7,5 Jam dan 292 Kilometer Kemudian

Kupang, 13.30 WITA, 33⁰ celcius suhu udaranya. Mobil carter kami tiba akhirnya tiba di sini. Senyum kakak pengemudi merekah sembari menata bawaan kami dalam bagasi. Seiring roda mobil bergulir meninggalkan Bandara El Tari, bergulir pula kisah dan obrolan kami. Pelonggaran PPKM membuat ekonomi mulai bergeliat, ceritanya dengan semangat. Aku dan Bagas menanggapi dengan antusias. Meski kadang pepopohan meranggas dan tanah berdebu, seringkali lebih menarik perhatian bagiku. Tanah baru yang belum pernah kukunjungi samasekali, menggelitik rasa ingin tahu dalam diri. Selalu menarik melihat tempat yang berbeda, sisi lain dari negeri dan bumi yang sama.


Langit cerah tanpa awan menghiasi, tengah hari di bawah pancaran penuh radiasi mentari. Senyuman warga kota dalam keseharian mereka, dalam pikap semi terbuka sebagai transportasi masa.


Sesekali tampak kambing melintasi jalan raya, kata kakak pengemudi itu sudah biasa. Sawah tadah hujan di pinggiran kota, sedikit mewarnai lansekap yang didominasi krem dan coklat muda. 


Pepohonan tumbang dan sisa kayu bangunan berserakan, sebuah penanda akan kuasa-Nya yang tak bisa dilawan. Pertunjukan kekuatan alam dalam Badai Seroja yang membuat kota porak poranda, bencana nyaris dua tahun silam namun jejak kerusakannya masih terlihat nyata.


Ketika rumah dan bangunan semakin berjarak, itulah tanda kami sudah mulai meninggalkan kota seiring jalanan yang mulai menanjak. Suhu panas sedikit mereda, bukit yang lebih hijau di depan mata. Jalan aspal berkelok bagai ular gergasi, menembus pegunungan dan dataran tinggi. Diselingi parit kering alur sungai musiman, yang dari angkasa tadi nampak sebagai jalur meliuk berwarna kecoklatan. Sesekali kami berpapasan dengan bus antar kota berukuran sedang, dengan tangga untuk naik ke atap di bagian belakang. Terkadang kala bus tersebut penuh penumpang, tangga itu beralih fungsi menjadi tempat pegangan bagi penumpang. Beberapa bus membawa motor yang diikat di bagian belakangnya, terkadang disusun atas bawah, sekaligus dua.

Puluhan kelokan selanjutnya, bentang alam berganti rupa. Bukit berbatu koral dengan tanah kapur yang gersang dan tandus, ternak-ternak warga terlihat kurus. Lahan keras untuk bercocok tanam, sebagaimana cerita pengemudi kami menggali memori muram. Ketiadaan air sebagai urat nadi kehidupan, membuat hidup warga penuh perjuangan. Bertani di sini susah menghasilkan, karena ketika kemarau tiba tak banyak lagi yang bisa dilakukan. Koperasi petani hanya aktif setahun sekali, dalam beberapa bulan kala musim hujan sebagai momen terbaik bertanam padi, jagung dan ubi. Pengemudi kami bercita-cita, untuk pergi belajar ilmu pertanian ke Bali dan Jawa. Namun untuk merantau ia perlu biaya yang tak sedikit, sementara biaya kebutuhan sehari-hari pun makin melangit. Pernah ia coba beternak bebek, namun peruntungannya jelek. Kata pengemudi kami, pemerintah tengah membangun sebuah bendungan, sebagai upaya agar masalah kebutuhan air dapat terselesaikan.


Sesekali kami melewati pekerja proyek yang sedang membangun tanggul penahan, agar bukit kapur tak langsung longsor kala tergerus hujan. Pasca badai menghempas daratan, longsoran menutupi jalan. Putusnya urat nadi transportasi, sempat membuat 3 kabupaten terisolasi.

Memasuki Kabupaten Timur Tengah Utara, Ume Khubu (rumah bulat tradisional) banyak menghiasi halaman belakang rumah warga. Jelang senja di Niki Niki, rasa lapar mulai menggerogoti. 


Mentari mulai terbenam, gelap menyelimuti malam. Di Oeluan kami berhenti, terdapat sebuah pos pemeriksaan suhu tubuh sebagai upaya menekan penyebaran pandemi. Perjalanan berlanjut hingga Kefa, di mana kami menemukan rumah makan dengan lalapan Jawa Timur sebagai menu utama.

Penatnya perjalanan yang dimulai sejak selepas subuh, mulai berefek pada tubuh. Mata terpejam tanpa sadar, baru terbangun kala pengemudi berkata "su mau masuk Atambua ya, tunggu sebentar". Jalanan basah karena hujan yang baru membasahi bumi, rekan di atas kapal patroli pun sudah memberikan petunjuk lokasi.

Pukul 21.00 WITA kami tiba di Atapupu, dengan kondisi sedikit kuyu. 7,5 jam perjalanan Kupang Atambua, demi memulai petualangan baru di depan mata. Terparkir pararel di dermaga, kapal patroli BC 8004 dengan warna abu-abu muda.


Rumah kami selama dua pekan berikutnya, yang tergabung dalam operasi Jaring Wallacea. Bagian dari upaya DJBC dalam melindungi industri dan masyarakat, dari peredaran barang-barang berbahaya yang dibawa oleh sindikat. Dengan kru hebat nan berdedikasi, rela tinggalkan keluarga setiap kali terbit perintah operasi, demi bakti pada ibu pertiwi.

Komentar