Semua Sudah Diatur

Ardi mencoba menenangkan dua balitanya, memastikan bahwa bunda mereka akan segera kembali. Tapi mereka berdua semakin kencang menangis. 
"Aku mau sama Bunda", ujar si sulung Mila. 
"Bu..ahh..bu..ahh", si bungsu Izmi yang belum lancar betul bicaranya juga ikut menangis sembari menjulurkan tangannya ke arah aula yang ramai itu, mencoba meraih bundanya yang seolah hilang ditelan kerumunan. Mila meraung dan merajuk di atas rerumputan, sementara Izmi menggeliat dalam gendongan, membuat Ardi kewalahan. Sejenak matanya melirik ke arah kerumunan, berharap istrinya kembali. Namun tak bisa, ini sudah keputusan mereka bersama. Mereka sudah memutuskan ini jauh-jauh hari, dan sudah siap akan segala risikonya. Bagi mereka, lebih baik menanggung sedikit rasa sakit saat ini dibandingkan dengan penyesalan yang mereka dapatkan nanti jika tak melakukan hal ini.
***
Di dalam antrian, Fia menggeleng tak percaya.
Perjuangan mereka sejauh ini terasa sia-sia.
"Tidak bisa Bu, kami tidak berani melakukan ini", ujar petugas ber-APD itu kukuh.
"Tapi Bu, saya tidak pernah mengalami gejala yang parah karena ini, kok. Masa ngga bisa sih?", pinta Fia memohon.
Ibu itu menggeleng. "Sebaiknya ibu ke faskes terdekat saja Bu, kami khawatir kalau terjadi KIPI yang parah sampai anafilaktik, peralatan yan kami bawa tidak mencukupi", jawab petugas itu tak bergeming. 
Fia kecewa. Ia melangkah gontai ke luar aula. Matanya nanar mencari suami dan kedua anaknya.
***
Setengah jam yang lalu, di sebuah kontrakan sederhana di wilayah timur ibukota, sepasang suami istri dengan dua anak mereka tengah bersiap pergi.
"Sudah siap semua, Bunda?", tanya Ardi pada Fia, istrinya dari atas motor.
Fia mengecek tasnya. Berkas persyaratan mengikuti vaksin, sudah. Bekal camilan anak-anak, sudah. Dompet, ponsel dan spray alkohol, sudah. Fia mengangguk. Ia mengunci pintu lalu bergabung dengan suami dan kedua anak mereka yang telah berada di atas motor. 
"Bismillah, namanya juga ikhtiar ya Yah", ujar Fia.
"Iya Bunda, meski vaksin ngga bikin kita kebal corona, seenggaknya kalopun kena, naudzubillah, mengurangi efek keparahannya", jawab Ardi sembari menyalakan motor tuanya. 
"Mbak dan Adek siap?", tanyanya pada kedua balita mereka, diikuti pekikan "Ready. . . gooo. . ." oleh Mila si sulung, menirukan flamingo merah jambu karakter kartun favoritnya.
Hari ini Fia hendak mengikuti vaksinasi covid-19 di kantor suaminya. Sebagai ikhtiar rakyat biasa agar negeri ini lekas mentas dari kubangan pandemi, yang seperti pasir hisap dalam serial film Indiana Jones, seolah memeluk negeri ini erat-erat.
***
Ardi membukakan dua kotak susu UHT yang mereka bawa dari rumah untuk menenangkan dua balitanya. Ini setidaknya berhasil meredakan tangisan Mila barang sedikit. Izmi? Dia langsung mencaplok sedotan dengan ganas. Sruut sruut, mili demi mili isi karton UHT tersebut berpindah ke perut mungilnya. 
Tiba-tiba sudut mata Ardi menangkap sesosok yang mereka nantikan.
Fia keluar dari aula kantornya dengan ekspresi kebingungan. Pun Ardi. Seharusnya kalaupun sudah disuntik, masih ada observasi sekitar setengah jam. Ini terlalu cepat. Pasti ada yang tak beres.
"Nggak bisa", ucap Fia kecewa. Bibirnya sedikit manyun.
"Lho kenapa?", tanya Ardi sembari memegangkan susu kotak Izmi dan menyerahkan tangan Mila pada bundanya. Mila menggelayut manja, seolah mereka habis berpisah berbulan-bulan lamanya, padahal belum juga sepuluh menit.
"Alergi antibiotik, petugas tak berani, kuatir ada komplikasi", jawab Fia.
"Lalu kita harus ke mana?", tanya Ardi.
"Faskes terdekat, katanya", jawab Fia. Ia lalu memaparkan penjelasan petugas medis tadi. Setelah berkonsultasi dengan dokter kantor, dan mencoba layanan dokter daring, akhirnya mereka putuskan untuk mencoba di tempat lain. Ada dua puskesmas di dekat tempat tinggal mereka. 
"Sepertinya, lebih baik mencoba daftar ke sana, daripada ke rumah sakit", ujar Fia. "Aku ogah kalau ramai, khawatir malah lebih berisiko terpapar", lanjutnya lagi.
"Baiklah, lagipula lebih dekat, malah lebih dekat jika dibandingkan ke kantor", jawab Ardi.
***
Sepekan kemudian, di siang bolong menjelang adzan dzuhur, Ardi, Fia dan dua balita mereka baru saja pulang dari Puskesmas. Fia berhasil mendapat injeksi dosis satu vaksin Covid-19 buatan Sinovac, pabrikan vaksin asal negeri tirai bambu. Sembari menikmati minuman dingin yang mereka beli sepulang dari Puskesmas, mereka merenungi kejadian beberapa hari ke belakang. Mila dan Izmi sedang asyik bermain di kamar mereka; satu-satunya ruangan berpendingin di kontrakan minimalis mereka. Maklum, sejak pukul 9 pagi hingga jelang dzuhur, mereka berpanas-panas di Puskesmas, demi menghindari kerumunan orang di antrian vaksin, yang mendapat keteduhan dari atap tambahan di halaman Puskesmas.
 
Kerumunan yang kadang susah diatur

"Lhaiya, niatnya ikut yang di kantor, yang udah diharep-harepin dari lama. Lha kok ketolak", ujar Ardi. 
"Yaudah, udah jalannya Yah. Yang penting ini udah vaksin", jawab Fia.
"Kerasa ada keluhan ngga, Bunda?", tanya Ardi. "Teman-teman di kantor dulu sih, kalo ngga ngantuk, ya laper", lanjutnya.
"Ngga sih, cuma pegel dikit aja. Kan wajar habis disuntik", seloroh Fia sembari menunjukkan lengan kirinya. 
"Sini diolesin", tawar Ardi sembari mengambil Minyak Balur Kauniyah Oil dari rak P3K mereka. Minyak balur yang dibuat dari 11 jenis therapeutic grade essential oil dalam balutan 2 jenis carrier oil ini memang memiliki segudang manfaat
Biasanya mereka gunakan minyak balur ini untuk memijat kedua balita aktif mereka. Maklum, saking aktifnya dua bocah itu, kadang mereka susah tidur karena kelelahan. Apalagi kalau siangnya habis pergi-pergi. Tapi biasanya, setelah dipijat dengan Minyak Balur Kauniyah Oil , mereka lebih cepat tidur.
Pernah juga Fia mengoleskan  Minyak Balur Kauniyah Oil untuk lengannya yang terkena percikan minyak saat memasak. Atau saat tamu bulanan datang, diolesnya di perut untuk sedikit mengurangi rasa sakit akibat nyeri haid. 
Fia menikmati pijitan ringan di lengannya.
"Aw, sakit", pekiknya pelan saat suaminya tak sengaja menyentuh area yang baru saja disuntik. 
"Eh maaf"", ujar Ardi memindahkan pijitan ringan di lengan istrinya menjauhi area yang baru saja disuntik.
Perlahan rasa hangat meresap di kulitnya. Ah, nyaman.
"Memang udah jalannya kali ya", gumam Ardi melanjutkan obrolan. "Mungkin emang rejekinya abang penjual minuman ini", lanjutnya sembari menunjukkan segelas minuman dingin yang telah kosong, menyisakan gumpalan-gumpalan es batu yang setengah mencair.
Fia tersenyum, "iya juga ya Yah. Mungkin agar rejekinya mas tadi sampai ke dia, sampe kita harus ketolak vaksin di kantor". 
"Yaa... gimana lagi. Semua kan udah diatur", pungkas Ardi mengangkat bahu.
"Rejeki mah gitu, meski jauh, kalo udah jalannya, ya nyampe juga ya", gumam Fia sembari menerawangkan pandangan ke langit-langit kontrakan mereka.
"Sebaliknya, kalau ngga rejeki, dalam genggaman pun bisa terlepas ya", timpal Ardi, mengenang sebuah kejadian di masa lalu.
Kumandang adzan dzuhur menyudahi sesi pijat santai mereka. Saatnya mereka bersujud pada Yang Maha Mengatur. Sembari menyelipkan sebait doa, agar dikokohkan keimanan dalam hati mereka, senantiasa. Agar mendapat hidayah akan hakikat rizki dan menerima segala keputusan-Nya, senantiasa. Agar mampu menggali hikmah dari setiap peristiwa, senantiasa.
***

Komentar