Andai Aku Menjadi ... (3)

Derap kuda-kuda penarik kereta beradu dengan langkah-langkah manusia di jalanan Rawikarta. Sejuknya pagi ternoda oleh nafas-nafas nan terengah, yang terus melaju seiring peluh membasahi muka. Pagi hari yang dipenuhi harapan bagi para pencari nafkah yang berangkat dalam upaya memenuhi perut keluarga.

Sebaliknya, Raizan berjalan pulang karena memang mendapatkan jatah bekerja pada malam sebelumnya. Pikirannya masih terganggu oleh mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Mimpi buruk yang terus menghantui meski kejadian itu telah berlalu lima tahun lamanya. Kejadian yang membuat Raizan bertanya-tanya, mengapa negeri ini pernah disebut layaknya kepingan surga yang jatuh ke dunia? Sementara setiap hari, matanya menyaksikan ketimpangan yang begitu nyata. Terlebih di Rawikarta, kota penuh warna yang menjadi kebanggaan Agnidwipa.

Balai Hulubalang tempatnya bekerja,  terlihat begitu megah dari kejauhan. Berdiri gagah di tepi bukit, angkuh laksana gajah yang menyeruak dari semak hutan. Masih ada banyak balai-balai yang dibangun layaknya istana di tepi bukit untuk para adipati dan segenap pembesar kerajaan. 

Dari masing-masing bangunan utama di bukit, jalanan batu nan megah mengular dan menyatu membentuk urat nadi perekonomian. Jalanan ini dibuat dengan penuh perhitungan. Diawali dengan galian sedalam perut pria dewasa, kemudian diurug dengan pasir kasar hingga selutut, dilapisi dengan kerakal hingga sepaha, dan diakhiri dengan batu batu gunung yang dipahat membentuk segienam. Jalan ini sungguh bagus, tak pernah banjir saat hujan, dan tak berdebu saat musim kemarau. Di kiri kanan jalan, berbagai tanaman hias berderet menjadi pembatas jalan utama dengan bangunan-bangunan megah di kanan kiri jalan. Bangunan-bangunan berderet itu adalah griya para abdi kerajaan yang memiliki jabatan tinggi atau para saudagar kaya. Griya-griya mewah dengan pagar setinggi dua orang dewasa, gerbang megah, tangga pualam, taman bunga, kebun buah, kandang kuda, dan ornamen kayu wangi. Griya megah yang dihuni oleh segelintir kaum terkaya di Rawikarta.

Di simpul-simpul jalan, terdapat alun-alun bundar yang menjadi tempat warga bercengkerama. Di sekelilingnya dibangun Kuil dan Altar Peribadatan, Griya Waras tempat para tabib mengobati warga; padepokan tempat anak-anak belajar mengarungi kehidupan; Balai Tinutur tempat para Hulubalang dan Abdi Tinggi bertemu warga untuk menyampaikan pengumuman dan sayembara; serta pasar dengan segala hiruk pikuknya. Pria dan wanita membawa keranjang bambu, menawar pelbagai bahan makanan hasil alam, atau sekedar membeli rempah pelengkap bumbu. Beberapa lainnya menengok kain beragam warna, atau sekedar melihat-lihat hiasan dan kerajinan beraneka rupa. Raizan mampir pada beberapa pedagang, mengisi keranjang bambunya dengan beberapa kantung makanan kemudian melanjutkan langkahnya, pulang. 

Raizan terus melangkah, makin jauh dari jalan utama. Kini perjalanannya begitu hening dan tenang, dengan sawah dan perkebunan hijau membentang sejauh mata memandang. Gemerisik aliran Bengawan Atis Wiru mengiringi langkah Raizan. Keramba-keramba mengambang di tepi sungai yang berkilauan. Para pekerja hilir mudik saling menyapa, sembari mengangkut hasil bumi yang mereka tanam dan panen bersama. Ketika mata memandang melewati perkebunan dan sungai nan berkelok indah menjadi jeram di lembah nun jauh di sana, pepohonan nan rapat berdiri kokoh seolah menjadi pagar pembatas negeri. Hutan nan asri dan menjadi sumber kayu, rotan, getah sadapan dan buah-buahan hutan. Sesekali madu dan binatang buruan dibawa ke pasar untuk diperdagangkan. Kayu-kayu beraroma didapatkan jauh di dalam hutan di pegunungan.

Sungguh, sebuah negeri nan kaya dan layak mendapat julukan kepingan surga.

Namun, di balik segala kemegahan dan keindahan itu, Rawikarta justru dirasakan layaknya neraka bagi sebagian warganya. Di balik griya-griya nan berdiri megah, tersembunyi gubuk-gubuk lapuk tempat para pesuruh kaum kaya, tinggal dalam kemelaratan yang nyata. Gubuk-gubuk ini tersembunyi di balik dinding griya penuh pesona yang menghadap jalan utama. Penghuninya miskin dan nestapa, bergantung sepenuhnya pada belas kasihan tuan mereka.

Terpisah dari jalan utama nan megah, hanya tersedia jalan setapak bagi warga. Berlumpur kala hujan, dan berdebu kala kemarau tiba. Warga biasa tak bisa berjalan di jalan utama, karena itu khusus untuk kereta kuda Raja, para Adipati dan  Hulubalang, para Abdi Kerajaan berpangkat tinggi, dan saudagar kaya yang memberi upeti khusus untuk melewatinya.

Di balik hijau sawah dan kebun nan memukau, para pekerja diupah harian bergantung pada seberapa keras mereka bekerja. Sawah dan kebun itu bukan milik mereka, melainkan para pembesar kerajaan dan segelintir saudagar yang memiliki hubungan istimewa dengan mereka. Entah saudara sedarah, atau besan yang dihubungkan pernikahan.

Keramba di tepi sungai dan danau yang berkilauan, tak berbeda dengan pengelolaan sawah dan perkebunan. Warga dilarang membuat keramba, hanya orang-orang istimewa yang mendapat izinnya. Pekerjanya diupah sekehendak pemilik, hendak mengeluh namun tak mudah untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik.

Hutan yang seolah menjadi pagar negeri, itulah yang tersisa dari penebangan oleh mereka yang mendapat izin oleh kerajaan. Setelah kayu-kayunya dibabat dan dijual untuk menjadi tiang dan perabotan griya-griya megah, lahan bekas hutan itulah yang menjadi sawah dan perkebunan tambahan. Rakyat biasa tak boleh menebang pohon sembarangan. Sisa-sisa tebangan yang tak rapih bentuknya atau ranting yang agak besar ukurannya, itulah yang menjadi bahan pembangun rumah rakyat jelata.

Dan di tepi hutan itulah, Raizan tumbuh besar berteman dengan kesulitan nan menumbuhkan daya juang. Raizan melangkah ke arah rumpun bambu yang melengkung, seolah menjadi gerbang yang menyambut. Ini adalah pemukiman terlarang bagi orang terbuang. Mereka tak memiliki berkeluarga, dan tak boleh tinggal di kota, bahkan tidak di gubuk-gubuk sederhana di belakang griya. Merekalah orang terbuang, yang tak memiliki apapun di tanah surga. 

Di antara perdu yang rimbun, terdapat beberapa gubuk dengan atap kayu dan dedaunan yang tersamar dari luar hutan. Gubuk-gubuk ini tek beraturan bentuknya, terbuat dari kayu sisa dan ranting yang agak panjang. Tak pernah hangat, sekedar menjadi atap di kala hujan dan peneduh dari mentari nan terik dan terang. Apabila penjaga kerajaan mendapati keberadaan gubuk-gubuk ini, kayu dan rantingnya akan dibongkar paksa, tanpa ada yang peduli ke penghuninya harus pergi.  

Raizan berkeliling sembari meletakkan sebungkus makanan pada setiap gubuk yang tak berpenghuni. Pagi hari, para penghuni gubuk tengah mencari makanan ke dalam hutan. 

Raizan meraih ke dalam keranjang bambu. Segulung makanan hangat berbalut daun pisang. Terbuat dari selapis tipis telur ayam, kemudian ditambahkan ketan, potongan sayur dan suwiran daging ayam, lalu digulung dan dibungkus daun pisang. Ini adalah kudapan yang jamak di Rawikarta, mudah dibuat dan dinikmati semua kalangan. Namun bagi orang terbuang, ini adalah kemewahan. Alih-alih nasi yang pulen dan sayuran segar dari perkebunan, orang-orang terbuang terbiasa memakan umbi dan dedaunan hutan yang direbus seadanya. Mereka terlalu melarat untuk menikmati lauk berupa ikan keramba, unggas piaraan, apalagi ternak berkaki empat. Mereka terbiasa memburu belalang atau hewan kecil dari hutan untuk dipanggang.  


Raizan mengunyah kudapan itu, lalu beranjak pergi. Kini ia tak lagi tinggal di situ, ia tinggal di pinggiran kota pada sebuah rumah kayu sederhana untuk ditinggali bersama para penjaga balai lainnya. Bagi abdi kerajaan berpangkat rendah seperti mereka, itu sudah cukup layak. Meskipun demikian, Raizan masih sesekali mengunjungi gubuk orang-orang terbuang. Meski tanpa keluarga, Raizan masih memiliki rasa keterikatan pada mereka. Melewati rumpun bambu, langkah Raizan terus melaju. Sembari mengepalkan tangannya, Raizan menengok ke arah gubuk sekali lagi. Ketimpangan yang begitu menganga di Rawikarta, di mana ia pernah menjadi bagian dari kaum yang tak memiliki apa-apa, membekas dalam hati Raizan layaknya luka yang terus menganga. 

"Andai aku menjadi pewaris tahta, akan kupastikan kalian mendapat kehidupan yang layak di Rawikarta," tekadnya dalam hati. 

Komentar