Andai Aku Menjadi ...

*Perhatian bagi para pembaca tulisan ini. Harap dipahami bahwa ini hanyalah kisah fiksi untuk menambah khazanah literasi sekaligus sebagai catatan untuk pribadi. Silahkan dikritisi, namun tolong jangan dipersekusi. Bukan karena takut diselidiki atau dituduh dengan delik tak pasti. Melainkan apabila fiksi dipersekusi, bukankah itu hanya menunjukkan bahwa kalian sejatinya minim imajinasi? Selamat membaca dengan mata dan juga hati, tanpa perlu terlalu terbawa emosi :)

Alkisah, di sebuah negeri bahari nan aman sentausa berjuluk Agnidwipa, segenap warga tengah bersiap untuk menyambut sebuah pagelaran berskala raksasa. Seluruh warga yang telah berusia dewasa, diperkenankan turut serta. Mereka akan diminta memilih sang penerus tahta. Sebuah sistem pemilihan telah ditetapkan dan akan diterapkan dengan saksama, untuk memastikan yang terpilih nanti sesuai kehendak segenap warga.

Namun ada saja warga yang tak terlalu terkesan menyambut gelaran pemilihan. Memangnya setelah pemegang tahta digantikan, akankah ada perubahan pada keseharian? Begitulah yang acapkali terlontar dari mulut warga pada berbagai kesempatan.
Termasuk dari mulut Raizan, warga usia tiga puluhan, yang skeptis namun tetap menaruh harapan. Menjalani hidup dengan optimis dengan mencari kegembiraan di sela tekanan. Mencoba idealis namun menerima realita di lapangan. Karena ia selalu yakin akan adanya hikmah yang manis di balik tiap kejutan yang dibawa oleh kehidupan.

"Janji mereka semua manis, tapi apa bisa diwujudkan?" komentar Raizan kala menyaksikan rekan-rekannya saling berdebat tentang siapa yang paling pantas memenangkan kontestasi politik beberapa bulan lagi. Raizan dan rekan-rekannya tengah menyulut api di pelataran untuk memasak makan malam. Malam ini, ia dan tiga rekannya tengah mendapat tugas sebagai penjaga di salah satu Balai Hulubalang.
"Kalau bagiku, Tuan Jarwo tampak paling berwibawa, pengalamannya sebagai salah satu Adipati Madya di Agnidwipa pasti bisa dibawanya kala naik tahta," puji Arok, rekan sejawatnya pada salah satu calon penerus tahta. "Terlebih, ia maju kontestasi bersama salah satu Hulubalang paling cendekia di negeri ini," lanjutya lagi sembari  menyesap asap tembakau linting yang disulut bara. Meski bertubuh paling kecil di antara mereka berempat, Arok dulunya adalah seorang pelaut yang tangguh.

"Ah, menurutku sebaiknya Panglima Bata saja, ketegasannya kala memimpin prajurit istimewa tak perlu diragukan. Bangsa ini perlu dipimpin dengan ketegasan," seru Warda, rekannya yang lain sembari memasukkan jagung dan ubi ke dalam periuk. "Nilai tambahnya, sang Panglima menggandeng Tuan Ardha, seorang Adipati Pratama yang berusia muda nan misterius dan penuh pesona," sambungnya lagi. Warda yang bertubuh tinggi ceking adalah seorang penjelajah alam yang tangguh. Ia paling jago memasak di antara mereka berempat.

"Justru jangan terkecoh dengan penampilan. Memangnya pernah kalian berada di bawah pimpinan mereka?" sahut Adul yang bertubuh gembul. "Kala Tuan Weda menjadi Adipati Madya, aku pernah tinggal di sana. Bandar Teluk Raya yang semrawut, menjadi lebih elok di bawah kepemimpinannya. Justru Tuan Weda yang akan menjadi kuda hitam kontestasi ini," selorohnya panjang lebar sembari menata periuk di atas kayu bakar.

"Ah, sama saja, ketiganya punya rekam jejak baik, dan pernah tercoreng isu miring. Kenapa pula hanya mereka yang bisa menjadi calon penerus tahta?" balas Raizan masih skeptis. Ia menambahkan beberapa potong ranting kering ketika melihat air dalam periuk mulai mendesis.
"Ya bagaimana lagi, mereka didukung para ketua klan pembawa bendera. Orang biasa macam kita, mana bisa menjadi peserta kontestasi?" jawab Adul sembari mengipasi bara api agar terus mengepul.
Klan pembawa bendera adalah kelompok-kelompok yang menjadi penyeimbang penguasa. Mereka duduk bersama dalam periode tertentu, membahas isu-isu terkini negeri. Mereka menanyakan pelaksanaan berbagai janji pemegang tahta, hingga pertanggungjawabannya. Maklum saja, kas negara Agnidwipa terisi dari upeti warga, jadi pelaksanaan janji pemegang tahta harus diketahui juga oleh seluruh warga. Namun tentu saja, para anggota klan lebih banyak menyuarakan kepentingan klan mereka sendiri alih-alih kebutuhan warga.
"Tapi, mungkin menarik ya, kala calon penerus tahta diambil dari warga biasa," sambung Arok. "Bukankah sejatinya negeri ini tak kekurangan orang pintar?" lanjutnya.
"Selama pemegang tahta harus didukung oleh ketua klan, penerus tahta terpilih pun jadinya sedikit banyak memihak pada para klan pendukungnya," seloroh Warda.
"Ah, andaikan warga biasa macam kita bisa menjadi pemegang tahta tanpa harus didukung ketua klan pemegang bendera," gumam Raizan sembari merebahkan diri di atas dipan.
"Memang apa yang akan kau lakukan, kalau menjadi pemegang tahta?" tanya Warda.
"Banyak, yang jelas kalian tak akan kelaparan lagi," jawab Raizan.
"Huuuu, sama saja, janji melulu" ledek Adul.
"Tapi tak ada salahnya, kau coba tuliskan apa yang kau inginkan," dukung Arok. "Siapa tahu kelak ada tetua klan yang mendukungmu menjadi pemegang tahta."
Raizan seketika bangkit dari dipan. Ia berjalan gagah mengitari api unggun layaknya seorang Adipati atau Hulubalang dalam prosesi resmi negeri. Arok, Warda dan Adul terkekeh.
"Apa ini? Ubi dan jagung?" ujar Raizan sembari menatap periuk lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mulai besok, makan malam untuk penjaga balai adalah bakaran daging rusa!" seru Raizan berlagak sembari menunjuk-nunjuk periuk yang mulai menggelegak. Rekan-rekannya tergelak.
"Apa ini? Lusuh sekali?" Raizan terus berlagak sembari menjawil-jawil kain yang dikenakan Warda. "Mulai besok pakaian para penjaga balai adalah kulit sapi samak terbaik!". Rekan-rekannya semakin terkikik.
"Apa ini? Reyot sekali!" seru Raizan sembari menendang kaki dipan tempat istirahat mereka. Dipan bambu itu berderak. "Mulai besok, kalian akan tidur beralaskan kasur kapuk dengan ketebalan sejengkal, dengan alas berlapis sutra!" lanjutnya sembari memainkan mimik muka. Rekan-rekannya tertawa.

"WOY BERISIK!" terdengar seruan dari balik dinding. Pintu gerbang Balai Hulubalang terbuka. Sesosok wajah tembem dengan kumis klimis melongok dari pintu.
"Astaga" pekik mereka berempat tertahan. Itu adalah Paman Ndoko, pesuruh paling sepuh di Balai Hulubalang. Di hadapan para Hulubalang, ia begitu patuh dan sigap, lagaknya macam pesuruh paling setia. Tetapi pada pesuruh dan pekerja lain di balai? Huh, galaknya bukan main, macam induk macan kehilangan anak. Paman Ndoko berjalan ke arah mereka membawa senjata andalannya; penebah kasur dari ijuk kelapa yang dipakainya untuk mendisiplinkan para pesuruh yang kerjanya kurang cekatan. Seketika mereka berdiri berbaris di sisi api unggun.
Masalahnya, Paman Ndoko yang berbadan tambun ini berjalannya melenggok bagai itik keluar dari sungai. Empat penjaga bengal tadi berusaha mati-matian menahan tawa.
"Beruntung kalian, para Hulubalang tak sedang berada di sini," hardik Paman Ndoko garang. "Kalau tidak, hiiih" ancamnya sambil mengangkat penebah ijuk andalannya. Keempat penjaga bengal ini menyeringitkan wajahnya. Beruntung, Paman Ndoko hanya berpura-pura. "Jangan lupa, bereskan abu sisa nantinya!" hardiknya sembari menendang kerikil ke arah api unggun, lalu berbalik ke arah pintu.
Blam! Pintu besar itu berdebam.
Seketika keempat penjaga bengal itu bergantian menirukan cara berjalan Paman Ndoko yang seperti itik, lalu mengikik tertahan sambil saling mendorong. Seiring matangnya ubi dan jagung pada periuk, mereka pun segera memadamkan api unggun, lalu menyantap makan malam mereka.
"Andai aku jadi penerus tahta, orang-orang macam Paman Ndoko akan kuberhentikan jadi pesuruh di balai Hulubalang," lanjut Raizan berandai-andai.
"Jangan begitu lah, kasihan keluarganya nanti," jawab Arok pura-pura kasihan.
"Aku masih akan memberinya pekerjaan, kok," balas Raizan.
"Apa?" sahut Warda dan Adul bebarengan. "Dia kan hanya becus mengangguk-angguk di hadapan para hulubalang," ledek Warda lagi.
"Kusuruh saja dia melatih anak itik berjalan di tepi sawah," ledek Raizan sembari menirukan gaya berjalan Paman Ndoko.
Seketika, ketiga rekannya terkikik menahan tawa.
Raizan merebahkan diri di atas dipan bambu reyot yang berderak tiap kali diduduki itu. Kembali mulutnya menggumam, "Andai aku menjadi pemegang tahta..."

Komentar