Andai Aku Menjadi ... (2)

Suara ayam berkokok keras, membuat Raizan terkejut hingga terjatuh dari dipan. Ia kemudian berjongkok sembari menguap malas, sembari kepalanya menoleh celingukan. Kayu bakar tersisa beberapa balok sementara jagung dan ubi rebus semalam telah tandas, ketiga rekannya tak tampak dalam pandangan.

Langit masih gelap, pertanda fajar belum menyingsing. Raizan mendengar langkah berderap, layaknya sepasukan prajurit tengah bersiap untuk berlatih tanding. Namun mengapa suara itu seolah berasal dari atap, alih-alih dari balik dinding? Seketika rasa takut menyelinap, membuat bulu kuduk Raizan merinding.
Ia mengumpulkan keberanian untuk menengok sumber suara, kepalanya menengadah sementara matanya memicing. Apa yang dilihat oleh matanya, cukup untuk membuatnya lari pontang-panting. Sekerumunan prajurit tanpa kepala, tengah berbaris menenteng lembing. Raizan berteriak namun tak jua keluar suara, kerongkongannya terasa amat kering. Ia berupaya menuju gerbang utama, namun jalan yang dilaluinya terasa asing. Hingga terlihat sesosok orang yang dikenalnya, tengah memangkas dedaunan di taman dengan menggunakan gunting.

Tanpa pikir panjang, Raizan menepuk bahu sosok yang dikenalnya itu. Ia terkejut bukan kepalang, kala sosok itu menoleh dan menunjukkan wajah yang polos dari dahi hingga dagu. Seketika ia berbalik badan dan berlari kencang, hingga akhirnya tersungkur karena terpeleset oleh sesuatu. Raizan mengerang, mencoba mengurut kakinya yang ngilu. Di bawah cahaya lentera yang remang, matanya terpaku pada segumpal benda yang tampak seperti sebongkah batu.

Sembari menenangkan diri, perhatiannya tertuju pada benda yang membuatnya terpeleset ini. Disentuhnya dengan jemari, namun ia yakin tekstur batu tak lembek begini. Seketika Raizan begidik ngeri, entah bagaimana benda tersebut ada di sini. Benda yang mengingatkannya akan pertemuannya dengan seorang pencuri, yang dipergokinya kala berjaga malam seperti saat ini.

Kala itu, bedebah jalanan itu terpergok dan berupaya kabur. Raizan menyerangnya dengan sebilah golok, dan pencuri itu nasibnya tak mujur. Perbedaan kemampuan yang menyolok, membuat pencuri itu kalah dan tersungkur. Dengan langkah terseok, pencuri itu pun akhirnya tumbang dengan isi perut terhambur.

Dan benda di hadapan Raizan, sungguh mengingatkannya akan isi perut manusia yang hilang nyawa di tangannya. Berwarna merah kehitaman, anyir baunya membuat Raizan merasakan gejolak dari dalam perutnya. Raizan sekali lagi menyentuhnya untuk memastikan, bahwa benda di hadapannya adalah segumpal hati manusia. Langkah-langkah perlahan, terdengar mendekat mengelilingnya. Sekujur tubuh Raizan gemetaran, ia hanya bisa memejamkan mata sekuat tenaga. Aroma anyir yang memuakkan, diiringi suara tawa yang memekakan telinga. Raizan meringkuk mendekap kepalanya dengan kedua tangannya, sembari mulutnya merapal segala doa.

Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok keras, yang membuat Raizan terkejut hingga ia terjatuh dari dipan. Ia kemudian berjongkok dengan hati cemas, sembari kepalanya menoleh celingukan. Kayu bakar tersisa beberapa balok sementara jagung dan ubi rebus telah tandas, ia agak tenang ketika dilihatnya Adul yang tertidur sambil duduk tengah mendengkur perlahan.

Terdengar suara langkah perlahan dari kejauhan, dua sosok yang dikenalnya terlihat mendekat. Arok dan Warda rupanya baru saja berkeleliling meronda.

Jantung Raizan masih berdetak kencang. Ia membangunkan Adul serta menunggu Arok dan Warda datang. Sudah tiba waktu baginya dan Adul untuk meronda berkeliling Balai Hulubalang.

Sepanjang meronda, Raizan banyak terdiam. Adul masih berjalan terkantuk-kantuk, tetapi ia menyadari bahwa ada yang tidak beres pada Raizan.

"Apa yang kau pikirkan, Kawan?" tanya Adul sembari menepuk pundak Raizan. Raizan terkejut, namun matanya kembali menerawang.

"Aku baru saja bermimpi buruk," jawabnya sembari menuturkan mimpi buruknya pada Adul.

"Jadi kejadian waktu itu masih membuatmu terus bermimpi buruk, ya," sahut Adul. Pada saat Raizan menebas pencuri dengan golok, Adul masih belum bekerja sebagai penjaga Balai Hulubalang. Ia hanya pernah mendengar cerita itu dari kawan-kawannya yang lain.

"Andai aku menjadi penerus tahta, tak akan kubiarkan ada pencuri di negeri ini," tekad Raizan sembari mengepalkan tangan.

Adul tergelak, "Kau serius ingin menjadi penerus tahta? Lalu bagaimana caranya? Memperbanyak penjaga?" cecar Adul lagi sembari tertawa.

Raizan menggeleng. "Pencuri itu adalah tetanggaku, dan aku tahu bagaimana kehidupannya," jawab Raizan muram.

Mata Adul terbelalak, baru kali ini ia mendengar cerita lebih jauh tentang kejadian itu langsung dari Raizan. Tidak biasanya ia mau menceritakan kejadian itu. Mimik mukanya berubah, ia serius menyimak, mengantisipasi apa yang akan Raizan ceritakan lagi.

"Kami tinggal di tepi hutan. Kau tahu, tempat orang-orang buangan berkumpul. Hidup tanpa keluarga, tanpa pekerjaan, dan ditolak oleh semua orang, tentu tak mudah. Tapi di sana kami terbiasa berbagi. Setiap orang membawa buah, sayur, atau ikan yang berhasil kami dapat dari alam. Tentu tak banyak, karena orang-orang seperti kami harus sembunyi-sembunyi dari para penjaga kota yang meronda di perbatasan hutan," tutur Raizan panjang lebar.

Adul menghela nafas panjang. Ia bahkan baru tahu bahwa Raizan berasal dari tempat orang terbuang. Di Rawikarta, kota termegah di Agnidwipa, orang-orang yang memiliki cacat fisik, tidak berkeluarga, atau memiliki penyakit parah dilarang tinggal di kota. Tujuannya agar kota tetap terlihat indah bagi warga dan pengunjung dari negeri lain. Mereka hidup tersembunyi di tepi hutan, denga gubuk kayu sederhana dan mencari makan seadanya. Bagi orang-orang terbuang, amat sulit untuk bisa mendapat pekerjaan layak dan tinggal di kota.

Raizan melanjutkan cerita, "Meski kami tidak memiliki keluarga, pada akhirnya banyak orang seperti kami yang justru menikah dan membangun keluarga. Hidup akan semakin sulit bagi mereka, tanpa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan. Aku beruntung bisa mendapat kepercayaan untuk bekerja pada satu tuan ke tuan lain, hingga akhirnya bisa diterima menjadi penjaga di sini. Namun kawanku itu, tidak cukup beruntung. Ia harus bekerja keras mengisi perut keluarganya."

"Hingga akhirnya ia harus mencuri, dan tanpa sengaja hidupnya berakhir di tanganku, temannya sendiri saat masih menjadi orang terbuang," kenang Raizan. Matanya menerawang. Mulut Adul tercekat. Ia gamang hendak merangkai kata untuk bereaksi atas ironi yang dialami Raizan. Gemerisik dedaunan tertiup angin mengiringi langkah mereka meronda. Sesekali suara jangkrik dan celepuk terdengar bersahutan.

"Jadi, bagaimana kau ingin menghilangkan pencuri dari negeri ini?" tanya Adul mencoba memecah keheningan.

"Hilangkan ketamakan, maka kemiskinan dan kesengsaraan akan hilang dengan sendirinya," seloroh Raizan.

Kening Adul menyeringit, "Hah? Bagaimana?"

Raizan menghela nafas. Ia menunjuk ke arah dinding Balai Hulubalang, "Kau lihat, setiap kali waktu makan, betapa banyak sajian di atas meja para Hulubalang? Rusa asap, kambing panggang, angsa rebus berempah, sup ikan, beraneka buah dan minuman mewah tersaji. Untuk kita?" cerocos Raizan. 

"Singkong dan jagung rebus, atau ubi dan kacang," jawab Adul kelu.

"Tidakkah Kau melihat ketamakan mereka? Bukankah sejatinya dua potong singkong, ubi atau jagung sudah cukup untuk mengenyangkan diri?" tanya Raizan. "Mengapa mereka amat berlebihan mengenyangkan diri, dengan dibiayai upeti, yang dikumpulkan dari rakyat yang bekerja siang malam seperti kita ini. Satu koin upeti untuk setiap sepuluh koin yang kita miliki, digunakan untuk mengenyangkan perut para Hulubalang, Adipati, Patih dan kroni mereka, membelikan sutra untuk istri dan selir-selir mereka, untuk kasur kapuk empuk mereka, perabot kayu mewah untuk rumah mereka, untuk kuda-kuda gagah mereka," sungut Raizan melanjutkan. "Sementara kita para pekerja? Terkadang kita makan malam dengan air dan rasa kantuk untuk menahan lapar."

Adul mengangguk. Ia teringat kala suatu ketika ia bertugas menjaga jamuan makan malam para Hulubalang, dengan makanan berlimpah yang disajikan pada begitu banyak pinggan, hingga membutuhkan tiga meja untuk menyajikannya. Jumlah tamunya? Lima. Hulubalang dan pengabdi yang menyambut? Tiga. Pelayan dan penjaga yang diperlukan untuk menyiapkan seluruh gelaran jamuan? Dua puluhan. Namun seluruh makanan pada belasan pinggan yang tersaji, hanya diperuntukkan bagi lima tamu dan tiga penyambut. Tandas, tanpa sisa, tak ada kesempatan bagi para pelayan dan penjaga untuk mencicipi segala sajian itu, melainkan hanya harum semerbak aromanya. Untuk mereka, tentu saja, singkong, ubi, jagung dan kacang rebus.

"Sungguh tidak adil, memang," gumam Adul mengiyakan. Langkahnya kini terasa berat, mulutnya seolah tercekat. 

"Entah berapa kali terlintas dalam pikiran kita semua, untuk sesekali merebut sepotong paha ayam atau sebutir delima dari meja mereka, bukan?" pancing Raizan lagi. Adul hanya mengangguk lemah. "Kita masih beruntung, negeri ini masih memberikan upah untuk kita. Bagaimana dengan para pekerja di luar pagar yang sehari-hari harus berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan? Bagaimana dengan orang-orang terbuang? Segala kemewahan untuk membiayai kemewahan para Hulubalang, Adipati, Patih dan kroni-kroni mereka, seharusnya untuk memakmurkan orang-orang yang lebih membutuhkan, bukan?" seru Raizan berapi-api. Adul hanya mengangguk lemah, langkahnya gontai.

"Ketamakan itu menimbulkan rasa iri, dan rasa iri memaksa beberapa orang jadi pencuri, bukan?" sahut Adul kelu. Kini ia memahami, mengapa banyak orang terbuang yang menjadi pencuri.

Raizan melangkah mendekati dinding Balai Hulubalang. Ia menggosok tangannya pada salah satu ornamen kayu di dinding. Aroma harum memenuhi hidung mereka. Di Rawikarta, bangunan yang digunakan oleh pengabdi negeri dibangun dari kayu terbaik. Ornamen dari kayu gaharu dan cendana bertebaran di setiap sudut. Berbagai tanaman buah dan bunga nan indah ditanam pada hamparan taman. Bahan makanan berlimpah tersedia, tentu saja untuk para pengabdi perpangkat tinggi, para pesuruh cukup beruntung jika mendapat sisa-sisa. "Kau tahu, aroma apa yang memenuhi tempat tinggal orang-orang terbuang?" tanya Raizan. Adul menggeleng. Ia tak sanggup membayangkan. Sebagai warga kelas menengah, keluarganya tak pernah cukup mampu untuk membeli ornamen dari kayu beraroma, lebih-lebih tempat tinggal para orang terbuang.

"Gubuk-gubuk kami dipenuhi aroma keringat, sampah, darah, nanah, dan terkadang bau busuk jenazah," ujar Raizan pilu. "Itulah sebabnya, aku ingin negeri ini menjadi lebih baik lagi. Dan andai aku menjadi penerus tahta, tak akan kubiarkan ada pencuri di negeri ini," tekad Raizan sembari mengepalkan tangan. "Ketamakan tak boleh ada pada diri para pengabdi, agar kemakmuran hadir di seluruh negeri," pungkasnya lagi.

Komentar