Pengawasan dengan Drone: Inovasi, Urgensi atau Sekedar Latah Teknologi?

Seiring berjalannya waktu, tantangan yang dihadapi oleh DJBC dalam konteks pengawasan justru semakin kompleks dan seru. Kondisi geografis Indonesia yang luas dan berdekatan dengan negara-negara penghasil narkotik, peningkatan tren penyelundupan narkotik melalui jalur laut, serta persebaran pola penyelundupan akibat efek balon pasca PIBT, menjadi tantangan terkini bagi DJBC sebagai community protector.


Di sisi lain, perkembangan zaman juga membawa peluang baru, yang harus dieksplorasi oleh DJBC yang ingin sejajar dengan institusi kepabeanan lain di dunia. Salah satu teknologi yang menjanjikan, adalah Pesawat Udara Nir-Awak/PUNA (Unmanned Aerial Vehicle/UAV), atau dalam terminologi militer internasional disebut juga dengan drone. Sejatinya, teknologi ini sudah dioptimalkan oleh sejumlah negara sejak puluhan tahun lalu. Namun di masa kini, pemanfaatannya makin meluas, tak terbatas hanya pada negara adidaya. Di Indonesia sendiri, terdapat sejumlah pihak yang memiliki concern dalam penelitian dan pengembangan drone, termasuk instansi pemerintah, universitas dan pihak swasta. 

Maka wajar jika muncul pertanyaan, bisakah DJBC memanfaatkan teknologi ini untuk mendukung pengawasan kepabeanan dan cukai?

Kilas Balik Pengawasan Udara 

Ketika kita melangkah memasuki Kantor Pusat DJBC, mata siapapun akan tertuju pada sebuah monumen berbentuk pesawat berwarna putih yang bertengger anggun di lapangan upacara. Tak banyak yang mengetahui bahwa pesawat tersebut pernah benar-benar terbang dan membantu DJBC dalam rangka pengawasan, pengawalan pejabat, hingga misi kemanusiaan.

Ya, pada tahun 1970-an hingga awal 2000-an, DJBC pernah berjaya di udara dengan beberapa pesawat udara yang dimiliki. Sebagaimana dikutip dari "Goresan Sejarah Penerbangan Bea Cukai" karya Pierre Henry Engel (salah satu pilot terakhir DJBC), DJBC pernah mengoperasikan sejumlah pesawat udara, yakni:
- Beechraft King Air 100 dengan nomor register PK-BTW yang beroperasi dari tahun 1969-1973
- Piper Twin Comanche PA-30 dengan nomor register PK-BTA yang beroperasi dari tahun 1969-2001; serta
- Piper Navajo PA-31 dengan nomor register PK-BTC dan PK-BTP yang beroperasi dari tahun 1970-2001/2002.
Pada masa itu, pesawat udara  digunakan untuk menunjang satuan tugas di laut, dengan dukungan pencitraan udara untuk menarget sarana pengangkut yang melanggar ketentuan kepabeanan. Keunggulan ketinggian dan kecepatan pesawat, membua moda ini sangat unggul untuk mengawasi area luas dalam waktu singkat. Informasi yang didapat dari udara saat itu digunakan sebagai salah satu tambahan informasi bagi satgas di laut.

Tak hanya itu, pesawat udara juga dapat digunakan untuk memetakan wilayah pendaratan kapal-kapal penyelundup di area yang tak terjangkau kapal patroli, seperti di sepanjang pesisir, muara dan alur sungai. Misi lain seperti SAR, protokoler dan kemanusiaan pun tak luput diemban oleh sayap-sayap DJBC kala itu. 

Karena keterbatasan anggaran perawatan dan kurangnya SDM untuk pengoperasian dan pemeliharaan, akhirnya pesawat terbang DJBC dihapuskan berdasarkan KMK nomor86/KM.1/2002 tanggal 28 Februari 2002. Saat ini, model terakhir yang beroperasi, yaitu PK-BTC, diabadikan menjadi monumen di kanor pusat, yang memancing setiap mata yang lewat dan melihat.

Peluang dari PUNA

Pada prinsipnya, PUNA adalah sebuah pesawat udara (aerial vehicle) yang dikendalikan dari jauh (remotely controlled), sehingga tidak memerlukan awak manusia di dalamnya (unmanned). PUNA merupakan suatu komponen dari grup yang lebih besar, yaitu Unmanned Aerial System yang terdiri dari PUNA itu sendiri, perangkat komunikasi dan kendali, operator pengendali di darat, serta berbagai sistem pendukung lain.
 
Di awal perkembangannya, cikal bakal PUNA berasal dari target udara yang dipergunakan sebagai sasaran tembak untuk keperluan latihan militer. Kini penggunaan PUNA semakin meluas dan mencakup berbagai hal. Dari pengawasan wilayah, pelacakan dan pencarian target, serangan udara (Unmanned Combat Aerial Vehicle/UCAV), sampai berbagai keperluan sipil seperti fotografi, pemetaan wilayah, pengantaran logistik, balapan, dan pertanian. Dalam konteks pengawasan, kita hanya akan membahas PUNA yang didesain untuk fungsi utama pengawasan dan mengabaikan PUNA dengan fungsi utama lainnya.
 
Tidak ada definisi yang mengikat mengenai klasifikasi PUNA; mereka dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi, ukuran, serta ketinggian dan jarak terbang. Suatu panduan yang lebih rigid dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, yang mengelompokkan PUNA menjadi 5 grup berdasarkan berat, ketinggian terbang dan kecepatan.
 
Group System Classification of Unmanned Aerial System, US Department of Defense
 
Jika dihubungkan dengan kegiatan pengawasan DJBC, maka akan ada beberapa kategori berbeda terkait pemanfaatan PUNA sebagai elemen pengawasan. Yang pertama, untuk pengawasan area terbatas, seperti pelabuhan, pabrik BKC/Kawasan Berikat, penggunaan PUNA berukuran kecil masih relevan mengingat kebutuhan akan durasi dan jangkauan terbang tidak terlalu menuntut, serta kondisi cuaca di lokasi pengawasan yang masih permisif. PUNA berbentuk quadcopter yang bisa melakukan hovering untuk melakukan pengawasan dari satu titik selama beberapa waktu, serta melakukan manuver mengelilingi gedung/area yang diawasi dirasa akan lebih cocok dibandingkan PUNA bersayap tetap (fixed wing) yang lebih cocok untuk terbang terus menerus di area yang luas. 
 
Pemanfaatan kedua, untuk pemetaan perbatasan darat, area pendaratan di pantai, serta muara sungai. Dengan tuntutan area yang lebih luas, maka penggunaan PUNA yang didesain khusus untuk pemetaan area akan lebih ideal, terutama desain PUNA bersayap tetap (fixed wing) yang bisa terbang lebih cepat dan hemat energi dibanding PUNA berjenis quadcopter. Hal ini disebabkan oleh desain quadcopter itu sendiri, yang memerlukan putaran rotor terus-menerus untuk mendapatkan gaya angkat, berbeda dari desain PUNA bersayap tetap yang mendapatkan gaya angkat dari bentuk sayapnya; artinya energi mereka bisa digunakan untuk menambah jangkauan, durasi atau muatan, bukan hanya untuk mempertahankan diri di udara.
 
Pemanfaatan ketiga, adalah untuk pencarian target di laut, membutuhkan PUNA kelas taktikal karena kebutuhan yang menantang. PUNA untuk fungsi ini harus memiliki radius kendali dengan kemampuan live streaming video puluhan kilometer (melebihi jangkauan radar kapal) dengan durasi terbang berjam-jam serta jarak tempuh ratusan kilometer. PUNA untuk fungsi ini juga harus memiliki daya angkut muatan (payload) yang mumpuni untuk membawa berbagai sensor, terutama kamera termal untuk mengawasi penyelundupan di malam hari. Tak hanya itu, tantangan akan cuaca di laut, kebutuhan akan keamanan data mutlak menjadi kebutuhan. Sementara kemampuan lepas landas dan pendaratan (take off and landing) dari atas kapal akan menjadi nilai lebih tersendiri. Untuk hal ini, terdapat jenis PUNA hybrid yang menggabungkan desain fixed wing untuk terbang jelajah dengan quadrotor untuk keperluan  take off dan landing secara vertikal. Alternatif lain adalah metode lepas landas dengan dibantu ketapel peluncur dan pendaratan dengan parasut/dibantu jaring pengaman. Agar bisa memenuhi tuntutan tugas yang menantang, PUNA kelas taktikal umumnya menggunakan bahan bakar cair, bukan baterai, sebagai sumber tenaga.

Jika dilihat dari berbagai PUNA yang tersedia di pasaran, kategori pengawasan yang pertama dapat dipenuhi oleh berbagai jenis PUNA quadrotor komersial yang ada di pasaran. Untuk kategori kedua, terdapat berbagai jenis PUNA yang dibuat pihak swasta maupun universitas, yang dapat memenuhi kebutuhan pemetaan area. Pilihan pada kategori ketiga akan lebih menyempit, namun bukan berarti tidak tersedia. Dalam memilih PUNA yang hendak dimanfaatkan untuk mendukung pengawasan DJBC, mutlak perlu memperhatikan kebutuhan yang akan diakomodir. Dengan penentuan kebutuhan prioritas, maka dapat dicari jenis PUNA yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

(Bersambung)

Komentar