang tahu pasti. 

Cadasnyala, adalah salah satu bahan tambang yang banyak ditemukan di Agnidwipa
(sumber gambar di sini)

Yang mereka tahu, Patih Cadas Nyala yang memiliki kekayaan setara upah sembilan abad bagi pekerja kelas menengah di Agnidwipa, entah dari mana kekayaan itu didapatnya. Yang mereka tahu, Patih Cadas Nyala  menerima rasuah senilai upah enam ratus abad, entah berapa banyak yang mereka tak tahu. Yang mereka tahu, hukuman penjara bagi Patih Cadas Nyala hanya selama satu setengah windu, entah apa pemikiran Dewan Peradilan memutuskan itu.

Yang mereka tahu, kisah Patih Cadas Nyala atau Nona Pisir, hanyalah sebagian dari ketidakadilan di negeri nan gemah ripah loh jinawi ini.

Yang tidak mereka tahu? Entah berapa banyak lagi yang mereka tidak ketahui . . .

Komentar