Turiya
Ini adalah naskah cerita yang saya ikutkan dalam Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala H.B.Jassin 2024. Karena tidak menjadi finalis, tidak juga lolos 14 naskah pilihan untuk dijadikan antologi, maka saya publikasikan di sini saja. Selamat membaca.
-----------------------------------------------------------------------------------
TURIYA
Langit
semakin mendung di atas Jakarta. Gadis kecil berambut pendek itu melangkah
cepat-cepat, menghindari lubang dan gelombang di trotoar kumuh yang tak terawat.
Lima puluh meter di depan, berderet toko yang menjajakan beragam roti,
gula-gula dan aneka jajanan. Matanya berbinar melirik, langkahnya melambat
barang sedetik, namun cepat-cepat ia gelengkan kepalanya, dan melanjutkan
langkah-langkah kecilnya. Berpapasan pula ia dengan beberapa pengemis, pengamen
dan tuna wisma yang berebut meraih simpati pengguna jalan yang melengang dengan
segala urusannya.
“Minta
Kak, belum makan Kak,” sesekali mereka menghentikan langkahnya, mengguncangkan
gelas plastik kumuh dan mengiba.
Ia
hanya menggeleng, berkelit dan melanjutkan langkahnya. Bukan tanpa empati,
namun perutnya sendiri pun tengah berbunyi, hanya tersamarkan oleh ramainya
deru knalpot dan klakson yang bersahutan tiada henti. Lampu merah di sudut
jalan menyala dengan garangnya, seolah meledek para pengendara yang
terburu-buru mengejar segala kesibukan mereka. Langkah-langkah gadis kecil itu
membawa kakinya yang lelah melintasi zebra cross yang dipenuhi
pengendara motor yang boleh dibilang agak kurang akhlaknya.
Bukankah
zebra cross ini hak penyeberang jalan, gerutunya dalam hati sembari
mengenang ajaran moral dari buku pelajaran SD kelas tiga.
Tak
sampai sepuluh detik, langkahnya tiba di bawah jalan layang yang menjadi simbol
kemajuan pembangunan ibukota. Ia melengkung megah, mengangkangi jalan raya dan
rel kereta api di bawahnya. Dibangun dengan kokoh demi kenyamanan para
pengendara. Kontras dengan ribuan kendaraan mewah yang melintasinya tiap hari,
sebidang tanah nan kumuh di bagian bawahnya, menjadi wajah lain yang berbeda.
Sebidang tanah yang menjadi ruang ketiga bagi puluhan anak-anak dan remaja
tanggung untuk sekedar bermain dan bercengekrama. Siang itu pun tak ada
bedanya. Nyanyian gembira dan riuh tawa menggema. Sampah yang terserak, aroma dari
selokan yang menggenang tersumbat dan debu jalanan bercampur asap kendaraan tak
menghalangi selusin anak lelaki menikmati permainan sepak bola. Di sudut yang
berbeda, sekelompok gadis seusia bermain peran, memetik dedaunan di taman
seolah menjadi ibu-ibu yang tengah berbelanja. Langkah gadis kecil itu terhenti,
mata polosnya terkesima. Hatinya meronta, ingin turut bersenda gurau dan
bertukar canda. Namun mulutnya kelu, sehingga ia hanya memperhatikan sembari
mematung saja. Tanpa ia sadari, sepasang mata jeli tengah memandangnya.
“Riya,
ayo main,” sapa seorang gadis berkepang dua seusianya, sembari menepuk
pundaknya perlahan. Tangannya menunjuk pada anak-anak perempuan yang bermain
ibu-ibuan.
Riya,
sebagaimana gadis kecil berambut pendek itu disapa, sedikit terhenyak. Sekejap
kemudian, senyum tersungging di bibirnya. Tangannya bergerak cepat, menunjukkan
beberapa isyarat.
“Ah,
Kamu harus pulang sekarang, ya?” sahut gadis berkepang dua. Tangannya turut
bergerak cepat, berbalas isyarat.
Riya
mengangguk. Tangannya kembali bergerak cepat, menapilkan isyarat yang lain.
“Baiklah,
semoga besok kita bisa bermain bersama ya,” sahut gadis berkepang dua ceria.
Tak lupa tangannya menampilkan rentetan isyarat berbeda.
Riya
mengangguk, lalu menjulurkan kelingkingnya, yang disambut seketika oleh gadis
berkepang dua. Jari kedua gadis cilik itu bertautan, tanda janji persahabatan.
Dalam sekejap, Riya melanjutkan perjalanan. Langkah-langkahnya kini semakin
cepat, berharap hujan cukup sabar untuk tak segera menerpa.
*******
Mendung
semakin pekat di atas Jakarta. Membuat lelaki berusia 40-an itu gusar dan
resah. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke arah jendela. Ini Jumat sore,
seharusnya tak terlalu banyak pengunjung datang ke rumah makan tempatnya
bekerja. Namun tadi siang, rumah makan ini dipesan oleh seorang pejabat kota
dan rombongannya. Diskusi membahas proyek penting, katanya. Bagi pemilik rumah
makan, belasan pengunjung yang memesan menu lengkap adalah keberuntungan. Namun
tidak bagi pria itu. Ia ingin lekas-lekas tiba di rumah. Ia juga punya urusan
yang tak kalah pentingnya.
“Kau
lanjutkan Tik, ini bakal lama,” seru pramusaji berperawakan kurus dan berkepala
botak yang datang membawa setumpuk piring kotor. “Sudah dua kali hidang Lae,
eh masih saja ada yang datang. Bah, penatnya aku,” keluhnya sembari
mengelap kepalanya yang licin.
“Tamu
masih berdatangan lagi, Mas Tikno,” lanjut pramusaji gondrong yang membawa
nampan berisi gelas-gelas kotor. “Sabar ya, semoga lekas beres ini,” sambungnya
sembari menepuk-nepuk bahu Tikno si buruh cuci piring.
Suasana
dapur benar-benar sibuk, dengan setengah lusin pramusaji dan juru masak yang
mondar-mandir. Menyiapkan sajian, membawa piring kotor, dan mencatat semuanya.
Hanya Tikno seorang yang kakinya tak beranjak dari sudut dapur. Namun bukan
karena ia tak sesibuk yang lain. Justru ia berupaya amat keras menghilangkan
sisa-sisa lemak di piring, gumpalan tisu basah di gelas, dan mengumpulkan
bermacam sisa makanan yang tak dihabiskan oleh para tamu. Acapkali hatinya
miris, menyaksikan kemubadziran setiap kali mencuci piring. Namun apa daya, tak
mungkin pula ia mengumpulkan sisa-sisa makanan dari piring-piring bekas pakai
tamu.
Seiring
gelegar guntur di kejauhan, rintik-rintik hujan pun akhirnya menerpa bumi.
Sekejap kemudian gerimis beradu dengan permukaan tanah. Memunculkan aroma
menyenangkan yang tak terdefinisikan. Desir angin berhembus, perlahan mengusir
gerah, disambut kelegaan setengah lusin kru dapur rumah makan tempat Tikno
bekerja.
“Segarnya…”
seloroh mereka kompak.
“Astaga,
malah hujan,” rutuk Tikno dalam hati.
Sejenak,
para kru dapur bisa menghela nafas lega karena hidangan ketiga sudah tersaji.
Setidaknya ada jeda setengah hingga satu jam hingga para tamu menyelesaikan
hidangan itu. Perlu sekitar setengah jam bagi Tikno untuk mencuci bersih
peralatan makan dalam satu hidangan lengkap. Itu artinya, setidaknya satu
setengah jam lagi hingga Tikno bisa pulang menemui anak dan istrinya.
“Mobilnya
Mercy begini, pasti pejabat tinggi ini,” lapor pramusaji berambut gondrong.
Baru saja ia mengintip ke area parkir. “Obrolannya ngga jauh-jauh dari
proyek sama politik, Mas,” lanjutnya. “Kita orang kecil, cuma kebagian ampas.”
“Sabar
saja Tik, Riya pasti bisa mengerti,” ucap kawannya yang beruban menenangkan. Di
antara kru dapur yang lain, pria ini tampak paling tua dan bijaksana.
“Iya,
Uda. Mau bagaimana lagi,” jawab Tikno pasrah.
“Kumasakkan
lebih, bawa pulang untuk anak istrimu,” lanjutnya sembari menyerahkan bungkusan
berisi masakan pada Tikno.
“Astagaa,
repot-repot Uda. Terima kasih, Uda. Riya dan Ros pasti senang,” sambut Tikno
berkaca-kaca menerima pemberian Uda.
Meski
harus menunggu cukup lama, sedikit beban dalam hatinya kini terangkat sudah.
Tak terbayang andai ia pulang tanpa membawa buah tangan istimewa di hari
istimewa anaknya.
“Bagaimana,
Uda, jadi balik kampung?” tanya Tikno berbasa-basi.
“Nanti
lah Tik, dak ado piti,” jawab Uda terkekeh. “Habis buat biaya berobat
anakku. Untunglah bundo di kampuang faham. Beginilah nasib kita di ibu
kota. Lebih kejam dari ibu tiri,” lanjut Uda lagi. “Nah, gimana keluargamu?”
tanyanya balik.
“Syukurlah, Uda, Riya sudah menemukan teman
sekarang. Gurunya di sekolah yang baru
ini baik, mereka bersedia meluangkan waktu untuk mengajari teman-teman Riya
bahasa isyarat sepulang sekolah,” jawab Tikno. Ia terbayang wajah Riya,
anaknya. “Kasihan, di sekolah sebelumnya, diganggu terus,” kenang Tikno. “Ros
juga lebih enak sekarang, kerja lebih dekat. Dapat pekerjaan mengurus orang
sepuh di komplek apartemen dekat rumah. Tak harus keluar ongkos transport lagi,”
lanjutnya lagi.
“Enak lah itu Lae, mengurus orang tua
lebih mudah daripada menjaga toko di Tanah Abang sana,” timpal pramusaji
berperawakan kurus dan berkepala botak sembari membawakan dua gelas kopi.
“Masih lama itu tamu kita, ngopi saja dulu. Spesial racikan barista Sodri,”
lanjutnya lagi.
“Makasih Bang Jo,” sambut Tikno. Diiringi bunyi
air cucuran atap yang mengucur ke selokan dan menyebabkan aroma busuk got
semakin menguar, obrolan mereka bertiga pun mengalir dengan lancar.
*******
Hujan
semakin deras mengguyur Jakarta. Sesekali petir berkilat menyilaukan mata.
Gemuruh guntur membuat kaca-kaca gedung sedikit bergetar. Hawa dingin mendekap
atmosfer ibu kota, membuat setiap orang yang telah tiba di rumahnya ingin
bersembunyi di balik selimut saja. Menyesap secangkir minuman hangat, atau
menyeruput semangkuk kuah kaldu hangat adalah kenikmatan ideal saat ini.
Di
sebuah apartemen di sisi timur ibu kota, sepasang insan tengah mencari
kehangatan dengan cara yang berbeda.
Alunan
musik house berdentam perlahan, menyamarkan suara desah dan rintihan
tertahan. Decit kaki sofa yang bergeser-geser tak beraturan, seiring gerak liar
dua insan yang berlomba mencapai puncak kenikmatan. Di seberang ruangan, layar
monitor menampakkan puluhan komentar dan pujian, atas aksi panas yang disiarkan
langsung dalam forum terlarang.
Dua
insan yang tak terikat resmi dalam hubungan pernikahan, hanya tertaut oleh
insting kebinatangan. Rasa malu yang tertanggalkan, tercermin dalam helai-helai
pakaian yang berserakan di lantai ruangan. Bahkan mentari pun seolah malu
menyaksikan, membiarkan deras hujan menyamarkan suara-suara tak senonoh yang
terus terdengar. Seiring mentari terbenam perlahan di balik awan, temaram menyelimuti
ibu kota, tak disadari oleh dua insan nan tengah dimabuk hasrat saling
memuaskan.
Lamat-lamat
azan di kejauhan, menyadarkan manusia-manusia ibu kota akan datangnya malam.
Segelintir di antaranya, menjawab panggilan untuk menghadap pada Sang Maha
Kuasa, namun kebanyakan enggan beranjak dari kenyamanan selimut dengan dalih derasnya
hujan. Kebanyakan yang lain, tengah sibuk dalam urusan duniawi mereka, tak
ingat kapan terakhir kali bersujud pada-Nya.
Dua
insan di sebuah apartemen di sisi timur ibu kota, terengah mengatur nafas,
seiring hasrat yang telah terlepas, puas. Si pria, setengah terlelap,
pikirannya tak lagi lengkap. Si wanita, dengan tatapan hampa, menyesapi
sisa-sisa kenikmatan yang perlahan mereda, kesadarannya kembali mengemuka.
“Hei,
mana bayaranku?” ujarnya sigap, sembari menepuk perlahan dada bidang si pria.
Bibirnya tersenyum centil, menyamarkan besarnya birahi dalam tubuhnya yang
mungil.
“Ah…
ummm…” gumam si pria, masih belum sepenuhnya tersadar.
“Jatah
pekan ini, esok sudah akhir pekan tahu!” serunya sebal sembari mencubit manja
lengan kekar si pria.
“Aw…
iya, iya. Maaf Sayangku…” jawab si pria masih setengah sadar. “Ambillah di
dompetku,” selorohnya sembari tangannya menunjuk sembarangan.
“Di
mana?” cerocos si wanita lagi sembari mengumpulkan pakaiannya sekaligus mencari
dompet si pria. “Ah, dapat,” gumamnya. Dengan sigap ia membuka dompet si pria
dan mengambil seluruh lembaran rupiah di dalamnya dan dengan cepat
menghitungnya. “Aaah, Yaang, kuraaang,” rajuknya manja. “Riya ulang tahun, aku
perlu membeli kado nanti. Aku tak mau jatah mingguanku berkurang,” rengeknya
tanpa henti.
“Ah,
iya Sayang, nanti akan kutransfer kurangnya,” jawab si pria sekenanya, sembari terhuyung-huyung
berjalan ke kamar mandi.
“Oke,
nanti kutunggu ya. Bye, aku pulang dulu,” jawab si wanita cekatan. Rupanya
ia telah lengkap mengenakan seluruh pakaiannya. Ia terlihat anggun.
“Oi,
Ros, tunggu! Biar kuantar,” pinta si pria terkejut. Dengan sigap ia mengejar
Ros yang telah berada di depan pintu.
Ros,
sebagaimana wanita mungil berkulit putih itu dipanggil, menyorongkan bibirnya.
Menyambut dekapan dan kecupan pria tinggi besar berkulit coklat yang belum
mengenakan pakaiannya. Bibir mereka bertaut sepersekian detik. Dua insan dalam hubungan
terlarang, hanya dipisahkan oleh sebuah pintu kayu dengan kehidupan mereka yang
ditampakkan pada dunia. “Tak usah, aku berjalan saja. Hujan deras begini, mana
bisa mobilmu masuk gang kumuh di pinggir kali,” tolak Ros sembari memeletkan
lidahnya, lalu berlalu di balik pintu.
Beberapa
langkah dari pintu apartemen, Ros berbalik kembali. Ia mengetuk pintu
keras-keras, tak sabaran.
“Apa
sih, kau sudah rindu padaku lagi, Ros?” tanya si pria genit sembari membuka
pintu.
“Minggir
Frans,” usir Ros sembari mengeloyor masuk. Ia mencari-cari sesuatu di antara
pakaian Frans yang masih terserak di lantai.
“Apa
yang kau cari?” tanya Frans bingung. Ia mencoba menyentuh pinggang Ros yang
membungkuk demi mencari sesuatu di bawah sofa, namun Ros menepisnya.
“Ah,
Frans. Tidak sekarang. Aku mencari liontinku. Apa kau melihatnya?” tanya Ros
ketus.
“Oh,
kau tidak mengenakannya sejak kemarin, bukan?” jawab Frans sembari melangkah
menuju meja. Ia mengambil ponsel pintarnya, lalu membuka-buka galeri foto dan
menunjukkannya pada Ros.
Ros
memelototi galeri foto di ponsel Frans. Satu-persatu dipandanginya foto mereka
berdua pada saat makan malam di salah satu resto bergaya tropikal di Bogor
kemarin. Frans benar, kemarin ia mengenakan baju halter neck dan
menurutnya tak cocok mengenakan liontin besar itu. Selebihnya adalah foto-foto
sensual mereka berdua sejak bertemu di apartemen Frans siang tadi. “Ah, sial,
sepertinya memang tertinggal di rumah,” rutuk Ros. “Bye, Frans,” ucap
Ros singkat, padat, tanpa kecupan, meninggalkan Frans yang melongo kebingungan.
*******
Malam
semakin pekat menyelimuti Jakarta. Hujan yang turun sejak tadi tak nampak akan
mereda. Alih-alih, deru angin dan gelegar guntur bersahutan memainkan simfoni
alam yang memekakan telinga. Butiran hujan yang mengguyur Jakarta dan
sekitarnya membuat aliran Sungai Ciliwung meraung, bergemuruh layaknya singa
mengaum.
Riya
menanti dengan cemas, ayah dan ibunya belum pulang hingga isya tiba. Ia telah
selesai mencuci piring, gelas dan peralatan makan. Menyapu lantai,
memastikannya bersih dari remah-remah. Kemudian mengepelnya, memastikan tak ada
sudut yang terlewat oleh kain pel basah. Riya lalu menyalakan kompor dan
menjerang air, hingga teko mendesis lemah. Secangkir kopi hitam kesukaan
ayahnya serta segelas teh manis kesukaan ibunya, disajikan di atas taplak
bermotif cerah. Namun hati Riya tak terlalu cerah, layaknya suasana langit di
luar.
Sejatinya
tak banyak yang ia pinta, hanya ingin melewatkan malam istimewa bersama kedua
orang tuanya. Hanya saja kali ini ada yang mengganjal. Saat membereskan kamar
orang tuanya, ia menemukan sebuah liontin di antara tumpukan baju ibunya. Di
bagian dalam liontin itu, tersimpan sebuah foto lawas ibunya bersama seorang
pria. Dan pria itu bukan Tikno, ayahnya. Dan entah kenapa, wajah pria itu mirip
dirinya. Riya mematut dirinya di depan cermin, sembari mengangkat liontin itu
sejajar wajahnya. Ia membandingkan raut muka, hidung, mata dan bibirnya dengan
foto dalam liontin itu. Bibir mungilnya tak salah lagi, persis ibunya. Namun
mata, hidung dan bentuk wajah pria itu, bagai pinang dibelah dua jika
disandingkan wajahnya.
Dua
kilometer jauhnya, hati Tikno diliputi gundah gulana. Sudah sejam sejak seluruh
piring dan gelas ia cuci bersih. Kawannya yang bertugas di shift
berikutnya pun telah tiba. Namun Tikno masih tertahan oleh hujan. Hatinya menimbang-nimbang,
haruskah ia menunggu, atau perlu menerjang hujan sekarang.
“Riya
tak bisa menunggu lebih lama lagi”. Ia mantapkan hatinya mengayuh sepeda ontel
tuanya.
“Lae,
tunggulah barang sejenak”, panggil Bang Jo, pramusaji berbadan kurus berkepala botak.
”Tak
bisa, Riya sudah menunggu”, sahutnya sembari mengayuh menjauh. ”Biarlah badan
ini basah, asalkan aku lekas sampai rumah”, gumamnya.
“Hati-hati,
Mas Tikno,” teriak Sodri, pramusaji yang paling jago membuat kopi. “Gimana lagi,
Bang Jo. Sudah kangen anak bini pasti. Apalagi hujan-hujan begini,” bisiknya
perlahan selagi menyaksikan punggung Tikno telah menjauh.
“Bah,
kalau jadi Tikno, betah kali aku di rumah punya istri macam si Ros itu,”
timpal Bang Jo sembari menggelengkan kepalanya.
“Dasar
mesum, Bang Jo,” ledek Sodri.
Bang
Jo hanya menggerakkan kedua tangannya dari atas ke bawah membentuk dua lekukan
sembari berbisik, “Ukulele Spanyol, Sod,” lanjutnya sambil terkikik.
Perlahan,
kayuhan sepeda Tikno membawanya mendekati rumah. Tubuhnya basah kuyup
menggigil, tangannya mulai gemetar dan kakinya mulai berat mengayuh. Namun
pikirannya tetap fokus, menuju rumah demi Riya dan Ros.
Tanpa
disadarinya, dari arah belakang melaju kencang sebuah Mercy hitam berplat
merah, melesat melewatinya dan membuat genangan air dari jalan menerjangnya
bagai ombak laut pantai selatan. Naas, kejadian tadi membuatnya sedikit oleng
dan tanpa sengaja menabrak trotoar. Tak ayal, tubuhnya terhempas menghantam
aspal. Darah segar mengucur dari dahinya. Namun bukan itu yang memenuhi
pikirannya. Lekas ia buka tas ranselnya, mengecek sebungkus makanan yang
disiapkan oleh Uda untuk anak dan istrinya.
“Sial,
jadi bungkusannya sedikit basah. Semoga Riya dan Ros memakluminya”, rutuknya.
Sepuluh
menit berselang, ia telah tiba di dekat rumahnya, di sebuah pemukiman kumuh di
bantaran Sungai Ciliwung. Ia dan rumahnya kini hanya terpisah oleh jembatan gantung
yang membentang tiga puluh meter lebarnya. Ia dapat melihat rumahnya dari sini,
sekitar seratus meter di seberang sana. Hujan masih deras, bulu kuduknya
sedikit meremang melihat aliran Sungai Ciliwung yang teramat deras. Ia pun
turun dan menuntun sepedanya. Setelah melewati jembatan, tinggal dua belokan lagi
ia akan tiba di rumah, yang atapnya kini terlihat sudah. Meski basah sekujur
tubuhnya, ia bahagia bisa membawa buah tangan sederhana bagi anak dan istrinya.
Sekonyong-konyong
ia mendengar suara keras seperti letusan diiringi suara ceburan benda besar ke
dalam air. Hal berikutnya yang ia sadari adalah rumahnya seolah bergerak
menjauh. Tikno masih tertegun, apakah ini karena ia terjatuh tadi, gumamnya
linglung.
Ramai
teriakan warga menusuk telinganya seraya memulihkan kesadarannya. Kepanikan dan
teriakan di sepanjang gang ketika orang-orang ramai keluar rumah dan menuju
sumber suara letusan, searah dengan rumahnya. Tangisan menggema. Ucapan takbir
bersahutan. Sekejap kemudian, rumahnya beserta sederet rumah lainnya,
menghilang dari pandangan, ditelan aliran Sungai Ciliwung. Kejadian itu
berlangsung cepat, membuatnya tercengang dan masih terpaku di depan gang.
Semenit berselang, barulah otaknya mampu mencerna kenyataan pahit itu. “Riyaaa…
Rooosss …,” teriaknya panik memanggil anak dan istrinya, sepedanya dilemparkan
begitu saja. Nyaris saja ia melompat ke derasnya aliran sungai kalau-kalau tak
dihalangi warga. Ia menangis dan bersimpuh. “Riya..a..a..a.. Rooo… ooos”,
tangisnya tersedu. Warga mengerumuninya, mencoba menenangkan dan menghiburnya.
Tangisnya berderai tak berhenti. Seperti halnya aliran sungai tadi, masih terus
menggelegak dan mengikis tepiannya. Sama halnya dengan hujan yang turun sejak
tadi, yang tak nampak akan segera berhenti.
*******
Secercah
sinar menyeruak di ufuk Jakarta. Bagi sebagian warga Jakarta, keseharian sudah selayaknya
perlombaan. Terbangun dan berkegiatan lebih awal dari sang mentari, baru pulang
ketika rembulan menyapa. Namun di sebuah pemukiman kumuh di bantaran Sungai
Ciliwung, kehidupan dan kematian, telah ramai beradu sejak semalam.
Warga
masih terjaga, membawa barang-barang berharga dan mengungsi ke tepi jalan
utama. Tim penyelamat bekerja keras semalam suntuk, menyisir sungai dan mencari
korban di antara puing bangunan yang ambruk. Derasnya aliran Sungai Ciliwung
semalam, membuat evakuasi dan pencarian menjadi sebuah pekerjaan yang teramat
teruk.
Tikno
menangis semalaman, matanya merah padam. Telah kering kerongkongannya, hingga
suaranya kini lebih mirip geraman tertahan. Warga masih berusaha
menenangkannya, meski tak tahu mereka harus berbuat apa.
Di
tepi jalan utama, tak diperhatikan oleh warga yang kelelahan, mengantuk, dan dibekap
ketakutan, sesosok wanita mungil berkulit putih terdiam sejak semalam. Ia
mematung di emperan toko di tepi jalan, hingga tak menyadari kehadiran tim
pewarta dari media ternama tengah bersiap untuk memulai siaran.
Kontras
dengan warga pemukiman di bantaran yang berwajah kuyu, pewarta berita ini telah
berdandan dan tampil jelita. “Tim evakuasi dikabarkan telah menemukan satu lagi
jenazah korban dari kejadian longsor semalam. Berdasarkan data ciri-ciri yang
diberikan oleh ketua RT setempat, korban diduga bernama Turiya, gadis
berkebutuhan khusus berusia sepuluh tahun yang tinggal bersama ayah ibunya.
Namun hingga kini, ibu korban yang bernama Rosmalinda, masih belum ditemukan,”
tutur sang pewarta dengan lugas dalam satu tarikan nafas.
Ros,
Wanita mungil berkulit putih yang mematung sejak semalaman, tersentak kembali
ke alam sadar. Namanya tercatat dalam daftar korban. Tak ada warga yang tahu,
bahwa semalam ia belum tiba di rumah saat longsor terjadi. Ros tertegun, dalam
benaknya kini, ia tak bisa lagi pulang. Turiya, buah hatinya Bersama Alam,
kekasih pertamanya, kini telah tiada. Tak ada lagi halangan baginya, untuk
meninggalkan Tikno. Pria bertanggung jawab yang dulu bersedia menikahinya kala
Alam raib pasca mendengar kabar kehamilannya. Pria yang berusaha sedemikian
keras untuknya, namun tak pernah bisa menggantikan posisi Alam di hatinya. Ros berbalik
arah, lalu mempercepat langkahnya, tak yakin ke mana harus mengarah. Dalam
benaknya, selama tak ada warga yang melihatnya, dianggap meninggal pun ia tak
masalah.
Dari sebuah tempat yang seluruh manusia tak bisa melihat, Riya menyaksikan ibu kandungnya berlari entah ke mana, sementara Tikno ayah tirinya, menangisinya sejadi-jadinya. Di ibu kota, kehidupan terkadang begitu kejam dan susah dimengerti.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberi kritik, saran, usulan atau respon lain agar blog saya yang masih amatir ini bisa dikembangkan dan menjadi lebih bermanfaat lagi :)
Nuwus . . .