Turiya

Ini adalah naskah cerita yang saya ikutkan dalam Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala H.B.Jassin 2024Karena tidak menjadi finalis, tidak juga lolos 14 naskah pilihan untuk dijadikan antologi, maka saya publikasikan di sini saja. Selamat membaca.

-----------------------------------------------------------------------------------

TURIYA

 

Langit semakin mendung di atas Jakarta. Gadis kecil berambut pendek itu melangkah cepat-cepat, menghindari lubang dan gelombang di trotoar kumuh yang tak terawat. Lima puluh meter di depan, berderet toko yang menjajakan beragam roti, gula-gula dan aneka jajanan. Matanya berbinar melirik, langkahnya melambat barang sedetik, namun cepat-cepat ia gelengkan kepalanya, dan melanjutkan langkah-langkah kecilnya. Berpapasan pula ia dengan beberapa pengemis, pengamen dan tuna wisma yang berebut meraih simpati pengguna jalan yang melengang dengan segala urusannya.

“Minta Kak, belum makan Kak,” sesekali mereka menghentikan langkahnya, mengguncangkan gelas plastik kumuh dan mengiba. 

Ia hanya menggeleng, berkelit dan melanjutkan langkahnya. Bukan tanpa empati, namun perutnya sendiri pun tengah berbunyi, hanya tersamarkan oleh ramainya deru knalpot dan klakson yang bersahutan tiada henti. Lampu merah di sudut jalan menyala dengan garangnya, seolah meledek para pengendara yang terburu-buru mengejar segala kesibukan mereka. Langkah-langkah gadis kecil itu membawa kakinya yang lelah melintasi zebra cross yang dipenuhi pengendara motor yang boleh dibilang agak kurang akhlaknya.

Bukankah zebra cross ini hak penyeberang jalan, gerutunya dalam hati sembari mengenang ajaran moral dari buku pelajaran SD kelas tiga.

Tak sampai sepuluh detik, langkahnya tiba di bawah jalan layang yang menjadi simbol kemajuan pembangunan ibukota. Ia melengkung megah, mengangkangi jalan raya dan rel kereta api di bawahnya. Dibangun dengan kokoh demi kenyamanan para pengendara. Kontras dengan ribuan kendaraan mewah yang melintasinya tiap hari, sebidang tanah nan kumuh di bagian bawahnya, menjadi wajah lain yang berbeda. Sebidang tanah yang menjadi ruang ketiga bagi puluhan anak-anak dan remaja tanggung untuk sekedar bermain dan bercengekrama. Siang itu pun tak ada bedanya. Nyanyian gembira dan riuh tawa menggema. Sampah yang terserak, aroma dari selokan yang menggenang tersumbat dan debu jalanan bercampur asap kendaraan tak menghalangi selusin anak lelaki menikmati permainan sepak bola. Di sudut yang berbeda, sekelompok gadis seusia bermain peran, memetik dedaunan di taman seolah menjadi ibu-ibu yang tengah berbelanja. Langkah gadis kecil itu terhenti, mata polosnya terkesima. Hatinya meronta, ingin turut bersenda gurau dan bertukar canda. Namun mulutnya kelu, sehingga ia hanya memperhatikan sembari mematung saja. Tanpa ia sadari, sepasang mata jeli tengah memandangnya.  

“Riya, ayo main,” sapa seorang gadis berkepang dua seusianya, sembari menepuk pundaknya perlahan. Tangannya menunjuk pada anak-anak perempuan yang bermain ibu-ibuan.

Riya, sebagaimana gadis kecil berambut pendek itu disapa, sedikit terhenyak. Sekejap kemudian, senyum tersungging di bibirnya. Tangannya bergerak cepat, menunjukkan beberapa isyarat.

“Ah, Kamu harus pulang sekarang, ya?” sahut gadis berkepang dua. Tangannya turut bergerak cepat, berbalas isyarat.

Riya mengangguk. Tangannya kembali bergerak cepat, menapilkan isyarat yang lain.

“Baiklah, semoga besok kita bisa bermain bersama ya,” sahut gadis berkepang dua ceria. Tak lupa tangannya menampilkan rentetan isyarat berbeda.

Riya mengangguk, lalu menjulurkan kelingkingnya, yang disambut seketika oleh gadis berkepang dua. Jari kedua gadis cilik itu bertautan, tanda janji persahabatan. Dalam sekejap, Riya melanjutkan perjalanan. Langkah-langkahnya kini semakin cepat, berharap hujan cukup sabar untuk tak segera menerpa.    

*******

Mendung semakin pekat di atas Jakarta. Membuat lelaki berusia 40-an itu gusar dan resah. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke arah jendela. Ini Jumat sore, seharusnya tak terlalu banyak pengunjung datang ke rumah makan tempatnya bekerja. Namun tadi siang, rumah makan ini dipesan oleh seorang pejabat kota dan rombongannya. Diskusi membahas proyek penting, katanya. Bagi pemilik rumah makan, belasan pengunjung yang memesan menu lengkap adalah keberuntungan. Namun tidak bagi pria itu. Ia ingin lekas-lekas tiba di rumah. Ia juga punya urusan yang tak kalah pentingnya.

“Kau lanjutkan Tik, ini bakal lama,” seru pramusaji berperawakan kurus dan berkepala botak yang datang membawa setumpuk piring kotor. “Sudah dua kali hidang Lae, eh masih saja ada yang datang. Bah, penatnya aku,” keluhnya sembari mengelap kepalanya yang licin.

“Tamu masih berdatangan lagi, Mas Tikno,” lanjut pramusaji gondrong yang membawa nampan berisi gelas-gelas kotor. “Sabar ya, semoga lekas beres ini,” sambungnya sembari menepuk-nepuk bahu Tikno si buruh cuci piring.

Suasana dapur benar-benar sibuk, dengan setengah lusin pramusaji dan juru masak yang mondar-mandir. Menyiapkan sajian, membawa piring kotor, dan mencatat semuanya. Hanya Tikno seorang yang kakinya tak beranjak dari sudut dapur. Namun bukan karena ia tak sesibuk yang lain. Justru ia berupaya amat keras menghilangkan sisa-sisa lemak di piring, gumpalan tisu basah di gelas, dan mengumpulkan bermacam sisa makanan yang tak dihabiskan oleh para tamu. Acapkali hatinya miris, menyaksikan kemubadziran setiap kali mencuci piring. Namun apa daya, tak mungkin pula ia mengumpulkan sisa-sisa makanan dari piring-piring bekas pakai tamu.

Seiring gelegar guntur di kejauhan, rintik-rintik hujan pun akhirnya menerpa bumi. Sekejap kemudian gerimis beradu dengan permukaan tanah. Memunculkan aroma menyenangkan yang tak terdefinisikan. Desir angin berhembus, perlahan mengusir gerah, disambut kelegaan setengah lusin kru dapur rumah makan tempat Tikno bekerja.

“Segarnya…” seloroh mereka kompak.

“Astaga, malah hujan,” rutuk Tikno dalam hati.

Sejenak, para kru dapur bisa menghela nafas lega karena hidangan ketiga sudah tersaji. Setidaknya ada jeda setengah hingga satu jam hingga para tamu menyelesaikan hidangan itu. Perlu sekitar setengah jam bagi Tikno untuk mencuci bersih peralatan makan dalam satu hidangan lengkap. Itu artinya, setidaknya satu setengah jam lagi hingga Tikno bisa pulang menemui anak dan istrinya.

“Mobilnya Mercy begini, pasti pejabat tinggi ini,” lapor pramusaji berambut gondrong. Baru saja ia mengintip ke area parkir. “Obrolannya ngga jauh-jauh dari proyek sama politik, Mas,” lanjutnya. “Kita orang kecil, cuma kebagian ampas.”

“Sabar saja Tik, Riya pasti bisa mengerti,” ucap kawannya yang beruban menenangkan. Di antara kru dapur yang lain, pria ini tampak paling tua dan bijaksana.

“Iya, Uda. Mau bagaimana lagi,” jawab Tikno pasrah.

“Kumasakkan lebih, bawa pulang untuk anak istrimu,” lanjutnya sembari menyerahkan bungkusan berisi masakan pada Tikno.

“Astagaa, repot-repot Uda. Terima kasih, Uda. Riya dan Ros pasti senang,” sambut Tikno berkaca-kaca menerima pemberian Uda.

Meski harus menunggu cukup lama, sedikit beban dalam hatinya kini terangkat sudah. Tak terbayang andai ia pulang tanpa membawa buah tangan istimewa di hari istimewa anaknya.

“Bagaimana, Uda, jadi balik kampung?” tanya Tikno berbasa-basi.

“Nanti lah Tik, dak ado piti,” jawab Uda terkekeh. “Habis buat biaya berobat anakku. Untunglah bundo di kampuang faham. Beginilah nasib kita di ibu kota. Lebih kejam dari ibu tiri,” lanjut Uda lagi. “Nah, gimana keluargamu?” tanyanya balik.

“Syukurlah, Uda, Riya sudah menemukan teman sekarang.  Gurunya di sekolah yang baru ini baik, mereka bersedia meluangkan waktu untuk mengajari teman-teman Riya bahasa isyarat sepulang sekolah,” jawab Tikno. Ia terbayang wajah Riya, anaknya. “Kasihan, di sekolah sebelumnya, diganggu terus,” kenang Tikno. “Ros juga lebih enak sekarang, kerja lebih dekat. Dapat pekerjaan mengurus orang sepuh di komplek apartemen dekat rumah. Tak harus keluar ongkos transport lagi,” lanjutnya lagi.

“Enak lah itu Lae, mengurus orang tua lebih mudah daripada menjaga toko di Tanah Abang sana,” timpal pramusaji berperawakan kurus dan berkepala botak sembari membawakan dua gelas kopi. “Masih lama itu tamu kita, ngopi saja dulu. Spesial racikan barista Sodri,” lanjutnya lagi.

“Makasih Bang Jo,” sambut Tikno. Diiringi bunyi air cucuran atap yang mengucur ke selokan dan menyebabkan aroma busuk got semakin menguar, obrolan mereka bertiga pun mengalir dengan lancar.                                                                                                                       

*******

Hujan semakin deras mengguyur Jakarta. Sesekali petir berkilat menyilaukan mata. Gemuruh guntur membuat kaca-kaca gedung sedikit bergetar. Hawa dingin mendekap atmosfer ibu kota, membuat setiap orang yang telah tiba di rumahnya ingin bersembunyi di balik selimut saja. Menyesap secangkir minuman hangat, atau menyeruput semangkuk kuah kaldu hangat adalah kenikmatan ideal saat ini.

Di sebuah apartemen di sisi timur ibu kota, sepasang insan tengah mencari kehangatan dengan cara yang berbeda.

Alunan musik house berdentam perlahan, menyamarkan suara desah dan rintihan tertahan. Decit kaki sofa yang bergeser-geser tak beraturan, seiring gerak liar dua insan yang berlomba mencapai puncak kenikmatan. Di seberang ruangan, layar monitor menampakkan puluhan komentar dan pujian, atas aksi panas yang disiarkan langsung dalam forum terlarang.

Dua insan yang tak terikat resmi dalam hubungan pernikahan, hanya tertaut oleh insting kebinatangan. Rasa malu yang tertanggalkan, tercermin dalam helai-helai pakaian yang berserakan di lantai ruangan. Bahkan mentari pun seolah malu menyaksikan, membiarkan deras hujan menyamarkan suara-suara tak senonoh yang terus terdengar. Seiring mentari terbenam perlahan di balik awan, temaram menyelimuti ibu kota, tak disadari oleh dua insan nan tengah dimabuk hasrat saling memuaskan.

Lamat-lamat azan di kejauhan, menyadarkan manusia-manusia ibu kota akan datangnya malam. Segelintir di antaranya, menjawab panggilan untuk menghadap pada Sang Maha Kuasa, namun kebanyakan enggan beranjak dari kenyamanan selimut dengan dalih derasnya hujan. Kebanyakan yang lain, tengah sibuk dalam urusan duniawi mereka, tak ingat kapan terakhir kali bersujud pada-Nya.

Dua insan di sebuah apartemen di sisi timur ibu kota, terengah mengatur nafas, seiring hasrat yang telah terlepas, puas. Si pria, setengah terlelap, pikirannya tak lagi lengkap. Si wanita, dengan tatapan hampa, menyesapi sisa-sisa kenikmatan yang perlahan mereda, kesadarannya kembali mengemuka.

“Hei, mana bayaranku?” ujarnya sigap, sembari menepuk perlahan dada bidang si pria. Bibirnya tersenyum centil, menyamarkan besarnya birahi dalam tubuhnya yang mungil.

“Ah… ummm…” gumam si pria, masih belum sepenuhnya tersadar.

“Jatah pekan ini, esok sudah akhir pekan tahu!” serunya sebal sembari mencubit manja lengan kekar si pria.

“Aw… iya, iya. Maaf Sayangku…” jawab si pria masih setengah sadar. “Ambillah di dompetku,” selorohnya sembari tangannya menunjuk sembarangan.

“Di mana?” cerocos si wanita lagi sembari mengumpulkan pakaiannya sekaligus mencari dompet si pria. “Ah, dapat,” gumamnya. Dengan sigap ia membuka dompet si pria dan mengambil seluruh lembaran rupiah di dalamnya dan dengan cepat menghitungnya. “Aaah, Yaang, kuraaang,” rajuknya manja. “Riya ulang tahun, aku perlu membeli kado nanti. Aku tak mau jatah mingguanku berkurang,” rengeknya tanpa henti.

“Ah, iya Sayang, nanti akan kutransfer kurangnya,” jawab si pria sekenanya, sembari terhuyung-huyung berjalan ke kamar mandi.

“Oke, nanti kutunggu ya. Bye, aku pulang dulu,” jawab si wanita cekatan. Rupanya ia telah lengkap mengenakan seluruh pakaiannya. Ia terlihat anggun.

“Oi, Ros, tunggu! Biar kuantar,” pinta si pria terkejut. Dengan sigap ia mengejar Ros yang telah berada di depan pintu.

Ros, sebagaimana wanita mungil berkulit putih itu dipanggil, menyorongkan bibirnya. Menyambut dekapan dan kecupan pria tinggi besar berkulit coklat yang belum mengenakan pakaiannya. Bibir mereka bertaut sepersekian detik. Dua insan dalam hubungan terlarang, hanya dipisahkan oleh sebuah pintu kayu dengan kehidupan mereka yang ditampakkan pada dunia. “Tak usah, aku berjalan saja. Hujan deras begini, mana bisa mobilmu masuk gang kumuh di pinggir kali,” tolak Ros sembari memeletkan lidahnya, lalu berlalu di balik pintu.

Beberapa langkah dari pintu apartemen, Ros berbalik kembali. Ia mengetuk pintu keras-keras, tak sabaran.

“Apa sih, kau sudah rindu padaku lagi, Ros?” tanya si pria genit sembari membuka pintu.

“Minggir Frans,” usir Ros sembari mengeloyor masuk. Ia mencari-cari sesuatu di antara pakaian Frans yang masih terserak di lantai.

“Apa yang kau cari?” tanya Frans bingung. Ia mencoba menyentuh pinggang Ros yang membungkuk demi mencari sesuatu di bawah sofa, namun Ros menepisnya.

“Ah, Frans. Tidak sekarang. Aku mencari liontinku. Apa kau melihatnya?” tanya Ros ketus.

“Oh, kau tidak mengenakannya sejak kemarin, bukan?” jawab Frans sembari melangkah menuju meja. Ia mengambil ponsel pintarnya, lalu membuka-buka galeri foto dan menunjukkannya pada Ros.

Ros memelototi galeri foto di ponsel Frans. Satu-persatu dipandanginya foto mereka berdua pada saat makan malam di salah satu resto bergaya tropikal di Bogor kemarin. Frans benar, kemarin ia mengenakan baju halter neck dan menurutnya tak cocok mengenakan liontin besar itu. Selebihnya adalah foto-foto sensual mereka berdua sejak bertemu di apartemen Frans siang tadi. “Ah, sial, sepertinya memang tertinggal di rumah,” rutuk Ros. “Bye, Frans,” ucap Ros singkat, padat, tanpa kecupan, meninggalkan Frans yang melongo kebingungan.

*******

Malam semakin pekat menyelimuti Jakarta. Hujan yang turun sejak tadi tak nampak akan mereda. Alih-alih, deru angin dan gelegar guntur bersahutan memainkan simfoni alam yang memekakan telinga. Butiran hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya membuat aliran Sungai Ciliwung meraung, bergemuruh layaknya singa mengaum.

Riya menanti dengan cemas, ayah dan ibunya belum pulang hingga isya tiba. Ia telah selesai mencuci piring, gelas dan peralatan makan. Menyapu lantai, memastikannya bersih dari remah-remah. Kemudian mengepelnya, memastikan tak ada sudut yang terlewat oleh kain pel basah. Riya lalu menyalakan kompor dan menjerang air, hingga teko mendesis lemah. Secangkir kopi hitam kesukaan ayahnya serta segelas teh manis kesukaan ibunya, disajikan di atas taplak bermotif cerah. Namun hati Riya tak terlalu cerah, layaknya suasana langit di luar.

Sejatinya tak banyak yang ia pinta, hanya ingin melewatkan malam istimewa bersama kedua orang tuanya. Hanya saja kali ini ada yang mengganjal. Saat membereskan kamar orang tuanya, ia menemukan sebuah liontin di antara tumpukan baju ibunya. Di bagian dalam liontin itu, tersimpan sebuah foto lawas ibunya bersama seorang pria. Dan pria itu bukan Tikno, ayahnya. Dan entah kenapa, wajah pria itu mirip dirinya. Riya mematut dirinya di depan cermin, sembari mengangkat liontin itu sejajar wajahnya. Ia membandingkan raut muka, hidung, mata dan bibirnya dengan foto dalam liontin itu. Bibir mungilnya tak salah lagi, persis ibunya. Namun mata, hidung dan bentuk wajah pria itu, bagai pinang dibelah dua jika disandingkan wajahnya.

Dua kilometer jauhnya, hati Tikno diliputi gundah gulana. Sudah sejam sejak seluruh piring dan gelas ia cuci bersih. Kawannya yang bertugas di shift berikutnya pun telah tiba. Namun Tikno masih tertahan oleh hujan. Hatinya menimbang-nimbang, haruskah ia menunggu, atau perlu menerjang hujan sekarang.

“Riya tak bisa menunggu lebih lama lagi”. Ia mantapkan hatinya mengayuh sepeda ontel tuanya.

Lae, tunggulah barang sejenak”, panggil Bang Jo, pramusaji berbadan kurus berkepala botak.

”Tak bisa, Riya sudah menunggu”, sahutnya sembari mengayuh menjauh. ”Biarlah badan ini basah, asalkan aku lekas sampai rumah”, gumamnya.

“Hati-hati, Mas Tikno,” teriak Sodri, pramusaji yang paling jago membuat kopi. “Gimana lagi, Bang Jo. Sudah kangen anak bini pasti. Apalagi hujan-hujan begini,” bisiknya perlahan selagi menyaksikan punggung Tikno telah menjauh.

Bah, kalau jadi Tikno, betah kali aku di rumah punya istri macam si Ros itu,” timpal Bang Jo sembari menggelengkan kepalanya.

“Dasar mesum, Bang Jo,” ledek Sodri.

Bang Jo hanya menggerakkan kedua tangannya dari atas ke bawah membentuk dua lekukan sembari berbisik, “Ukulele Spanyol, Sod,” lanjutnya sambil terkikik.

Perlahan, kayuhan sepeda Tikno membawanya mendekati rumah. Tubuhnya basah kuyup menggigil, tangannya mulai gemetar dan kakinya mulai berat mengayuh. Namun pikirannya tetap fokus, menuju rumah demi Riya dan Ros.

Tanpa disadarinya, dari arah belakang melaju kencang sebuah Mercy hitam berplat merah, melesat melewatinya dan membuat genangan air dari jalan menerjangnya bagai ombak laut pantai selatan. Naas, kejadian tadi membuatnya sedikit oleng dan tanpa sengaja menabrak trotoar. Tak ayal, tubuhnya terhempas menghantam aspal. Darah segar mengucur dari dahinya. Namun bukan itu yang memenuhi pikirannya. Lekas ia buka tas ranselnya, mengecek sebungkus makanan yang disiapkan oleh Uda untuk anak dan istrinya.

“Sial, jadi bungkusannya sedikit basah. Semoga Riya dan Ros memakluminya”, rutuknya.

Sepuluh menit berselang, ia telah tiba di dekat rumahnya, di sebuah pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung. Ia dan rumahnya kini hanya terpisah oleh jembatan gantung yang membentang tiga puluh meter lebarnya. Ia dapat melihat rumahnya dari sini, sekitar seratus meter di seberang sana. Hujan masih deras, bulu kuduknya sedikit meremang melihat aliran Sungai Ciliwung yang teramat deras. Ia pun turun dan menuntun sepedanya. Setelah melewati jembatan, tinggal dua belokan lagi ia akan tiba di rumah, yang atapnya kini terlihat sudah. Meski basah sekujur tubuhnya, ia bahagia bisa membawa buah tangan sederhana bagi anak dan istrinya.

Sekonyong-konyong ia mendengar suara keras seperti letusan diiringi suara ceburan benda besar ke dalam air. Hal berikutnya yang ia sadari adalah rumahnya seolah bergerak menjauh. Tikno masih tertegun, apakah ini karena ia terjatuh tadi, gumamnya linglung.

Ramai teriakan warga menusuk telinganya seraya memulihkan kesadarannya. Kepanikan dan teriakan di sepanjang gang ketika orang-orang ramai keluar rumah dan menuju sumber suara letusan, searah dengan rumahnya. Tangisan menggema. Ucapan takbir bersahutan. Sekejap kemudian, rumahnya beserta sederet rumah lainnya, menghilang dari pandangan, ditelan aliran Sungai Ciliwung. Kejadian itu berlangsung cepat, membuatnya tercengang dan masih terpaku di depan gang. Semenit berselang, barulah otaknya mampu mencerna kenyataan pahit itu. “Riyaaa… Rooosss …,” teriaknya panik memanggil anak dan istrinya, sepedanya dilemparkan begitu saja. Nyaris saja ia melompat ke derasnya aliran sungai kalau-kalau tak dihalangi warga. Ia menangis dan bersimpuh. “Riya..a..a..a.. Rooo… ooos”, tangisnya tersedu. Warga mengerumuninya, mencoba menenangkan dan menghiburnya. Tangisnya berderai tak berhenti. Seperti halnya aliran sungai tadi, masih terus menggelegak dan mengikis tepiannya. Sama halnya dengan hujan yang turun sejak tadi, yang tak nampak akan segera berhenti.

*******

Secercah sinar menyeruak di ufuk Jakarta. Bagi sebagian warga Jakarta, keseharian sudah selayaknya perlombaan. Terbangun dan berkegiatan lebih awal dari sang mentari, baru pulang ketika rembulan menyapa. Namun di sebuah pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, kehidupan dan kematian, telah ramai beradu sejak semalam.

Warga masih terjaga, membawa barang-barang berharga dan mengungsi ke tepi jalan utama. Tim penyelamat bekerja keras semalam suntuk, menyisir sungai dan mencari korban di antara puing bangunan yang ambruk. Derasnya aliran Sungai Ciliwung semalam, membuat evakuasi dan pencarian menjadi sebuah pekerjaan yang teramat teruk.

Tikno menangis semalaman, matanya merah padam. Telah kering kerongkongannya, hingga suaranya kini lebih mirip geraman tertahan. Warga masih berusaha menenangkannya, meski tak tahu mereka harus berbuat apa.

Di tepi jalan utama, tak diperhatikan oleh warga yang kelelahan, mengantuk, dan dibekap ketakutan, sesosok wanita mungil berkulit putih terdiam sejak semalam. Ia mematung di emperan toko di tepi jalan, hingga tak menyadari kehadiran tim pewarta dari media ternama tengah bersiap untuk memulai siaran.

Kontras dengan warga pemukiman di bantaran yang berwajah kuyu, pewarta berita ini telah berdandan dan tampil jelita. “Tim evakuasi dikabarkan telah menemukan satu lagi jenazah korban dari kejadian longsor semalam. Berdasarkan data ciri-ciri yang diberikan oleh ketua RT setempat, korban diduga bernama Turiya, gadis berkebutuhan khusus berusia sepuluh tahun yang tinggal bersama ayah ibunya. Namun hingga kini, ibu korban yang bernama Rosmalinda, masih belum ditemukan,” tutur sang pewarta dengan lugas dalam satu tarikan nafas.

Ros, Wanita mungil berkulit putih yang mematung sejak semalaman, tersentak kembali ke alam sadar. Namanya tercatat dalam daftar korban. Tak ada warga yang tahu, bahwa semalam ia belum tiba di rumah saat longsor terjadi. Ros tertegun, dalam benaknya kini, ia tak bisa lagi pulang. Turiya, buah hatinya Bersama Alam, kekasih pertamanya, kini telah tiada. Tak ada lagi halangan baginya, untuk meninggalkan Tikno. Pria bertanggung jawab yang dulu bersedia menikahinya kala Alam raib pasca mendengar kabar kehamilannya. Pria yang berusaha sedemikian keras untuknya, namun tak pernah bisa menggantikan posisi Alam di hatinya. Ros berbalik arah, lalu mempercepat langkahnya, tak yakin ke mana harus mengarah. Dalam benaknya, selama tak ada warga yang melihatnya, dianggap meninggal pun ia tak masalah.

Dari sebuah tempat yang seluruh manusia tak bisa melihat, Riya menyaksikan ibu kandungnya berlari entah ke mana, sementara Tikno ayah tirinya, menangisinya sejadi-jadinya. Di ibu kota, kehidupan terkadang begitu kejam dan susah dimengerti.

Komentar